Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Bisakah Kita Optimistis Melihat Prospek Ekonomi?

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Sadli *)
*) Pengamat ekonomi

KITA baru untung. Begitu juga Gus Dur, walaupun ini bukan karena semata-mata jasanya. Angka-angka terbaru Badan Pusat Statistik menunjukkan laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) triwulan kedua mencapai 4,13 persen dan ini membuat laju pertumbuhan pada semester pertama 3,84 persen. Dengan demikian, ada prospek laju pertumbuhan 4 persen untuk tahun 2000 dapat dicapai. Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 bisa diharapkan lebih tinggi.

Bangkitnya kembali ekonomi dari krisis yang terjadi sejak September 1997 ini sudah dimulai pada semester kedua tahun 1999. Recovery diartikan permulaan dari pertumbuhan yang positif. Jangan artikan recovery sebagai hilangnya atau berkurangnya kemiskinan dan pengangguran. Recovery pun tidak berarti keadaan ekonomi sudah kembali seperti pada pertengahan 1997. Recovery adalah tahap pertama perkembangan ekonomi yang secara kualitatif akhirnya harus lebih baik daripada yang lama.

Ekspor mulai menampakkan kemajuan yang besar. Angka ekspor bulan Juli 2000 sebesar US$ 5,2 miliar telah memecahkan rekor. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Panjaitan pernah mengatakan bahwa total ekspor semester pertama mencapai US$ 30 miliar, yang antara lain dibantu oleh harga minyak bumi yang amat baik. Ini berarti total ekspor tahun 2000 bisa mencapai US$ 60 miliar, sebuah rekor pencapaian yang bahkan melebihi tingkat prakrisis (sekitar US$ 55 miliar).

Kemajuan ekspor nonmigas juga membesarkan hati. Ekspor nonmigas ini memang belum berprestasi maksimal karena masih banyak hambatannya. Arus kredit bank belum pulih. Sering order ekspor dipindahkan ke negara lain yang keadaan masyarakatnya lebih aman. Tapi kurs rupiah yang lemah membuat barang Indonesia sangat murah dalam ukuran dolar. Ekspor barang kerajinan dan industri kecil serta menengah sangat membantu ekonomi rakyat dan kesempatan kerja. Jepara, Bali, Yogya, Tasikmalaya, Bandung, dan Jakarta menjadi sumber ekspor kerajinan yang penting. Di Pulau Jawa dan Bali, pemasaran untuk ekspor sangat terbantu dengan adanya infrastruktur yang baik, seperti jalan raya, transportasi truk dan kontainer, faksimile dan telepon, termasuk telepon genggam, serta listrik yang sudah masuk desa.

Recovery ekonomi pada tahun 2000 sangat dimudahkan dibandingkan dengan tahun 1967 karena adanya infrastruktur ini. Yang saat ini belum berjalan normal adalah sistem perbankan. Tapi banyak perusahaan kecil dan menengah di sektor ekspor bisa hidup tanpa kredit bank-bank besar dalam negeri. Mereka bisa mendapat persekot 50 persen dari para pembeli. Di pihak lain, karena sarana turisme baik sekali, pembeli asing suka datang sendiri ke Jepara, Yogya, dan Bali untuk menempatkan order. Perusahaan yang sudah lebih maju bisa menggunakan e-mail dan internet untuk mengontak pembelinya. Desain pun bisa dikirim dari mancanegara lewat e-mail. Mesin faks juga penting fungsinya. Sekali lagi, zaman sekarang jauh lebih menguntungkan daripada permulaan Orde Baru (1967-1970) karena infrastruktur yang tersedia ini. Selain itu, jauh lebih banyak manusia Indonesia yang berpendidikan lebih baik. Transfer keahlian teknik dewasa ini lebih cepat.

Kalau kita periksa isi letter of intent (LoI) Dana Moneter Internasional (IMF) yang merupakan komitmen pemerintah RI untuk melakukan reformasi, yang sangat penting adalah menjaga keseimbangan ekonomi makro, yang artinya menjaga stabilitas ekonomi. Ini pertama-tama berarti menjaga agar tingkat inflasi rendah, kalau bisa, di bawah 5 persen setahun. Tapi, di fase penyesuaian terhadap kurs rupiah yang sudah sangat rendah, inflasi tahunan sementara ini harus dijaga agar di bawah 10 persen. Sampai sekarang, penjagaan inflasi rendah pascakrisis sudah tercapai. Ini berkat adanya undang-undang yang menjamin independensi Bank Indonesia dengan misi utama menjaga nilai rupiah. Juga oleh kebijakan fiskal atau anggaran belanja yang sangat berhati-hati atau prudent.

Sekali lagi, keadaan sekarang lebih menguntungkan ketimbang tahun 1966-1970. Walaupun beberapa menteri ekonomi, juga Presiden, tampak "ambivalen" terhadap IMF (dongkol, Indonesia dikendalikan oleh pihak asing), mereka tidak punya alternatif lain dan tidak berbuat neko-neko seperti Presiden Soeharto di tahun terakhirnya, yang mau mengibuli IMF dan menerapkan currency board. Sekarang, baik Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri maupun Presiden berusaha keras menyelesaikan pekerjaan rumah LoI pada waktunya, walaupun dengan menggerutu dan bersilat lidah. LoI memaksakan disiplin fiskal dan merampungkan rencana reformasi yang sudah disetujui bersama.

Beban yang jauh lebih besar daripada di permulaan Orde Baru adalah beban utang, baik utang pemerintah maupun sektor korporasi. Pada waktu ini memang belum tampak jalan keluar untuk utang jangka menengah dan panjang. Rencana yang ada hanya berupaya meringankan beban pembayaran utang ini dengan memperkecil rasio antara beban angsuran tahunan dan potensi ekonomi diukur dengan PDB. Kalau nanti, setahun-dua tahun lagi, jumlah utang ini tidak lagi bertambah dan PDB bisa meningkat 6-7 persen setahun, segala rasio beban terhadap PDB akan berkurang. Tapi jalan menanggung beban berat ini masih panjang.

Di kemudian hari selalu masih ada kemungkinan terjadi "pengampunan" atau pengurangan jumlah utang ini yang disetujui kreditor. Kreditor bilateral, seperti Amerika, Inggris, Belanda, dan negara-negara Consultative Group for Indonesia (CGI) lainnya, sudah memberikan pengurangan lewat Paris Club. Tapi utang terbesar Indonesia adalah kepada Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Jepang, dan IMF. Mereka ini tidak atau belum mau memberikan potongan. Ini realitas dewasa ini, tapi siapa yang tahu apa yang bakal terjadi di kemudian hari? Kuncinya adalah kemauan politik negara superpower, yakni Amerika, Eropa, dan Jepang, yang merupakan pemegang saham terbesar Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia.

Yang lebih realistis, jangan menuntut pengurangan utang sekarang. Yang penting, bereskan dulu rumah tangga sendiri. Kalau dua tahun lagi itu sudah kuat, luar negeri mungkin akan bersedia memfasilitasi pengurangan utang atau meringankan angsurannya, termasuk potongan bunganya (jumlah bunga dalam angsuran bisa sama dengan besar cicilan pokok). Kalau daya beli Indonesia baik kembali, para kreditor akan sangat ramah karena kepentingannya adalah agar Indonesia bisa berbelanja.

Skenario recovery ekonomi Indonesia yang serba optimistis juga didasarkan atas apa yang terjadi di pentas regional. Negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia, merupakan kelompok negara yang menunjukkan laju pertumbuhan tertinggi di dunia selama 30 tahun antara 1966 dan 1996. Lalu, negara-negara Asia Timur ini terpukul paling parah oleh krisis ekonomi 1997-1998. Sebaliknya, negara-negara Asia Timur dan Tenggara merupakan negara-negara yang recovery ekonominya paling kuat setelah 1998. Korea Selatan adalah contoh yang paling baik, tapi Singapura, Malaysia, Thailand, Taiwan, Hong Kong, dan RRC juga menakjubkan dalam recovery-nya. Yang lamban adalah Filipina dan yang terlamban adalah Indonesia. Sayang, Indonesia terletak di Asia Timur/Tenggara, bukan di Amerika Latin.

Indonesia memang masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah reformasi di berbagai institusi, antara lain di bidang politik, alat-alat keamanan (tentara dan polisi), penegakan hukum, corporate governance, dan pemberantasan korupsi di jajaran pemerintah. Semuanya ini merupakan pekerjaan raksasa. Siapa pun presidennya tidak bisa menyelesaikannya dalam satu atau dua tahun, bahkan lima tahun. Pada saat ini, Indonesia baru pada tahap permulaan.

Apakah recovery ekonomi bisa berjalan di atas relnya sendiri tanpa harus menunggu selesainya semua reformasi di bidang lainnya? Untuk jangka yang lama, tidak bisa. Namun, untuk jangka pendek, mungkin kehidupan ekonomi bisa menjadi kebal terhadap kuman-kuman yang masih menyerang badan politik dan sosial. Sekarang ini tampak gejala "pasar sudah pandai mendiskon ketidakpastian di bidang politik dan sosial." Kurs rupiah, walaupun lemah dan undervalued, tidak berguncang keras dan tidak melewati Rp 10 ribu per dolar AS. "Kestabilan" ini lumayan untuk bisnis. Tapi rupiah tetap undervalued karena ketidakstabilan politik dan sosial. Kalau dua hal yang terakhir ini berangsur-angsur membaik, rupiah akan menjadi lebih kuat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum