DENGAN berdebar-debar Pak Wongso mendorong gerobak sotonya ke Taman Hasanuddin, Blok M, Kebayoran Baru. Sejak kemarin sore, di rumahnya di kawasan Blok A - tempat para migran Jawa menumpuk - ia telah memperhitungkan modal dan keuntungan yang bakal diperoleh. Beberapa hari belakangan ini ia memang sering berpikir, "berdagang adalah berjudi". Kalau menang, dapat keuntungan. Kalau kalah tak mendapat apa-apa. Itulah yang menyebabkan Pak Wongso berdebar. Modal yang dibelanjakan kemarin sore adalah yang terakhir. Kalau kali ini kalah, "ya wis ben wong urip ya kudu ngene. Luih becik mulih. Macul neng kono."1) Pak Wongso dan kawan-kawan, oleh kebutuhan struktural, memang ditakdirkan untuk kalah. Segera setelah roda gerobak menjejak pelataran taman, beberapa petugas menuding dengan sorot mata singa. Dia bergidik, dan pada saat yang sama bayangan istri, anak-anaknya, dan gubuk gedek dengan lantai tanah tidak rata - yang kontraknya habis minggu ini - melintas di benak. Sementara itu puluhan kijang dan rusa - para pedagang yang senasib - blingsatan berlarian mengangkut barang milik sebisa-bisanya. Singa-singa yang berseragam begitu menakutkan, sehingga seorang pedagang hanya ingat membawa bangku - dan meninggalkan gerobak bakso, mungkin untuk selama-lamanya. Pak Wongso terbeliak. "Kiamat wis teko" 2). Dan ketika dalam keterburuan itu gerobaknya menabrak trotoar - sementara sedan-sedan mewah melintas di Jalan Hasanuddin - dan hampir tergulir, ia tiba-tiba ingat neneknya. Betapa benarnya nasihat beliau: "Le, ojo kesusu. Dadi wong kudu nastiti tur ngati-ati".3). Kebijaksanaan populis Jakarta Pak Tjokro - sebagai reaksi kebijaksanaan elitis Pak Ali Sadikin - telah menyebabkan Blok M dan daerah-daerah lain bengkak dengan usaha kecil. Segala macam suara dan hiruk-pikuk berhimpun. Anak-anak muda Minang dan Batak juga anak-anak tua - mendominasi segala ruang yang tersisa dari wilayah pertokoan besar. Gantungan baju, tas, suvenir, sepatu, mainan anak-anak, minuman, sampai obat kuat dan obat Iemah syahwat terjajakan di situ. Blok M menjadi pasar rakyat, hampir dalam arti yang sebenarnya. Dari berbagai tempat yang sama di seluruh Jakarta, mereka membentuk lapisan tersendiri. Suatu pertumbuhan lapisan sosial dalam jumlah ratusan ribu - lapisan dagang tanpa tradisi persaingan, tapi sangat bermakna memperlancar arus peredaran uang tingkat bawah, tumbuh tanpa kesadaran status. Karena itu, secara politis, tidak signifikan. Mereka tumbuh semata-mata karena tuntutan ekonomis, alias keinginan hidup. Inilah tradisi kerja keras rakyat kecil, yang terungkap dalam lagu anak Minang yang merantau di Jawa. Kota Jawo/Kotanyo nan santiang Sadonyo mamuji/ Oh Minang Balabuah kapal/ Padamnyo lampu Indaklah baminyak/ Oh kampuang ooii 4) Toh warga kota harus disiplin. Tidak bisa semaunya. Semua harus ikut peraturan. Dan pendisiplinan warga inilah yang melanda Pak Wongso dan kawan-kawan di Blok M, beberapa bulan setelah Pak Prapto menggantikan Pak Tjokro. Blok M menjadi Iengang. Anak-anak SMA Bulungan bisa melintas dengan santai. Ibu-ibu atau tante-tante atau bapak-bapak dari kelas menengah kota yang berbelanja tidak lagi merasa pengap lantaran harus mencium bau apek pedagang kecil yang berjejal-jejal. Dan lagu-lagu kaset yang diputar di toko-toko baju tidak lagi tersaingi suara serak teman-teman si Djamsir atau si Safnil: "Limo ratuib! Limo ratuih!". Blok M memang sedang berubah. Di tengah kocar-kacirnya dan makin susutnya pedagang kecil, jumlah plaza semakin membengkak. Dari Aldiron Plaza, Sarinah Jaya, Melawai Plaza, sampai berbagai department store dan supermarket. Pak Wongso, di mana sampeyan kini? 1) "Sudahlah, hidup memang harus begini. Lebih baik pulang saja. Mencangkul di sana ". 2) "Kiamat sudah datang". 3) "Jangan buru-buru, Nak. Orang haruslah cermat, dan hati-hati". 4) Kota (di) Jawa, kota yang hebat Semua memuji - oh Minang Berlabuh kapal, padamny lampu Habislah minyak - oh hampung ooii.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini