MEREKA yang mengkritik rangkap jabatan publik, eksekutif sekaligus partai politik, mungkin niatnya baik. Alasan yang dikemukakan para pengkritik juga logis: jangan sampai kepentingan negara dikalahkan oleh interest partai, jangan sampai urusan negara dicampuradukkan denganatau malah diobyekkan untukpartai politik. Para pejabat publik itu dipertanyakan kesanggupannya memilah-milah mana urusan negara, yang sepenuhnya biayanya ditanggung negara, dan mana pula urusan partai, yang sama sekali tak boleh dibiayai dengan uang rakyat di kas negara.
Jelas ini merupakan wacana barujika tak mau disebut problembagi kita. Kondisi politik memang berubah. Baru kali ini sejarah mencatat orang-orang penting Republik sekaligus juga mengetuai partai politik beragam. Duet Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz di eksekutif sama-sama memimpin PDIP dan PPP. Akbar Tandjung dan Amien Rais, bos DPR dan MPR, masih menjabat ketua umum di Golkar dan PAN. Di Kabinet Gotong Royong, ada sembilan orang menteri yang menjadi pengurus inti partai.
Soalnya tinggal kesanggupan menjaga kepatutan. Boleh saja Megawati memimpin rapat rutin partai di Pecenongan saban Selasa sore. Tapi janganlah pada jam kantor yang seharusnya dipakai buat memikirkan masalah urgen kenegaraansemisal banjir bandang di banyak wilayah negeri. Mega tak harus mundur dari ketua umum, tapi bukankah ia bisa melimpahkan tugas rutinnya di partai kepada tim pengurus harian, misalnya? Atau, Mega bisa memimpin rapat partai pada hari-hari di luar jam kerja lazimnya. Kalau Hamzah bertugas ke Jawa Timur untuk acara ulang tahun PPP, misalnya, mestinya tak usah repot-repot pakai fasilitas negara. Amien juga harus sabar tak mengenakan kaus PAN jika meninjau banjir sebagai Ketua MPR.
Masalahnya memang soal kepatutan. Sebab, kalau ditilik dari sisi formal, sejauh ini memang belum ada peraturan yang membentengi perangkapan peran ini. Konstitusi sama sekali tak menyinggung soal ini, juga perundangan lainnya. Undang-Undang Protokol juga tak mengurusnya. Peraturan pemerintah yang mengatur rangkap status pegawai negeri sipil dan partai politik tak bisa diterapkan. Sebab, presiden, wakilnya, juga anggota kabinet, bukanlah pegawai negeri.
Jika kita menganut sistem parlementer, soalnya bisa lain. Dalam sistem parlementer, justru sang pemimpin partai memang didorong untuk memimpin negara. Begitu pula suara presiden yang berasal dari partai berkuasa haruslah merupakan cerminan sikap partainya itu. Presiden merangkap ketua umum partai pun tak jadi soal. Kita tak menganut sistem parlementer, meski juga bukan presidensial murni karena presiden dipilih oleh MPR. Tapi, lebih dari semua alasan itu, para tokoh penting itu masih diperlukan memegang posisi puncak di partainya. Selain jadi daya pikat massa untuk menjaring suara, mereka juga merupakan perekat partainya, yang hampir semuanya sarat konflik.
Walhasil, tak usahlah kita ribut-ribut perkara sumir ini berkepanjangan. Lebih baik mengurusi seabrek soal gede, perkara gawat di Republik, yang sangat mendesak untuk diselesaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini