MAYOR Jenderal Sjafrie Sjamsoedin ditunjuk sebagai Kepala Pusat Penerangan TNI, dan penolakan datang dari berbagai penjuru.
Yang menolakmungkin kecuali sebagian ibu-ibu yang mengagumi wajah orang Makassar yang tampan ituberpendapat Sjafrie gagal mengamankan Jakarta ketika terjadi kerusuhan pada bulan Mei 1998. Bukankah laporan Tim Gabungan Pencari Fakta menyebutkan ada sekitar 50 orang perempuan diperkosa hari itu? Bukankah empat mahasiswa Trisakti tewas dalam bentrokan dengan aparat keamanan? Agak janggal rasanya jika Sjafrie sebagai Panglima Kodam Jaya bisa melepas tanggung jawab begitu saja.
TNI sudah mencopotnya, tapi hukuman belum jatuh. Ia mendapat perlakuan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan Letjen Prabowo Subianto, Panglima Kostrad ketika itu, yang dipecat dari dinas TNI. Ada kesan Sjafrie malah "diselamatkan" TNI. Ia diberi posisi cukup bergengsi: Koordinator Staf Ahli Panglima TNI.
Kelihatan jelas, proyek "penyelamatan" Sjafriedan sejumlah jenderalterus berlangsung. Salah satu indikasi yang gampang dibaca adalah penolakan para jenderal untuk diperiksa oleh Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) Hak Asasi Manusia untuk kasus Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II.
Pihak TNI berkeras bahwa DPR, melalui panitia khusus untuk kasus tadi, sudah merekomendasi adanya pengadilan hak asasi. Dan pengadilan itu tengah digelar sekarang. Dalam pandangan TNI, rekomendasi DPR harus dipegang dan KPP Hak Asasi Manusia tak perlu lagi.
Banyak hal yang meleset di sini, atau maknanya sengaja "dipelesetkan" untuk mendatangkan keuntungan bagi suatu kelompok. Rekomendasi DPR, seperti diakui banyak kalangan di DPR, bukan keputusan hukum yang mengikat. Itu sebuah ke-putusan politik. Rekomendasi DPR jelas tak boleh membatalkan kewenangan Komisi Hak Asasi Manusia untuk membuat Komisi Penyelidik Pelanggaran seperti diatur oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Rekomendasi DPR memang melahirkan pengadilan ad hoc hak asasi manusia, tapi yang sudah dihukum oleh pengadilan itu hanyalah para "bawahan" yang pangkatnya paling tinggi letnan. Terakhir ini sepuluh anggota Brimob tengah dituntut oleh pengadilan tersebut.
Bila penyelesaian kasus itu mengikuti jalur pengadilan ad hoc, sangat jelas para jenderal boleh tenang tidur di rumahnya. Mereka akan bebas. Dan tanggung jawab pengamanan wilayah yang melekat di bintang-bintang di pundak mereka sepertinya bisa dialihkan ke tangan prajurit kecil yang bergerak sepenuhnya hanya kalau disuruh itu. Agak sulit mengatakan ini contoh yang baik bagaimana TNI ikut mendorong penegakan hukum di negeri ini.
Kesan yang lebih buruk muncul ketika TNI menyodorkan Sjafrie Sjamsoedin untuk menjadi juru bicara institusi: TNI sepertinya tak mempedulikan hukum. Perwira yang belum genap 50 tahun itu belum tentu bersalah memang. Belum satu keputusan pengadilan pun membuktikan dia bersalah, tapi dia jelas bermasalah. Dia tak bisa melepas tanggung jawab atas terjadinya kerusuhan Mei 1998. TNI sebaiknya membiarkan hukum menjangkau Sjafrie, lewat pemeriksaan oleh komisi atau pengadilanproses yang mungkin saja bisa membersihkan namanya jika dia tak bersalah.
Jika itu bisa dilakukan TNI, banyak hal bagus terjadi. Mitos bahwa TNI kebal hukum bisa sirna perlahan-lahan. Dan Sjafrie, perwira yang konon cemerlang itu, bisa bebas dipromosi untuk jabatan yang lebih pantas ketimbang sekadar Kapuspen, yang agak "menurunkan" jenjangnya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini