Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kelas Jauh Menuai Riuh

Program kelas jauh membuat Dirjen Pendidikan Tinggi berang. Soal mutu pendidikan dan idealisme.

24 Februari 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAHASISWA Universitas Gadjah Mada, untuk mengurangi kepenatannya seusai kuliah, kini bisa cuci mata di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Bukan di Malioboro, Yogyakarta. Kok, bisa? Tentu bisa karena salah satu kampusnya kini terletak di daerah Gondangdia Lama, Jakarta Pusat, tak jauh dari pusat kesenian di Ibu Kota itu. Menempati gedung bekas Kantor Pusat Bapindo?sewa kepada Bank Mandiri?Universitas Gadjah Mada (UGM) menata kampus barunya itu dengan serius. Bangunan lama tiga lantai itu "disulap" menjadi tempat kuliah magister manajemen (MM) yang nyaman. Empat belas ruang kelas berpenyejuk udara, lengkap dengan In-Focus, komputer, dan sound system, siap melayani dosen dan mahasiswanya. Untuk diskusi, ada enam ruang yang disediakan. Student lounge dengan televisi dan koran?seperti lounge di hotel-hotel berbintang?dengan sofa-sofanya yang empuk juga disediakan. Tidak lupa laboratorium komputer dan perpustakaan dengan 300-an judul buku. Tapi, sekali lagi, ini semua terletak 650 kilometer dari pusat kampus universitas tertua di Indonesia itu. Soal jauhnya (baca: kelas jauh) ini yang membuat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional, Satryo Soemantri Brodjonegoro, berang. Ia prihatin, model pendidikan kelas jauh ini akan menghasilkan mutu pendidikan yang rendah. "Tidak ada pendidikan gelar di luar kampus. Dosennya ke mana-mana. Di kampus banyak kerjaan, kok, ke luar kampus," kata Satryo memberikan alasan melarang?dan mengancam memberikan sanksi?program semacam itu, pekan lalu. Bukan hanya UGM yang menyelenggarakan kelas jauh ini. Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjadjaran (Unpad) juga membuka program strata duanya di Jakarta, jauh dari Bandung. Lantas mengapa program itu muncul? Menurut Marwan Asri, Direktur Program Magister Manajemen UGM, kelas jauh ini dibuka untuk memenuhi keinginan orang yang berminat mengikuti pendidikan di MM UGM tapi tak bisa ke Yogyakarta. Selain itu, "Sembilan puluh persen keputusan bisnis penting diambil dan dilakukan di Jakarta. Maka dibuka di Jakarta," kata Marwan. Sedikit berbeda dengan UGM, Unpad membuka kelas jauhnya untuk meningkatkan daya tampung. "Ini merupakan tanggapan lembaga pendidikan tinggi atas kebijakan pemerintah yang ingin memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk mengenyam pen-didikan tinggi," ujar Hadi S. Barmana, Kepala Humas Unpad. Dengan niatan itu, mereka tidak asal-asalan mengelola kelas jauhnya. Dari ujian masuk, kurikulum, dosen, hingga fasilitasnya dijanjikan sama dengan kampus pusat masing-masing. Caranya, dosen kampus induk terbang ke Jakarta tiap kali ada kuliah. "Untuk menjaga kualitas, MM UGM di Yogya dan di Jakarta mempunyai kurikulum yang 100 persen tak berbeda," kata Marwan Asri. Tingkat ke-hadiran dosen-dosennya pun harus 100 persen, jadi harus ada penggantian kuliah di hari lain bila dosen berhalangan hadir. Tapi itu semua, menurut Dirjen Dikti, tetap tidak menjamin mutu seperti kuliah di tempat induknya. "Kalau dosennya pergi-pergi, kapan melakukan penelitian dan membenahi materi ajaran?" kata Satryo. Berdasarkan norma pendidikan, menurut Satryo, tidak ada pendidikan gelar di luar kampus. Sebaiknya sebuah pendidikan tatap muka dilakukan terintegrasi di lokasi yang sama. Tian Belawati, Pembantu Rektor I Universitas Terbuka (UT), sependapat dengan Satryo. Ia menganggap pendidikan tatap muka (kelas jauh) tidak ideal dilakukan dengan adanya jarak. "Pendidikan jarak jauh seperti yang di-lakukan UT (lihat Antara Kelas dan Jarak) bisa menjadi alternatif," kata Tian. Pihak Dikti sendiri berkali-kali menegur. Pekan lalu bahkan keluar teguran bernada ancaman. "Kalau itu tetap diteruskan, dana dari pemerintah akan dihentikan," ujar Satryo. Seorang karyawati swasta yang menjadi mahasiswi di MM UGM Jakarta tidak ambil peduli dengan perdebatan ini. "Kita senang kuliah di sini. Dosen-dosennya berkualitas. Soal ancaman Dirjen biar diselesaikan pengelola," ujar mahasiswi ini?meski biaya kuliahnya Rp 45 juta (lebih mahal Rp 5 juta dari MM UGM di Yogyakarta) selama dua tahun. Tingginya biaya kuliah itu menimbulkan dugaan program ini menjadi sumber pemasukan perguruan tinggi bersangkutan. Menurut Satryo, kalau perguruan tingginya efisien, dana dari pemerintah cukup. "Jangan menjual ijazah ke sana-kemari. Kalau dirasa pendapatan dosen masih kurang, jangan jadi dosen. Pendidikan itu ada idealisme, norma, dan etikanya," kata Satryo. Marwan Asri pun membantah motivasi bisnis tersebut. "Pengembangan kami ke Jakarta bukan bermotifkan bisnis, tapi demi kemajuan bangsa dan negara," ujarnya. Jadi?atas nama bangsa pula?persoalan ini harus diselesaikan dengan kepala dingin. Ardi Bramantyo, L.N. Idayanie (Yogya), Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus