Setelah fit-and-proper test terhadap para bidder Bank Cen- tral Asia (BCA) selesai dilakukan Bank Indonesia (BI) awal pekan ini, lalu bagaimana kelanjutannya? Sesuai dengan agenda, BPPN akan menangani proses penjualan saham BCA meskipun serangan kritik dari para pengamat, praktisi bank, dan bahkan Menteri Kwik Kian Gie kian menjadi-jadi. Tak dapat dimungkiri, frekuensi dari silang pendapat itu mengindikasikan bahwa divestasi saham BCA sudah semakin kontroversial dan membingungkan.
Mengapa kontroversial? Mungkin karena pemerintah sempat memperlihatkan kecondongan terhadap bidder tertentu sehingga muncullah istilah favoritisme. Selain itu, dispensasi untuk satu bidderdalam bentuk penundaan penyerahan dokumenterasa mengganggu mekanisme tender. Belakangan muncul gagasan agar BPPN melakukan negosiasi ulang dengan bidder, asalkan prosesnya transparan dan lebih menguntungkan pemerintah.
Gagasan itu mengisyaratkan bahwa BPPN dicurigai tidak bersikukuh menyukseskan tender, juga tidak cermat menyiasati langkah-langkah para bidder dan kurang tajam memperkirakan risiko-risiko yang timbul, bahkan tidak cukup yakin pada tingkat harga saham BCA yang akan dijualnya. BPPN agaknya kaget sendiri ketika Kamis pekan lalu saham BCA diperjual-belikan pada harga Rp 2.000 per unit saham, sedangkan harga yang diajukan bidder bergerak antara Rp 1.775 dan Rp 1.780 per unit saham.
Tak kurang mengejutkan adalah inisiatif salah satu bidder yang dalam revisi penawaran kabarnya mengajukan tiga syarat, dua di antaranyamenempatkan 15 persen dari total nilai transaksi saham BCA pada escrow account selama dua setengah tahun (berarti pemerintah tidak segera menerima dana penjualan secara total) dan pembayaran dilakukan bertahap, sementara pemerintah tidak boleh default membayar bunga obligasi rekap di BCAsangat merugikan pemerintah. Namun, tiga syarat itu disangkal keras oleh bidder yang bersangkutan sehingga hal itu harus diterima sebagai bagian dari perang urat saraf yang dilancarkan para pesaing satu sama lain.
Tapi debat publik masih berlanjut. Menjelang akhir pekan lalu, beredar kajian ringan mengenai obligasi rekap dan bunganya. Dipertanyakan, apakah setelah tidak lagi memiliki BCA pemerintah masih harus membayar bunga obligasi rekap seperti yang dituntut salah satu bidder. Atau, bila obligasi itu ditarikseperti diusulkan Kwik Kian Gie dan disetujui oleh salah satu bidder (Farallon Capital Management)apakah pemilik baru mampu mengeluarkan dana besar sebagai penambal hilangnya aset (obligasi) yang ditarik itu? Silang pendapat lagi-lagi meruncing, dan semakin banyak yang mengkhawatirkan bahwa divestasi BCA hanya akan merugikan pemerintah.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pengambil keputusan, sulit untuk tidak menduga bahwa sumber kontroversi adalah pemerintah sendiri. Dan itu mungkin disebabkan oleh kekeliruan memosisikan divestasi BCA: apakah lebih untuk menyehatkan BCA atau demi kejar setoran ke APBN 2002; apakah agar BCA segera menjadi proyek percontohan bagi keberhasilan rekap atau sekadar memenuhi kepentingan tertentu yang tak ada kaitannya dengan bank itu sendiri? Mereka yang skeptis cenderung melihat divestasi BCA sebagai eksperimen bidang keuangan yang peluangnya untuk berhasil pantas dipertanyakan.
Tapi, apakah seburuk itu benar kinerja pemerintah? Katakanlah divestasi BCA cuma akan merugikan, apakah pemerintah sudah begitu tumpul sehingga divestasi dipaksakan juga? Kejelasan tentang itu memang harus ditunggu. Dari hasil tender, setidaknya bisa diperkirakan apakah divestasi akan meringankan beban pemerintah dan mengukuhkan struktur modal BCA atau tidak. Maka, tak bisa lain, divestasi BCA harus ditangani dengan cermat karena masa depan sektor perbankan dipertaruhkan di sana; juga keberhasilan tim ekonomi dari pemerintahan Mega.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini