Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa pun pilihan mereka, tuntutan untuk merdeka sudah lama meletup di Bumi Cenderawasih. Cikal bakal OPM bahkan telah muncul sejak 25 tahun yang lalu. Jakarta bisa dianggap gegabah kalau menepiskan gelora kemerdekaan Papua sebagai suatu tuntutan yang biasa-biasa saja. Ketika Wakil Presiden Megawati akhir Mei lalu berkunjung selama satu minggu di 10 kabupaten Provinsi Papua, lebih dari satu kali ia dihadang oleh massa OPM yang cukup keras meneriakkan tuntutan merdeka.
Makna kemerdekaan itu sendiri tentu bisa berbeda-beda dari satu warga Papua ke warga Papua lainnya. Namun, pemerintah pusat di Jakarta tidak mungkin menafsirkannya sebagai sesuatu yang lain daripada bahaya disintegrasi bangsa. Dalam kerangka ini, sungguh tepat pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang secara tegas menolak keputusan Kongres Papua II yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Sikap Megawati yang arif dalam menghadapi OPM juga mencerminkan penolakan yang sama.
Orkestrasi penolakan ini penting agar warga Papua tidak salah "membaca" sinyal-sinyal dari Jakarta. Sedikit saja sinyal itu ditafsirkan salah oleh Jayapura; atau Jakarta menawarkan solusi dengan celah-celah yang membuka peluang bagi perpecahan bangsa, akibatnya mungkin fatal. Kecerobohan Habibieyang menawarkan dua pilihan: integrasi atau merdeka, kepada Timor Lestemembuktikan hal itu. Dalam situasi dan kondisi yang kurang menguntungkan seperti sekarang, Republik seharusnya tegas tapi berwawasan, luwes dengan tetap mengupayakan dialog, namun tidak sampai kebablasan. Tantangan itu sesungguhnya terletak dalam cara bagaimana Jakarta mewujudkan rumus yang sederhana, yang oleh politisi zaman dulu disebut stick and carrot policy.
Seperti yang bisa dipantau sebelumnya, pemerintahan Gus Dur cenderung mengandalkan carrotkonon Jakarta menyumbang dana untuk Kongres Papua IIsehingga warga Papua merasa, sudah terbuka ruang kebebasan yang lumayan luas untuk menggaungkan pekik merdeka. Kini, saat giliran Gus Dur mengayun-ayunkan pentungan, kita pun segera menyadari bahwa ternyata itu saja tidak memadai. Apalagi kalau yang dipertaruhkan adalah keutuhan bangsa. Yang pertama mungkin bisa dilakukan adalah mengalokasikan pendapatan Papua dalam porsi lebih besar, misalnya dari sumber daya alam daerah seperti minyak, kayu, tembaga. Alternatif ini dijamin efektif, terutama kalau dilakukan dengan bersih dan tepat guna. Jurus yang sama juga berlaku bagi daerah kaya lainnya, karena yang mereka tuntut sebenarnya bukan kemerdekaan, tapi keadilan. Memang, pilihan ini sulit-sulit gampang, dan tentu sepenuhnya bergantung pada kiai yang kini memegang pentungan. Papua mungkin siap, Jakarta bagaimana?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo