Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENTERIAN Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak serius memperlakukan korupsi sebagai kejahatan berat. Hadiah pembebasan bersyarat untuk pengusaha Hartati Murdaya menunjukkan nihilnya niat sungguh-sungguh itu. Bukannya menaati syarat ketat pembebasan terpidana korupsi, Kementerian malah menerobos aturan sehingga bekas anggota Dewan Pembina Partai Demokrat itu mendapat keistimewaan.
Hartati tidak pantas menerima "penghargaan" itu. Dia terbukti menyuap Amran Batalipu, Bupati Buol, Sulawesi Tengah, sebesar Rp 3 miliar, untuk memuluskan terbitnya surat izin perkebunan dan hak guna usaha dua perusahaannya. Februari tahun lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis dua tahun delapan bulan penjara. Amran juga telah diganjar tujuh tahun enam bulan.
Memang, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, terpidana kasus khusus, termasuk korupsi, bisa mendapat pembebasan bersyarat. Kementerian Hukum, yang membuat aturan itu, justru menetapkan syarat ketat. Selain terpidana harus sudah menjalani dua pertiga masa hukuman, harus ada rekomendasi dari penegak hukum. Dalam kasus Hartati, yang berhak memberi rekomendasi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi. Syarat lain, penerima harus tergolong justice collaborator atau orang yang membantu membongkar kasus kejahatannya.
Kendati sudah menjalani dua pertiga masa hukuman, Hartati tidak memenuhi dua ketentuan lain. Dia tidak mendapat rekomendasi KPK. Keberpihakan Kementerian Hukum pada Hartati terlihat dalam proses ini. Kementerian menyatakan sudah meminta rekomendasi KPK tapi tak kunjung tiba setelah melewati tenggat 12 hari. Atas dasar itu, berpegang pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012—jika jawaban KPK tak kunjung muncul, rekomendasi bisa diabaikan—Kementerian menerbitkan pembebasan bersyarat itu.
Seandainya Kementerian berpihak pada pemberantasan korupsi, rasanya di zaman teknologi informasi canggih ini tak sulit mengontak KPK sebelum menerbitkan pembebasan bersyarat Hartati. Ketika tindakan sangat gampang itu tak dilakukan, ada kesan kuat Kementerian sengaja membiarkan KPK telat menjawab. Mudah diterka motifnya, agar Kementerian mendapat pembenaran menerbitkan pembebasan bagi bekas anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu.
"Niat" memberi kemudahan kepada Hartati juga terlihat dari langkah Kementerian menerabas ketentuan lain. Pembebasan bersyarat seharusnya diberikan kepada terpidana yang mau membantu penegak hukum membongkar kasusnya. Jelaslah Hartati tak masuk golongan ini. Sepanjang proses pemeriksaan hingga persidangan, dia selalu membantah keterlibatannya. Padahal bukti rekaman percakapan terang-benderang menunjukkan peran Hartati dalam penyuapan itu.
Pembebasan bersyarat Hartati ini melengkapi keprihatinan kita atas tren melemahnya hukuman koruptor. Pada saat yang hampir sama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis ringan bagi Atut Chosiyah, terdakwa kasus suap terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Atut dituntut hukuman sepuluh tahun penjara, tapi hakim mengorting dengan hukuman hanya empat tahun. Substansi dua kasus ini sama: koruptor mendapat ganjaran yang tak setimpal dengan perbuatannya.
Tak sepantasnya koruptor "dimanjakan" seperti dua kasus itu. Bila ingin kembali menunjukkan niat baik dalam usaha memberantas korupsi, Kementerian Hukum seharusnya membatalkan pembebasan bersyarat bagi Hartati Murdaya yang "cacat hukum" itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo