Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH sering kita cakapkan: rumah kotor tak bisa dibersihkan dengan sapu tak resik. Dalam kasus penangkapan Ajun Komisaris Besar Polisi Idha Endri Prastiono dan Brigadir Kepala M.P. Harahap karena kasus narkotik, ungkapan lain patut pula dikutip: bagai pagar makan tanaman.
Kedua aparatur itu dibekuk Polisi Diraja Malaysia di Kuching, Sarawak, karena dicurigai merupakan bagian dari jaringan narkoba internasional. Sebelumnya, polis Malaysia telah pula menangkap Sonya Chusi, warga Filipina yang diduga berperan sebagai kurir. Jaringan itu diperkirakan sedang mengatur peredaran narkotik dari Afrika. Kalimantan Barat dan Sarawak merupakan dua kawasan bersisian. Berbeda negara, keduanya memiliki sejumlah pintu masuk yang dikenal mudah diterobos secara ilegal.
Kepolisian Indonesia tak perlu menutup-nutupi aib ini. Polisi Malaysia dikabarkan mengembangkan kasus berdasarkan penelusuran intelijen. Betul dalam urine keduanya tak terkandung zat adiktif mematikan itu. Namun data itu tak memastikan Idha dan Harahap tak terlibat sebagai pengedar. Sejauh ini, Polisi Diraja belum menetapkan keduanya sebagai tersangka.
Pernyataan Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutarman agar masyarakat tak buru-buru memvonis Idha dan Harahap sebagai bagian dari jaringan narkoba internasional bolehlah kita terima sebagai penerapan prinsip presumption of innocence. Namun, terlepas dari pernyataan publik, Sutarman harus secara serius menelusuri kasus ini di dalam negeri. Bukan tak mungkin Idha dan Harahap bekerja dalam jaringan yang lebih luas melibatkan anggota Polri di level yang lebih tinggi. Sebelum ditangkap, Idha adalah Kepala Subdirektorat III Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Kalimantan Barat. Adapun Harahap anggota Kepolisian Sektor Entikong.
Kini saatnya Kepolisian memeriksa kembali gerak langkah Idha dan Harahap. Lalu lintas uang dan hubungan telepon patut ditelusuri. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan selayaknya dilibatkan pula. Agar tak terjadi konflik kepentingan, jika unsur korupsi ditemukan, polisi patut menyerahkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Profil Idha sungguh mencurigakan. Pada awal 2014, Titi Yusnawati, istri Idha, melaporkan kehilangan lima kilogram perhiasan dalam bagasi pesawat di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Membongkar jaringan pencuri di bandara, aneh bin ajaib, polisi tak menelusuri alasan istri Idha membawa barang berharga dalam penerbangan. Nilai perhiasan itu pun "dilorotkan", dari Rp 19 miliar menjadi Rp 500 juta, lalu "hanya" Rp 181,5 juta. Tak pernah diklarifikasi desas-desus yang berkembang: perhiasan itu merupakan bagian dari praktek pencucian uang yang dilakukan Idha.
Perkara Idha dan Harahap semestinya memacu polisi melibas jaringan narkotik, termasuk di tubuh Kepolisian sendiri. Keberadaan dua lembaga negara yang berwenang menangani narkotik patut dipikirkan kembali. Saat ini Kepolisian RI memiliki Direktorat Narkoba, yang bernaung di bawah Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri. Di luar itu, ada Badan Narkotika Nasional, lembaga yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga terakhir ini umumnya dipimpin jenderal polisi.
Alih-alih bekerja sama, kedua lembaga malah kerap saling sikut. Persaingan terbuka antara Direktorat Narkoba Mabes Polri dan BNN tak boleh terjadi. Syahdan, pertengahan tahun lalu, BNN memblokir rekening seseorang yang mereka curigai terlibat kasus narkotik. Tak menyerah, si pemilik rekening melaporkan BNN ke Mabes Polri. Si pelapor menyebutkan telah menyuap Kepala BNN agar blokir rekeningnya dibuka. Sang ketua menyangkal menerima rasuah.
Bukannya dilakukan pengusutan secara terbuka, yang terjadi adalah perang ala intel Melayu. Ruang Kepala BNN disatroni seorang penyidik Mabes Polri dan sejumlah dokumen yang kuat diduga berkaitan dengan kasus pemblokiran rekening dibawa pergi. Tak pernah jelas akhir cerita ini. Yang muncul adalah analisis: di balik sengkarut itu ada persaingan antara petinggi BNN dan perwira Mabes memperebutkan posisi Kepala Polri. Dengan kata lain, perkara narkotik telah dipakai sebagai sarana saling menjatuhkan antarjenderal.
Inilah tantangan bagi Kepolisian: mengembangkan sikap profesional, termasuk dalam urusan narkoba. Menghadapi mafia narkotik yang terus memperkuat diri, penegak hukum tak boleh lembek, mudah tergoda, apalagi saling tikam. Penangkapan dua polisi di luar negeri barangkali harus disyukuri sebagai blessing in disguise. Tak kunjung serius diurus di negeri sendiri, borok itu mungkin sudah selayaknya dibongkar di negara tetangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo