Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Prospek Habibie Pascaskandal

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syamsuddin Haris Pengamat politik dari LIPI Di tengah maraknya persaingan tiga kubu pencalonan presiden, PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan "poros tengah", Presiden Habibie, yang menjadi calon Golkar dan masih dipersoalkan secara internal oleh Partai Beringin, justru menuai skandal baru, megakorupsi kasus Bank Bali (BB). Padahal, Megawati sudah mengibarkan bendera, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur telah "bersedia" dicalonkan—bahkan ia tengah mengobati matanya—dan momentum pemilihan presiden tinggal beberapa minggu lagi. Ada beberapa persoalan sangat mendasar di balik terkuaknya skandal baru rezim Habibie tersebut yang berimplikasi pada kans Habibie sebagai presiden. Pertama, kasus itu memperlihatkan secara telanjang tidak adanya kesungguhan pemerintahan Habibie dalam program recovery perekonomian nasional pada umumnya, dan rekapitalisasi serta penyehatan perbankan pada khususnya. Tampaknya, indikasi ketidakseriusan itu menjadi faktor utama merosotnya kembali nilai tukar rupiah terhadap dolar ke level Rp 8.000 per dolar AS. Pasar agaknya menjadi ragu, apakah rezim Habibie, sekurang-kurangnya orang-orang kepercayaannya, memiliki niat baik untuk menyelamatkan Indonesia dari lembah krisis atau tidak. Kedua, komitmen dan janji-janji politik untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi begitu mubazir. Penyelewengan di 12 instansi pemerintah, misalnya, ternyata tak lebih dari gincu politik belaka karena tak pernah jelas siapa pelakunya, apa pangkatnya, sejauh mana pengusutannya, dan apa hukuman bagi para koruptor itu. Amanat MPR untuk mengusut dugaan KKN atas Soeharto dan para kroninya berhenti sebagai upacara, sementara kasus mantan jaksa agung Andi Muhammad Ghalib tampaknya bakal menguap begitu saja. Kini, dalam kasus BB, Habibie lagi-lagi menjanjikan pengusutan, sementara kasus-kasus lama, dari kerusuhan Mei 1998, penembakan para mahasiswa, penculikan terhadap para aktivis, sampai insiden Semanggi, tak satu pun yang terungkap secara tuntas dan transparan. Ketiga, Presiden Habibie adalah salah seorang calon presiden yang dianggap terkuat, selain Megawati dan Gus Dur. Kalau selama satu tahun masa pemerintahannya saja begitu banyak janji politik yang ditabur sementara hampir tak ada pemenuhan yang memuaskan atasnya, bisa dibayangkan apa yang terjadi seandainya rezim politik semacam ini berlangsung selama lima tahun. Dalam kasus Aceh, ironisnya, Habibie membiarkan pimpinan TNI dan Polri mendistorsikan substansi tragedi Aceh, seolah-olah sekadar persoalan keamanan. Lebih dari itu, presiden bahkan membiarkan TNI mengatasnamakan "kepentingan nasional" untuk membenarkan pembantaian atas rakyat Aceh yang tidak berdosa. Seakan-akan tuntutan keadilan politik dan kesejahteraan ekonomi, yang menjadi substansi persoalan Aceh, bisa diselesaikan dengan bedil. Kalau semua "kredit" di atas bisa dipakai sebagai parameter untuk merumuskan kapabilitas dan akseptabilitas seorang calon presiden, sangat wajar jika sebagian elite Golkar mencari alternatif calon presiden di luar Habibie. Apalagi jika benar bahwa uang haram Bank Bali itu dipakai oleh "tim sukses" Habibie untuk membeli suara rakyat dalam Pemilu 1999 yang lalu dan dalam rangka menyuap para anggota MPR guna memuluskan terpilihnya Bung Rudy sebagai presiden. Kemauan dan kesungguhan politik memenuhi tuntutan reformasi dan menyelamatkan bangsa dari belenggu krisis jelas tak cukup diwujudkan dengan janji-janji retoris belaka. Juga, tak cukup ditunjukkan dengan setumpuk kebijakan resmi mengenai hal itu. Komitmen terhadap reformasi tak ada artinya tanpa agenda aksi dan realisasi yang diwujudkan dalam tindakan konkret para penyelenggara negara. Maka, para pejabat yang bertanggung jawab atas berbagai insiden, tragedi, dan skandal harus mundur. Kalau tidak mau mengundurkan diri, mereka harus dicopot dari jabatannya. Komitmen untuk menegakkan kehidupan bernegara yang sehat, rasional, dan bermoral meniscayakan berlakunya mekanisme accountability demikian. Kalau tidak, semua komitmen pemerintah yang telah dikemukakan secara publik itu tak lebih dari sekadar omong kosong besar. Skandal BB semakin membuka mata publik, betapa "kotor" dan buruknya kinerja kabinet Habibie di balik prosesi peluk-cium dengan peci, yang dipertontonkan setiap hari melalui layar kaca. Kenyataan ini jelas tak hanya memperburuk citra pemerintahan Habibie, melainkan juga bisa memengaruhi peluang dan popularitas putra Parepare itu dalam kompetisi pemilihan presiden. Pendekatan yang semakin gencar antara kubu Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung dan kubu Megawati tampaknya berhubungan dengan realitas mutakhir itu. Kubu Akbar agaknya tidak melihat adanya keseriusan Habibie untuk membersihkan orang-orang di sekitar yang cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Kalau skandal BB bisa dibongkar dan ada "titik temu" antara Mega dan Akbar, tidak mustahil peta persaingan calon presiden akan berubah, dan Habibie bakal digembosi oleh kalangan Golkar sendiri. Pertanyaannya kemudian, masih adakah harapan bahwa skandal BB akan dibongkar? Barangkali hanya Bung Rudy sendiri yang bisa menjawabnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus