"Ada satu keinginan di hati Yessi Gusman yang sampai kini masih
tetap belum terlaksana. Yaitu: naik bis-kota ke sekolah. "
Sinar Harapan Minggu, 23 November 1 980 .
IMA bangun tanpa jam. Tapi ia tahu, di luar sana, waktu telah
berupa pagi. Kamarnya masih gelap. Adik-adiknya--ada tiga
orang--masih tergolek. Sementara itu, subuh telah terdengar
dengan cukup bising lewat pengeras suara dari masjid di ujung
gang.
Dan itu adalah bagian dari rutinnya. la bangun, ia mandi, ia
sembahyang, ia menyiapkan sarapan, ia menyapu, ia bersiap ke
sekolah. Ibunya akan sudah mulai sibuk dengan cucian di dekat
pompa atau repot dengan sisa-sisa dagangannya di dapur. Bapaknya
masih mendengkur, keras.
Beberapa belas menit lagi, ia akan sudah berada di dalam
bis-kota, yang membawanya ke sudut pertigaan, 7 km setelah gang
kampungnya Dari sudut itu ia akan berjalan kaki dua kilo ke
sekolahnya. Sebuah SMA yang kusam.
Jadwal itu begitu tertib, hingga tak pernah terlintas dalam
pikirannya, bahwa ada seorang anak gadis, seusia dengannya, yang
begitu kepingin naik bis kota ke sekolah . . .
Sampai ia membaca koran sore hari itu. Dan sebuah dialog --
tentu saja hanya fantasi -- berkecamuk di kepalanya.
"Kenapa kau begitu kepingin naik bis-kota, Yessi?"
"Karena aku belum pernah."
"Sekali pun belum pernah?"
"Ya, baru sekali -- dalam adegan film, ketika aku main
sebagai bintang remaja."
"Aneh. Aku kira semua anak pernah naik bis-kota, pernah
berdesak-desak didesak desak, takut terlambat . . .. Kenapa kau
belum pernah, Yessi?"
"Karena aku selalu naik mobil. Ibuku bilang, badanku tipis,
ringkih. Ibu takut bila aku akan terhimpit-himpit di pintu bis
yang reyot dan miring itu. Ibu sayang kepadaku."
(Sebentar dialog terhenti. Fantasi stop. Ada penumpang tua
terinjak kakinya dan memekik).
"Kau berbahagia, Yessi."
"Ya, ya. Tapi aku kepingiiiin naik bis-kota. Aku ingin
menyentuh, atau masuk ke dalam, kehidupan yang nyata. "
"Apakah arti kehidupan yang nyata bagimu, Yessi?"
"Apa artinya? Kau tak tahu? Inilah kehidupan yang nyata: ada
bau minyak wangi, tapi ada juga bau petai. Bahkan jengkol. Ada
bau kretek, peluh, dan bensin. Tak cuma parfum impor .... "
"Apa enaknya, Yessi? Semacam darmawisata? "
"Apa salahnya? Bukankah aku perlu pengalaman, bahkan sensasi?
Bukankah aku butuh untuk mengecek pancainderaku dengan dunia
luar yang tak biasa itu? Aku perlu manunggal, Ima, aku perlu
manunggal kembali dengan dunia -- di mana banyak orang hidup."
(Bayang-bayang Yessi Gusman tibatiba lenyap. Bis harnpir
menabrak sebuah mobil dinas yang menjemput pegawai).
"Itukah sebabnya kau bisa bicara sengit tentang
'konsumerisme' dan barang impor--yang kau kenal betul hingga
membosankanmu? Itukah sebabnya mereka bicara tentang hidup
pedesaan yang mereka bayangkan masih harmonis, tentang
kesederhanaan yang indah --karena mereka tak kenal betul?
"Di situ, Yessi, kemewahan bukan sesuatu yang salah. Hanya
sesuatu yang jenuh.... "
Dalam novel C.J, Koch, The Year of Living Dangerously,
seorang wartawan Australia yang jangkung dan muda berjalan di
sepanjang gubuk-gubuk reyot Jakarta, tahun 1965. Ia tiba-tiba
merasakan intensitas yang bertentangan: ketakjuban menyaksikan
kemelaratan yang ekstrim.
Dan sang pencerita pun menulis: "Kebanyakan dari kita, saya
kira, menjadi kanak kembali ketika kita memasuki daerah miskin
Asia . . . "
Ya, kanak-kanak di dunia yang tak saling bersintuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini