Dr. Kurtubi *)
*) Pengamat perminyakan
DALAM sejarah industri minyak dunia, tercatat bahwa Standard Oil Company (SOC) merupakan perusahaan minyak pertama yang mempraktekkan monopoli. SOC adalah sebuah perusahaan minyak swasta yang didirikan oleh John D. Rockefeller pada 1870, sekitar sepuluh tahun setelah lahirnya industri minyak dunia yang ditandai oleh keberhasilan Colonel Drake melakukan pengeboran minyak di Titusville, Pennsylvania, Amerika Serikat. Sepuluh tahun setelah kelahirannya, SOC berkembang menjadi perusahaan minyak yang terintegrasi, bergerak dalam bidang usaha hulu (eksplorasi dan eksploitasi) dan usaha hilir (pengilangan, transportasi, dan pemasaran), dengan penguasaan pasar yang sangat dominan, sekitar 80 persen dari pangsa pasar BBM pada waktu itu. Sebagai profit maximing monopolist, SOC menentukan sendiri jumlah penawaran sekaligus tingkat harga jual yang harus dibayar oleh konsumen BBM di AS.
Akibat monopoli SOC, masyarakat dirugikan karena timbulnya deadweight loss, yakni hilangnya kesejahteraan masyarakat karena mereka harus membayar harga BBM yang lebih mahal dari pasar persaingan. Harga yang lebih mahal inilah yang menyebabkan sistem monopoli ditentang sejak zaman Adam Smith sampai zaman WTO sekarang.
Untuk menghindari kerugian masyarakat lebih jauh, diundangkanlah Sherman Antitrust Act pada 1890, yang melarang praktek monopoli dan integrasi vertikal. Setelah melewati berbagai kasus, barulah pada 1911 SOC dibubarkan dan lahirlah persero-persero baru dalam pola unbundling (non-integrasi) dengan ukuran lebih kecil dan bergerak dalam satu sektor saja. Muncul pecahan Standard Oil yang bersifat lokal di New York, New Jersey, Ohio, Kansas, Nebraska, California, dan sebagainya. Juga muncul perusahaan khusus kilang seperti Solar Refining dan Atlantic Refining, di samping perusahaan pengangkutan/pipa minyak seperti Southern Pipeline dan Eureka Pipeline.
Sebagai perusahaan baru yang berdiri sendiri, pecahan eks SOC ini masing-masing berusaha memaksimumkan profit, sementara aturan persaingan belum ada. Akibatnya, timbul persaingan tidak sehat di antara mereka, di samping timbulnya beban biaya-biaya baru (seperti transaction costs), yang kesemuanya bermuara pada semakin tingginya biaya/harga BBM sebagai produk akhir di sisi konsumen akhir. Ketidakefisienan baru ini disadari oleh kalangan industri minyak dan pemerintah AS. Maka, pada 1914 keluarlah Clayton & Federal Trade Commission Acts, yang mengatur soal persaingan dan diizinkannya perusahaan melakukan penggabungan/merger.
Sejak 1915 mulailah terjadi proses merger di antara perusahaan pecahan eks SOC. Standard Oil of New Jersey bergabung dengan Anglo American membentuk Exxon. Standard Oil of New York merger dengan Vacuum Oil membentuk Mobil Oil, Standard Oil Kansas, Nebraska, dan Indiana bergabung membentuk Amoco. Perusahaan kilang minyak Atlantic Refining bergabung dengan Standard Oil of Kansas dan Prairie Oil membentuk Arco, dan sebagainya.
Di Indonesia, strategi merger juga mulai diterapkan dengan bergabungnya De Konninklijke dengan Shell Transport milik Inggris, yang melahirkan Royal Dutch Shell, yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Sejarah mencatat bahwa perusahaan minyak hasil merger tersebut berkembang menjadi perusahaan minyak raksasa penentu industri minyak dunia, yang disebut The Seven Sisters, yang terdiri atas Exxon, Shell, Mobil, Chevron, BP, Texaco, dan Gulf.
Kini kembali strategi merger diterapkan oleh eks The Seven Sisters di atas. Soalnya, sebelum harga minyak jatuh (1997-1998), yang menyebabkan saham mereka berguguran di bursa saham dunia, mereka merasa sudah menerapkan berbagai strategi, mulai dari cost cutting program, melepas usaha non-core yang kurang menguntungkan, dan memasuki non-core baru yang lebih menguntungkan, restrukturisasi, sinergi terbatas, dan buy-back scheme. Kesemua strategi itu tidak mampu menolong saham mereka dalam bersaing dengan saham dari industri lain. Sampailah mereka untuk melakukan strategi mega-merger agar dapat diperoleh efisiensi yang optimal lewat penghapusan redundancy, menghapus transaction costs antar-unit segmen usaha, penggabungan kekuatan teknologi dan finansial, serta penguasaan terhadap pangsa pasar.
Dengan ilustrasi di atas, terasa naif sekali apabila RUU Migas yang saat ini dibicarakan di DPR justru hendak menerapkan pola unbundling dalam industri minyak nasional, suatu hal yang hanya terjadi pada periode 1911-1914 di AS. Mengubah pola integrated menjadi pola unbundling dipastikan akan menyebabkan tidak efisiennya industri minyak nasional. Secara pasti, perubahan tersebut akan mengakibatkan biaya/harga BBM yang harus dibayar oleh konsumen meningkat tajam. Pasalnya, setiap persero yang bergerak di setiap sektor (eksplorasi, produksi, pengangkutan/tanker, kilang, penimbunan BBM, dan pemasaran BBM) akan berusaha memaksimumkan profit. Padahal, biaya-biaya baru yang antara lain berupa transaction costs muncul di antara persero tersebut, yang sebelumnya tidak dikenal, dan pada akhirnya akan dibebankan ke konsumen akhir bersama profit dari setiap unit usaha di setiap sektor. Sebagai contoh, pada Mei 2001, biaya BBM sampai di konsumen di seluruh Indonesia dari sistem terintegrasi adalah sekitar Rp 2.200 per liter (semua crude DMO sesuai dengan harga ekspor). Biaya yang rendah ini adalah merupakan barrier to entry yang dimiliki oleh natural monopolist Pertamina, sementara harga BBM sistem unbundling pasti akan lebih tinggi. Soalnya, dengan standar harga pasar saja, harga BBM akan menjadi sekitar Rp 3.500 per liter, jauh di atas sistem terintegrasi.
Kita mengharapkan agar para wakil rakyat di DPR lebih cerdas melihat peta industri minyak dunia dan kepentingan masyarakat, sehingga bisa melahirkan undang-undang yang bisa dipakai, rasional, dan berpihak pada rakyat.
Tulisan ini tidak otomatis mencerminkan pendapat dari perusahaan tempat penulis bekerja (Pertamina)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini