Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bulan Puasa Anak-anak Sekolah

Zaman kolonialisme Belanda dan Jepang setiap bulan puasa mengizinkan anak sekolah libur, penjajah tidak berani menyentuh Islam. Kini dalam bulan puasa harus tetap belajar, agar tidak ketinggalan.

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK-ANAK, kasih unjuk rapor kepada orang tuamu. Bagi yang naik kelas, boleh bersenang hati. Bagi yang tidak, boleh murung, asal tidak banyak-banyak. Ini merupakan pentung ke kepalamu supaya lain kali belajar lebih baik. Sekarang kamu boleh pulang, sampai ketemu habis lebaran," kata menir van Daalen seraya mengusap batang hidungnya, suatu kebiasaan sebagian besar bangsa Belanda yang hidup di bawah permukaan laut. Beresoknya, beduk puasa berdentam-dentam. Lepas sahur, anak-anak senewen itu masuk keluar kampung menabuh kaleng rombeng, kemudian duduk berjuntai di batang belimbing hingga lohor, sesudah itu tidur menelungkup menekan perut keras-keras ke ubin langgar hingga hampir maghrib. Jika saat berbuka tiba, mereka nyaris menelan seluruh isi bumi. Tapi ini tidak berlangsung lama, sembahyang tarawih sudah menunggu, yang mereka lakukan sambil sekali-dua menyikut rusuk temannya. Dalam hubungan ini C. Snouck Hurgronye benar: pokoknya jangan sentuh agama Islam, bisa berabe. Toh kultur Jawa masih cukup kuat, mampu produsir penduduk yang paling taat kepada atasannya di seluruh dunia. Jangan main paksa seperti disaksikan oleh van der Plas di Madura tahun 1919 murid sekolah bolos disuruh bersila di pendapa Asisten Wedana seraya dicoreti punggungnya dengan tulisan "Je Maintiendrai". Kapan pun juga main paksa tidak bisa menyelesaikan soal. Dan dalam hubungan jangan sentuh Agama Islam ini, kolonialisme Belanda pada umumnya cukup bijak. Buat apa bikin perkara dengan mereka kalau maksud sedalam-dalamnya adalah urusan rejeki, urusan perdagangan, een mercantiele betrekking? Seyogianya menghormati pesantren-pesantren di Jawa yang pada umumnya terletak di tengah lautan kcbun tebu agar supaya santri Buntet di Cirebon atau Tebuileng di Jombang tidak mengobrak-abrik pabrik sambil menggulung kain sarung hingga lutut. Gula, yang merupakan gabus tempat kerajaan Belanda mengapung, tidak boleh terancam. Jaman berganti, dan kini giliran Kawasaki-san berdiri di depan kelas. "Anak-anak, kasih unjuk rapor kepada orang tuamu. Bagi yang naik kelas, boleh bersenang hati. Bagi yang tidak, boleh murung, asal jangan banyak-banyak. Ini merupakan pentung ke kepalamu supaya lain kali belajar lebih baik. Sekarang kamu boleh pulang, sampai ketemu habis lebaran." Sesudah menyanyikan lagu kebangsaan Kimigayo dan seikerei membungkuk arah ke Tokio, murid-murid berkepala botak itu berhamburan ke luar kelas bagai kelereng tumpah dari dosnya. Seperti biasa, esok hari beduk puasa berdentam-dentam, dan seperti biasa mereka bergolek-golek di lantai langgar. Satu-dua ada juga yang diam-diam menggigit mangga muda di belakang kakus. Dalam huhungan ini H.J. Benda dalam The Crescent and The Rising Sun benar: biarpun bupati Bandung Wiranatakusumah menyimpan motip tersendiri menggalakkan baitulmal di beberapa karesidenan Jawa Barat, pemerintah Dai Nippon mendiamkan saja demi mencegah korsluiting dengan Islam. Dan biarpun pemuka Islam menyimpan keinginan sendiri menghadapi latihan Hizbullah di Lemahabang, Jepang pura-pura bersungguh hati demi "Asia Timur Raya." Di alam merdeka tentu keadaan berbeda. Anak-anak sekolah tambah jangkung, lebar dada dan tebal pantatnya. Ini berkat gizi cukup dan kemakmuran yang makin merata, terutama berkat kegesitan orang tua masing-masing. Jangan dibilang lagi tingkat kecerdasan mereka yang semakin meninggi, sebagian disebabkan karena orang sekarang mempunyai cara mengukurnya, dengan bantuan mesin yang tidak bisa dibantah. Akibat mereka yang kepingin sekolah jauh lebih banyak jumlahnya dari bangku yang tersedia, maka yang berhasil duduk dengan sendirinya merupakan makhluk pilihan, bagai ayam Bangkok di antara ayam kampung. Betapa pun istimewanya, mereka punya guru baik lelaki maupun perempuan. Menjelang hari puasa, pendidik itu tegak berdiri di depan kelas. "Anak-anak, sesuai dengan panggilan jaman, kamu dipersiapkan untuk berjalan-jalan dari planit ke planit, atau menyuruk jauh ke dalam perut bumi. Karena itu, kamu musti belajar keras, tak kecuali di bulan puasa. Satu hari terlewat berarti rugi duapuluhlima tahun."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus