Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYALAHGUNAAN kekuasaan (abuse of power) atas pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU) sungguh membuat kita geram. Penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi itu, selain melibatkan sejumlah birokrat Departemen Agama (regulator sekaligus pengelola DAU), oknum anggota DPR (pengawas), jugayang mengejutkanmelibatkan oknum auditor negara.
Penyalahgunaan kekuasaan secara sistemik itu bisa terus berlangsung sampai akhir pemerintahan Presiden Megawati karena antara pihak yang diaudit dan auditornya seperti ada kesamaan pandangan, untuk tidak mengatakan sebagai persekongkolan. Dari dokumen balas jasa yang diberikan pejabat Badan Pengelola (BP) DAUdalam jumlah ratusan juta, dengan beberapa kali transfer dan berlangsung dalam dua tahun anggarannyata sekali tindakan itu dilakukan secara sadar (fraud).
Semua dilakukan secara terang-benderang, meskipun dicuci lewat pos pengeluaran untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sebut saja ada biaya fotokopi, pembelian ATK, dan perbanyakan laporan yang dimintakan biayanya masing-masing Rp 10 juta. Setiap keluar uang lelah untuk PNBPbisa juga disebut sebagai kickbacksejumlah oknum BP DAU juga menerima uang lelah puluhan juta. Jadi, semacam konsorsium berbagi kickback dengan lead consortiumsecara bergiliran para pejabat BP DAU.
Penyalahgunaan kekuasaan itu mungkin bisa dicegah jika kedudukan Menteri Agama sebagai pembuat kebijakan (regulator) tidak disatukan dengan fungsi pengelolaan (eksekutorial) sebagai Ketua BP DAU. Ya, kira-kira, meskipun kurang tepat, kalau Anda jadi komisaris sebagai wakil pemilik perusahaan (umat), ya, nggak usah ikut menjalankan kewenangan eksekutorial dari direksi.
Tumpang tindih wewenang itu dimulai dengan lahirnya Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2001, yang selanjutnya diatur secara teknis oleh sejumlah keputusan Menteri Agama. Di dalam undang-undang dan keppres itu disebut pengelolaan DAU yang berasal dari efisiensi biaya haji diketuai Menteri Agama, dan pimpinan pelaksana terdiri dari Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, dan Sekretaris Ditjen.
Lalu, sebagai Ketua BP DAU, menteri mengeluarkan sejumlah keputusan yang mengatur dirinya sendiri. Tapi, hal mengenai mekanisme teknis pengawasan DAU yang dibebankan kepada sejumlah organisasi Islam tidak diatur. Jadi, kalau ditanya apakah pernah ada rapat antara pengawas dan pimpinan pelaksana BP DAU, pimpinan organisasi Islam pasti akan menggeleng.
Kalau fungsi regulator dan pengelolaan DAU tidak dipisahkan, kelak kita akan melihat semakin banyak orang berilmu yang lemah dari segi manajerial akan masuk perangkap melakukan tindak (pidana) penyalahgunaan kekuasaansehingga DAU akan jadi DAM (Dana Abadi Menteri). Karenanya, DPR dan pemerintah harus duduk kembali untuk mengamendemen Undang-Undang No.17 Tahun 1999 dan menegaskan bahwa BP DAU tidak berada di bawah departemen teknis, tapi di bawah Kementerian BUMN yang dikelola profesional yang diangkat melalui RUPS.
Jika soal DAU harus cepat diselesaikan karena ibadah haji 2006 sudah dekat, pemerintah bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) agar DAU tidak jadi DAM. Kita tidak usah sungkan membentuk BUMN yang mengurusi haji agar akuntabilitas dan transparansinya bisa di-review secara periodik, dan kinerjanya dipertanggungjawabkan kepada pemilik (umat) melalui RUPS.
Kalau sudah berbentuk badan usaha, BUMN itu sudah harus punya RKAP (rencana kerja dan anggaran perusahaan) yang pelaksanaannya dipertanggungjawabkan dalam RUPS. Dengan memiliki RKAP, pengurusnya tidak bisa dadakan digedor untuk membiayai solar bus Dharma Wanita Departemen Agama, atau mengongkosi pemungut bola tenis Pak Menteri, yang mengakibatkan terjadinya tindakan penyalahgunaan kekuasaan. Wallahualam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo