Empat November lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta menembus angka 500. Beda dengan kondisi peningkatan IHSG di awal 1990, kini IHSG sebagai indikator bursa lebih bisa diandalkan untuk mengukur sentimen pasar. Alasan pertama, ada 168 emiten sekarang, suatu jumlah yang lumayan. Para investor dari luar negeri makin melihat pembenaran investasi di Indonesia. Sebab, selain bursa Jakarta terletak di Asia Timur wilayah favorit untuk investasi portfolio saat ini angka-angka fundamental juga makin rasional. Contohnya adalah price earning ratio yang kini rata-rata mencapai tingkat ''normal'' antara 13 dan 17 kali. Juga angka-angka makro ekonomi, termasuk yang amat penting seperti tingkat suku bunga yang menurun, mengacu kepada kian menariknya investasi di sektor saham. Kini kembali berlaku pemeo: siapa pun yang memperoleh saham di pasar perdana pasti akan menggaet capital gain di pasar sekunder. Berdasarkan harga penutupan 4 November, perusahaan yang mencatatkan sahamnya di pasar sekunder dalam tiga bulan terakhir, memiliki potensi laba amat besar. Yang terbesar diraih oleh PT Barito Pacific Timber (BPT). Perusahaan milik taipan muda Prajogo Pangestu ini mencantumkan harga perdana Rp 7.200. Tapi pada 4 November harga telah meroket menjadi Rp 13.500 per lembar, naik 87,5 persen. PT Lion Metal Work, produsen perlengkapan kantor, juga ketiban rezeki nomplok. Keluar dengan harga perdana Rp 2.150, pada 4 November harganya melejit menjadi Rp 3.000, atau berpotensi laba hampir 40 persen. PT Sekar Laut, yang menghasilkan makanan ringan (snacks), tercatat di perdana dengan Rp 4.300 per saham, dan pada 4 November sahamnya lompat menjadi senilai Rp 7.500, alias meraih potensi laba hampir 75 persen. Hal yang sama ditunjukkan oleh PT Intraco Penta, distributor alat-alat berat, dengan potensi laba hampir 78 persen, dan PT Concorde Benefit, produsen garmen dengan potensi laba hampir 43 persen. Saham PT Kedaung Indah Can, produsen peralatan dapur email dan kemasan kaleng, juga memiliki potensi laba sekitar 60 persen. Satu angka indikator dari meluasnya bursa adalah kapitalisasi pasar. Sampai akhir Oktober lalu, kapitalisasi pasar di bursa mencapai Rp 54,5 triliun. Suatu lonjakan segede hampir Rp 9 triliun dalam satu bulan. Faktor penjelas yang terbesar adalah tampilnya BPT, yang di akhir Oktober itu mencapai kapitalisasi Rp 8 triliun lebih. BPT pada 4 November itu telah meningkatkan kapitalisasi pasarnya karena besarnya kenaikan saham, hingga per 4 November kapitalisasinya mencapai Rp 9,45 triliun. Bagaimana menjelaskan gonjang-ganjingnya bursa di tahun 1993? Dari tahun 1992 hingga 4 November lalu terjadi peningkatan IHSG dari 274 menjadi 500 atau 82,5 persen. Sebelum Barito muncul di bursa, IHSG mencapai hampir 420. Dalam satu bulan lebih dua hari dari pemunculannya, IHSG naik setinggi 19 persen. Nah, siapa lagi yang berperan sebagai lokomotif peningkatan indeks kalau bukan BPT. Pesan yang ingin disampaikan dengan membengkaknya IHSG dan meledaknya saham Barito adalah besarnya harapan kalangan bursa agar Prajogo sebagai pemegang saham mayoritas di BPT mampu melembagakan organisasi ekonominya. Maksudnya agar sepenuhnya terjadi transformasi kelembagaan menjadi suatu perusahaan publik yang kokoh. Mampukah dia? Pada saat sekarang masih terlalu pagi untuk menilai kinerja perusahaan kayu raksasa itu. Berbeda dengan kasus William Soeryadjaya, munculnya Prajogo dengan BPT-nya jauh lebih kontroversial. Bahkan, sebelum Barito tercatat di bursa, kontroversi dan sikap pro dan anti di masyarakat begitu berkembang, hingga menghadirkan Prajogo sendiri di DPR. Semua kontroversi yang muncul bermuara kepada dirasakannya oleh sebagian kalangan akan besarnya akomodasi yang diberikan Pemerintah kepada Barito, misalnya penyertaan saham Barito di PT Taspen, dan penjadwalan utangnya kepada beberapa bank negara. Politisasi BPT dalam proses masuk bursa tampak dalam berbagai analisa ekonomi yang muncul menjelang, pada saat, dan setelah BPT tercatat di bursa sekunder. Dalam hal ini prestasi yang dicapai oleh BPT akan tampak dalam dua bulan mendatang, saat kinerja tahunan mereka akan muncul, dan dividen akan mampir di saku masarakat yang menjadi pemegang sahamnya. Kalaupun kelak BPT memetik laba besar, dan dividen yang amat berarti bagi pemegang saham publik, agaknya ini baru awal proses transformasi BPT dari perusahaan yang peka secara politis menjadi perusahaan publik dalam arti yang sesungguhnya. Apa yang mau diterangkan dengan proses kelembagaan ekonomi dari konglomerat Prajogo, serta kelompok lain yang juga sudah mencatatkan saham mereka di bursa? Teman saya se-SMA dulu pernah berujar: pasar modal adalah ibu dari kapitalisme. Kalau benar demikian, bisakah dikatakan kalau pelembagaan ekonomi berhasil di bursa, masa depan kapitalisme sebagai sistem ekonomi Indonesia semakin kukuh? Atau bisakah kita menyatakan, maraknya bursa merupakan indikasi makin menariknya sistem kapitalisme bagi masa depan Indonesia? Di sini orang dihadapkan pada pertanyaan besar yang mungkin jauh lebih relevan dari sekadar terjebak dalam interpretasi normatif dari PJPT II yang makin lama makin ''sengit'' diperbincangkan. Konsep-konsep sumber daya manusia dan teknologi tinggi bisa lain untuk lain orang. Bahkan interpretasi bagi GBHN sebagai produk politik bisa berbeda untuk setiap orang pula. Tapi dividen, capital gain, dan profit perusahaan berlaku universal. Jangan-jangan orang mulai melihat proses transformasi ekonomi yang tidak sekadar menyangkut perubahan struktur produksi, tapi juga menyentuh perubahan sistem ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini