Ironis. Begitu kesan setelah membaca berita "Wabah Buta Baca" (TEMPO, 20 Oktober 1990). Memang, sangat mengenaskan jika di suatu kecamatan, ada 700 lulusan dan murid SD tak bisa membaca dan menulis. Tapi saya tak sependapat jika dari fenomena itu hanya satu pihak saja yang dikambinghitamkan, yakni guru. Sebab, sesuai dengan bunyi GBHN (1988-1993), bukan hanya guru (sekolah) saja yang termasuk unsur pelaksanaan pendidikan. Ada pula lingkungan keluarga dan masyarakat. Memang, cukup mengherankan jika kita masih kekurangan guru. Padahal, dikabarkan, jumlah pengangguran membengkak. Tapi, kenapa pula guru yang sudah ada di suatu daerah justru kemudian lari? Semua itu tak lain karena kurangnya gaji pegawai negeri, termasuk guru. Selain soal gaji, di setiap kecamatan, mestinya ada kaderkader guru dari daerahnya sendiri. Tentu harus ada jaminan bahwa kader-kader tersebut pasti kembali ke daerahnya. Sedangkan sisa jatah jumlah guru di daerah itu bisa diberikan bagi guru-guru dari daerah lain. Hal itu tak lain karena, selama ini, guru-guru dari luar daerah banyak yang minggat dari daerah penempatan mereka. Maksudnya, setelah diangkat menjadi pegawai negeri, kemudian mereka kasak-kusuk minta dipindah. Bahkan ada yang menghalalkan segala cara untuk bisa pindah. Baik dengan menyuap pejabat yang berwenang memutasikan maupun dengan mengandalkan memo/pesan dari orang teranehnya, dalam berita TEMPO, soal sarana dan prasarana sama sekali tak disinggung. Baik masalah buku maupun bahan bacaan lainnya. Sebab, kendati guru dan murid telah memenuhi syarat, jika tak ditunjang sarana dan prasarana bacaan, tetap saja akan terjadi wabah buta baca dan tulis. TJIWIE SJAMSUDDIN, S.H. Jalan Gajah Mada 11 Palangkaraya 73112 Kalimantan Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini