Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pencemaran di citarum: cobalah jalan-jalan ke dayeuhkolot

1 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membaca rubrik Lingkungan yang berjudul "Wabah Saguling: Menggelepar, Mabuk, dan Mati", saya heran atas apa yang dikemukakan oleh Saudara Eddy Junaidi dari UPTD Perikanan Waduk Saguling. Anda menyatakan bahwa kematian ikan emas itu disebabkan oleh arus balik di perut waduk yang naik ke atas sambil membawa racun, seperti SO2 atau NH3. Padahal, pada awal tulisan, sudah disebutkan beberapa tudingan bahwa kematian ikan emas tersebut disebabkan oleh pencemaran di hulu Citarum (Bandung -- Cimahi). Tudingan tersebut diperkuat pendapat dua orang pakar lingkungan yang cukup kompeten yaitu Dr. Nani Djuangsih, ahli Ekologi dari Unpad, dan Badrudin Mahbub dari OPMA Bandung (dalam disertasinya di ITB). Tidak kurang pula, beberapa waktu lalu, Menteri Ginandjar Kartasasmita mensinyalir adanya pencemaran berat di sepanjang aliran Citarum. Saya memang awam soal ekologi, apalagi teori-teori (muluk) mengenai lingkungan seperti dikemukakan Saudara Eddy, tapi selain lebih percaya kepada pendapat para pakar tadi, saya ingin mengemukakan sebuah kenyataan. Cobalah Anda (Saudara Eddy) jalan-jalan ke daerah Dayeuhkolot atau Katapang di Bandung Selatan yang dialiri Sungai Citarum. Anda akan jumpai -- terutama pada musim kemarau -- bahwa yang mengalir di Citarum tidak lain adalah limbah buangan industri. Tidakkah Anda tahu bahwa di daerah Bandung Selatan itu terdapat ratusan industri tekstil yang membuang limbahnya ke sungai atau parit yang bermuara di Citarum? Bahkan di daerah terusan jalan Moh. Toha, antara Tol Panci dan Dayeuhkolot, limbah pekat tersebut sampai meluber ke jalan raya dan kadang mengeluarkan bau zat kimia yang tidak sedap. Kalau Saudara Eddy menyebutkan bahwa di sepanjang aliran Citarum tidak ada ikan yang mati, ya, tentu saja benar, karena memang ikannya juga sudah tidak ada. Cobalah jangan terlalu berteori, apalagi yang muluk-muluk seperti begitu. Walaupun mungkin ada bukunya, saya sarankan simpan saja dalam laci. Anda yang paling dalam, kalau memang masih sayang untuk dimasukkan ke tong sampah. Lewat surat ini pula, saya sampaikan kepada Pak Emil Salim, bahwa "Pembangunan yang berwawasan lingkungan" seperti yang Bapak galakkan, agaknya masih merupakan semboyan kosong untuk daerah kami . A. WINARA Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus