Belum juga reda suasana pro dan kontra sebagai tanggapan atas SK Mendikbud No. 0457/U/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, yang di dalamnya memuat konsep SMPT. Banyak ragam yang mewarnai suasana pro dan kontra terhadap SMPT. Mulai dari membentuk kelompok tandingan sebagai sikap menolak sampai yang menerima (menyerah) tanpa syarat "Memprotes Organisasi Robot" (TEMPO, Pendidikan, 6 Oktober). Syukur alhamdulillah. Pak Fuad tidak akan memberikan ancaman dan sanksi pada mahasiswa yang menolak kehadiran konsep SMPT. Sebuah sikap yang "bijak" sebagai seorang yang bergelut dalam dunia kependidikan. Mimpi buruk mahasiswa pada peristiwa yang telah lalu tidak menutup kemungkinan masih membayangi para mahasiswa yang menolak SMPT. Peter Sumaryoto, mahasiswa Fakultas Teknik UI, dipecat oleh Pak Nugroho (29 Maret 1982) gara-gara menolak Pak Nugroho sebagai Rektor UI. Ada suara-suara yang mengatakan bahwa ia (Nugroho) merupakan droping dari atas, tepatnya dari Hankam. Peristiwa penolakan tersebut muncul dalam berbagai bentuk, pemasangan spanduk "jangan nodai kampus kita dengan sepatu lars", pernyataan mogok kuliah mahasiswa UI, corat-coret di tembok Salemba, dan masih banyak lagi suara sumbang yang hadir sebagai wujud sikap "kontra", "Nugroho Notosusanto: Pendidik, Sejarawan dan Pejabat Tinggi" (Prisma 1, 1990, Tokoh). Insya Allah nasib yang dialami Peter tidak akan dirasakan oleh para mahasiswa yang saat ini masih menolak konsep SMPT. Sapere Aude -- "hendaklah Anda berani berpikir sendiri" -- adalah sikap kritis yang muncul di kalangan mahasiswa yang menolak SMPT. Alasan mereka sangatlah relevan bila dikaitkan dengan ide demokratisasi yang selama ini menjadi ciri dan kebanggaan pemerintahan kita. Mereka berharap bahwa ide demokratisasi sedini mungkin dapat diterapkan di lingkungan perguruan tinggi sehingga bila mereka nanti lulus kuliah betul-betul menjadi sarjana yang bermental dan berpola pikir demokratis (selalu menjunjung asas musyawarah dan mengutamakan kepentingan orang banyak). Tentunya ide demokratisasi yang dilaksanakan di kampus tidak secara mutlak. Artinya, masalah-masalah yang berkaitan dengan keuangan, perkuliahan, urusan administratif sudah selayaknya ditangani oleh rektor beserta perangkat yang lain (dosen dan administrator). Di luar hal tersebut biarlah mahasiswa berkiprah sendiri. Dalam SK Mendikbud No. 0457/U/1990 konsep tentang SMPT adalah, mahasiswa memilih wakilnya lewat Sema, BPMF, HMJ, UKM untuk duduk di SMPT, tetapi SMPT bertanggung jawab bukan kepada mahasiswa melainkan pada rektor. CIVITAS ACADEMICA bila diartikan mempunyai dua komponen yakni, dosen dan mahasiswa. Rektor berada dalam komponen dosen. Maka, berdasar ide demokratisasi dari dua komponen tersebut akan timbul tiga alternatif. Pertama, bila SMPT sebagai pihak eksekutif yang beranggotakan mahasiswa, haruslah dibentuk pihak legislatif yang beranggotakan mahasiswa. Kedua, bila rektor (komponen dosen) sebagai pihak legislatif, haruslah dibentuk pihak eksekutif yang beranggotakan dosen. Ketiga, bila dua komponen ingin menduduki sebagai pihak eksekutif ataupun pihak legislatif, kedua komponen haruslah melebur jadi satu. Dengan kata lain, baik pihak eksekutif maupun legislatif haruslah beranggotakan dosen dan mahasiswa. SMPT, sebagai organisasi intern kemahasiswaan di perguruan tinggi yang mulai diberlakukan tanggal 28 Juli 1990, tidaklah jauh berbeda dengan konsep NKK/BKK karena di dalamnya keterlibatan pihak birokrat (rektor) sangat menentukan langkah ke depan organisasi tersebut. Dapatlah kita tarik sebuah analogi tentang berubahnya bentuk "Dari NKK/BKK ke SMPT" identik dengan "Dari KSOB ke SDSB" ... lalu apa arti sebuah nama ...? M.I. ANDY F. Mahasiswa FH Unej Asrama Mahasiswa Unej Jember 68122 Jawa Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini