Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semakin hari Dewan Perwakilan Rakyat semakin memperlihatkan diri seperti anak di usia akil balig: sering terpesona oleh kekuatannya sendiri, bahkan terpancing melakukan sesuatu di luar wewenangnya.
Tidak diragukan lagi, keputusan yang diambil pada menit terakhir, sebelum kesepakatan akuisisi Medco oleh perusahaan pelat merah Pertamina ditandatangani di awal pekan lalu itu, mencerminkan sikap prudent. Pertamina yang merencanakan go public non listing pada 2011 ini memang harus ekstrahati hati dalam memilih mitra. Mengakuisisi Medco tidak hanya berarti secara tidak langsung menguasai 27,9 persen saham perusahaan yang didirikan pengusaha sekaligus politikus Arifin Panigoro itu, tapi juga ikut menghadapi masalah yang harus ditanggulangi.
Medco tentu saja bukan perusahaan papan nama. Bermitra dengan perusahaan yang telah berpengalaman dalam bisnis minyak, gas, gas metana, batu bara, serta kelistrikan ini boleh jadi bakal memuluskan rencana Pertamina menembus pasar global. Namun, melihat perkembangan terakhir Medco menyusutnya aset (dari US$ 2,07 miliar pada 2009 menjadi US$ 2,06 pada 2010), dan masih besarnya kewajiban yang harus dipenuhi (dari US$ 1,36 miliar pada 2009 menjadi US$ 1,32 pada 2010) kita pun maklum mengapa Pertamina tidak melibatkan diri terlalu dalam pada urusan internal perusahaan itu.
Kendati keterangan Pertamina dan Presiden Komisaris Medco Hilmi Panigoro lebih banyak menimbulkan pertanyaan ketimbang menjelaskan alasan pembatalan akuisisi itu, hal ini bisa dipahami. Ada etiket bisnis yang harus dipatuhi dalam mengakhiri rencana perkawinan Medco Pertamina ini. Yang sukar dipahami adalah agresivitas anggota Komisi Energi (Komisi VII) serta Komisi Perdagangan dan Perindustrian (Komisi VI) Dewan yang melampaui batas: meminta Pertamina tidak mengakuisisi Medco. Berangkat dari niat baik mengawal perusahaan negara supaya tidak melenceng dari tujuan awal yang mendatangkan manfaat sosial, langkah Komisi Energi dan Komisi Perdagangan ini kemudian menjelma menjadi suatu campur tangan terhadap dunia bisnis.
Di antara tiga wewenang Dewan legislasi, pengawasan, dan anggaran—tak satu pun yang memberinya hak untuk menghambat rencana akuisisi menjelang penutupan transaksi itu. Dengan wewenang pengawasannya, Dewan memang berhak mengajukan usul dan pendapat terhadap kebijakan pemerintah. Namun mereka tak diperkenankan melakukan tekanan sebagaimana yang dilakukan para wakil rakyat di Komisi Energi dan Komisi Perdagangan. Meski belum ada fakta pendukung, transaksi yang sudah diperhitungkan ini dicap sebagai akal akalan untuk membobol Pertamina. Mendapat tentangan berat dari para anggota Dewan, manajemen Pertamina langsung tak bersemangat lagi membicarakan hubungan Medco dan perseroan.
Terlepas dari kontroversi pembatalan transaksi saham Pertamina Medco ini, ada satu pelajaran yang layak disimak oleh para manajemen perusahaan pemerintah. Tak cukup dengan hitung hitungan bisnis saja untuk melayarkan bisnis perusahaan negara, perhitungan politik, khususnya tekanan dari politikus Senayan, tak boleh diabaikan—hal yang sungguh patut disayangkan. Bayangkan sebuah transaksi bisnis yang tinggal dibubuhi tanda tangan terpaksa harus dibatalkan karena Dewan tak berkenan. Lalu sampai kapan urusan politik dan bisnis bisa dipisahkan dari badan usaha milik negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo