Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain soal prioritas untuk dibahas, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa tak mungkin ada sistem monarki di Indonesia, yang bertabrakan dengan konstitusi dan demokrasi, sama sekali tidak salah. Tapi, dengan latar belakang ”perang dingin” antara Presiden Yudhoyono dan Sultan Hamengku Buwono X selama ini, pernyataan itu menyulut geger besar seperti sekarang.
Debat di alam demokrasi bukanlah tabu. Unjuk rasa menentang pernyataan Presiden juga bukan hal aneh. Mengkritik Presiden Yudhoyono tak peka terhadap sejarah Yogya juga bukan masalah besar. Yang menarik, dalam suasana ”meriang” ini, masyarakat Yogya masih memelihara rasa humor, misalnya dengan menerbitkan paspor Yogyakarta.
Sesungguhnya kedudukan Yogyakarta sebagai daerah istimewa tak berkurang. Posisi ini jelas asal muasalnya, yakni dekrit kerajaan yang dikeluarkan Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII pada 5 September 1945. Isinya menyatakan berintegrasi ke dalam Republik Indonesia. Dengan kata lain, ketika itulah Sultan dan Paku Alam melepaskan monarki dengan memilih bergabung dan berjuang mempertahankan Republik Indonesia.
Keistimewaan Yogyakarta terus melekat sampai sekarang. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 18 jelas menyatakan negara mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa. Sebagai daerah istimewa, Yogyakarta diperbolehkan mengatur pemerintahan sendiri. Sultan Yogyakarta yang memimpin kawulanya otomatis merangkap sebagai gubernur, sedangkan pemegang takhta Pakualaman otomatis menjadi wakil gubernur.
Soalnya, seperti tersirat dari pernyataan Presiden Yudhoyono, sampai berapa lama posisi gubernur melekat pada diri Sultan Yogya tanpa proses pemilihan umum yang demokratis seperti di daerah lain. Masyarakat Yogyakartalah yang paling berhak menentukan hal ini. Draf Rancangan Undang Undang Keistimewaan Yogyakarta yang disusun sejak 2006 tak mengandung pasal yang mengurangi hak masyarakat Yogya.
Masuknya poin parardhya dalam rancangan itu merupakan salah satu bukti. Rancangan itu mengatur gubernur dipilih secara demokratis sesuai dengan ketentuan konstitusi. Sultan dan Sri Paduka Paku Alam IX, yang saat ini menjabat gubernur dan wakil gubernur, tetap menduduki jabatannya sampai lima tahun. Selanjutnya, keduanya akan mengisi posisi parardhya, ”atasan” gubernur, yang berwenang melantik bupati/wali kota, dan menjadi pelindung budaya. Parardhya kurang lebih sama seperti wali daerah.
Posisi parardhya juga tidak mengurangi hasrat Sultan menjadi gubernur. Dalam RUU diatur, bila Sultan berminat menjadi gubernur, ia tinggal menyatakan keinginannya. Tanpa perlu dukungan partai politik, dan memenuhi aturan formal, ia bisa ditetapkan sebagai gubernur bila masyarakat Yogya mendukungnya. Tapi, bila ada kelompok masyarakat Yogya yang berkeberatan, proses pemilihan langsung akan berjalan. Opsi ”jalan tengah” dalam RUU itu layak dikaji dengan kepala dingin.
Untuk mengetahui pandangan seluruh masyarakat Yogya, referendum merupakan jalan terbaik. Apa pun hasil referendum—entah itu mencerminkan simpati pada Sultan, entah antipati pada Presiden Yudhoyono—semua pihak harus menerimanya. Warga Yogya sendirilah yang mesti menentukan: apakah gubernur mesti dipilih rakyat atau melekat pada diri Sultan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo