Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Cepat-cepat Kereta Cepat

8 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJALANKAN proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, Presiden Joko Widodo tengah menempuh jalan yang keliru dan berbahaya: meneken peraturan yang bertolak belakang.

Dua peraturan ditandatangani Presiden dalam waktu berdekatan. Pertama, Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Api Cepat antara Jakarta dan Bandung. Aturan itu menyebutkan proyek senilai Rp 74 triliun ini sepenuhnya didanai swasta—Konsorsium Kereta Cepat Indonesia Cina. Pemerintah tidak akan memberikan jaminan dalam bentuk apa pun—salah satu klausul yang membuat konsorsium BUMN Cina unggul dibanding Jepang, kandidat lain yang menghendaki proyek yang sama.

Tiga bulan kemudian, pada Januari lalu, Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Isi peraturan itu justru membuka peluang pemberian jaminan untuk kereta cepat Jakarta-Bandung. Dalam lampiran disebutkan bahwa kereta cepat masuk kategori proyek strategis nasional dan, karena itu, dapat memperoleh jaminan pemerintah.

Selanjutnya adalah inkonsistensi statemen di antara para pembantu Presiden. Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, pemerintah tidak akan memberikan jaminan finansial. Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno menyebutkan pemerintah harus memberikan "jaminan politik"—terminologi yang sulit dipisahkan dengan jaminan finansial, misalnya, jika proyek ini rugi. Kontradiksi dua peraturan presiden tampak bakal punya dampak serius di masa mendatang.

Apalagi, belajar dari pengalaman sejumlah negara, kereta cepat adalah proyek rugi, setidaknya sulit untung. Tokaido Shinkansen, Jepang, misalnya, baru bisa balik modal setelah delapan tahun. Dari lima proyek kereta cepat di Cina, baru satu yang balik modal, sisanya rugi. Konsorsium Kereta Cepat Taiwan bahkan di ambang kebangkrutan.

Kasus Taiwan relevan untuk dibandingkan dengan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Taiwan High Speed Rail Consortium awalnya berjanji mendanai sendiri proyek senilai US$ 18 miliar itu—setara dengan Rp 243 triliun. Pemerintah Taiwan hanya terlibat dalam studi kelayakan. Konsorsium pengusaha Jepang-Taiwan ini mendapat konsesi 35 tahun dengan perjanjian "bangun-operasi-transfer".

Menghubungkan Taipei di utara dan Kaohsiung di selatan dengan jarak 339 kilometer, kereta cepat itu terwujud pada 2007—dua puluh tahun setelah studi kelayakan dibuat. Terseok-seok secara keuangan, pada tahun keempat konsorsium itu meraup "untung"—bukan karena kegiatan usaha, melainkan lantaran akrobat pembukuan.

Dua tahun setelah kereta beroperasi, pemerintah terpaksa mengucurkan dana agar kereta itu tetap jalan. Ternyata langkah ini tak menyelesaikan masalah. Kini konsorsium itu kembali mengajukan restrukturisasi utang, termasuk perubahan jangka waktu konsesi dari 35 menjadi 75 tahun. Dengan utang menggunung dan jangka waktu konsesi yang panjang, proyek ini tidak layak lagi secara bisnis.

Melihat pengalaman Jepang, Taiwan, dan Cina sendiri, risiko terjadinya kerugian atau kegagalan amatlah besar. Macetnya proyek mungkin terjadi dalam tahap pembiayaan, tapi bisa juga pada saat kereta sudah beroperasi. Sebagai gambaran, Konsorsium Taiwan terkapar karena tak sanggup menanggung beban depresiasi dan bunga utang. Risiko yang sama sangat mungkin dihadapi Indonesia.

Konsorsium empat perusahaan pelat merah yang ditugasi ikut dalam proyek itu kini kelimpungan menyediakan modal awal sebesar Rp 750 miliar atau 60 persen dari saham Konsorsium Kereta Cepat Indonesia Cina. Beban ini akan semakin berat jika ditambah dengan utang. Dengan pemilikan yang lebih besar, Indonesia juga menanggung risiko kegagalan lebih besar dibanding BUMN Cina.

Untuk memastikan tidak akan ada problem di belakang hari, Jokowi sebaiknya merevisi Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016. Pemerintah juga harus mengkaji ulang proyek ini, termasuk mengevaluasi kekuatan konsorsium dalam menyediakan dana investasi. Kemampuan perusahaan anggota konsorsium BUMN menanggung kerugian operasi juga harus diperiksa dengan saksama. Jika proyek ini tidak layak secara bisnis, pemerintah tak perlu ragu menunda atau membatalkannya.

Menyediakan moda transportasi massal dan cepat untuk mengurai kemacetan dan menyejahterakan masyarakat tentu cita-cita mulia. Cita-cita ini hendaknya tidak direduksi hanya untuk gagah-gagahan lewat proyek mercusuar. Pemerintah selayaknya memberikan keyakinan kepada publik bahwa proyek ini memang layak secara bisnis. Kita tidak ingin yang terjadi di Taiwan terjadi di negeri kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus