Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALAH satu momok pelaku usaha di Indonesia adalah rendahnya tingkat kepastian hukum. Bukan hanya peraturan yang berubah-ubah, putusan pengadilan atas sengketa dagang pun kerap tak adil. Kekalahan Inter Ikea, perusahaan furnitur kelas dunia IKEA asal Swedia, atas PT Ratania Khatulistiwa, perusahaan mebel Surabaya bermerek Ikea, di pengadilan kasasi, merupakan satu contoh terbaru.
Pokok masalahnya sederhana: perbedaan interpretasi tentang "merek tidur". Ratania menggugat IKEA pada Desember 2013 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Anak usaha Kedaung Group Surabaya itu menganggap label IKEA untuk kelas barang 20 (perabot, cermin, bingkai gambar, dan benda-benda dari kayu dan rotan) dan kelas 21 (perkakas rumah tangga dari tembikar) sudah kedaluwarsa. Ratania menuntut dua kelas barang itu dihapuskan dari daftar barang di Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual.
Ketika menggugat label IKEA tergolong "tidur", Ratania mengutip Pasal 61 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek. Isinya, penghapusan pendaftaran merek dapat dilakukan jika satu label tidak digunakan tiga tahun berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran.
Apabila majelis hakim sekadar melihat tanggal pendaftaran paten, putusan yang mengalahkan IKEA seolah-olah memiliki dasar kuat. Inter Ikea mendaftarkan merek IKEA kelas barang 20 pada 27 Oktober 2010 dan kelas 21 pada 9 Oktober 2006. Artinya, merek IKEA untuk dua kategori barang itu, meski sudah terdaftar, terlelap atau tak beredar lebih dari tiga tahun. Ratania lalu mendaftarkan merek Ikea pada 20 Desember 2013.
Argumen Ratania lemah. Dalam persidangan, IKEA bisa menyodorkan bukti faktur penjualan periode 2006-2013. Transaksi ini jelas membantah anggapan merek tersebut tidak dipakai alias tidur. Penjualan produk IKEA di Indonesia itu dilakukan secara online, juga melalui dua perusahaan distributor lokal, yaitu PT Karya Sutarindo dan PT Findora Internusa. Sejak Oktober 2014, IKEA membuka gerai di Alam Sutera, Tangerang Selatan. Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual jelas kebobolan ketika menerima pendaftaran merek Ikea ini.
Majelis hakim kasasi seharusnya mengoreksi keputusan Direktorat yang menerima pendaftaran merek Ikea. Produk IKEA jelas mendaftar lebih dulu, Ratania tertinggal tiga tahun. Pendaftaran merek Ikea, menurut Pasal 6 Undang-Undang Merek, seharusnya ditolak lantaran "mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis". Hal yang lain, "mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenisnya".
Putusan memenangkan Ikea ini seakan-akan melengkapi ketidakjelasan dasar hukum pada putusan sebelumnya. Sengketa antara merek IKEA dan IKEMA, dengan pemain yang sama, yakni Inter Ikea versus dua perusahaan Kedaung Group, berlangsung sampai kasasi. Hasilnya sungguh ajaib. Pada Januari 2013, majelis hakim membolehkan merek IKEMA dipakai untuk kategori 19 (benda berbahan keramik dan tegel). Namun, pada April tahun berikutnya, Mahkamah Agung menolak dipakainya merek IKEMA untuk barang kategori 20 dan 21.
Seharusnya majelis hakim kasasi mengikuti logika hakim anggota I Gusti Agung Sumanatha yang berbeda pendapat atas putusan itu. Hakim semestinya memenangkan merek yang telah terdaftar secara sah dan merupakan merek terkenal yang harus dilindungi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo