KETIKA pada 1970-an saya menyeminarkan hasil penelitian Sriharjo di Canberra, orang geleng-geleng kepala. Maklumlah tingkat perceraian di desa kita itu begitu tinggi, sedangkan di Australia waktu itu cukup rendah. Dari 772 responden wanita di Sriharjo, lebih dari 40% bercerai pada perkawinan pertama. Dan seperlima dari mereka mengalami perceraian sampai lima kali. Bahkan banyak yang masih perawan ketika perceraian terjadi: 41% alias 131 dari 322 wanita yang bercerai pada perkawinan pertama. Data itu sejalan saja dengan kenyataan tentang tingkat perceraian yang cukup tinggi di Pulau Jawa, seperti yang tercantum dalam Buku Saku Statistik Indonesia. Tingginya perceraian di Sriharjo, waktu itu, berkaitan dengan berbagai hal. Pertama, cerai bukan sesuatu yang dianggap tercela. Kedua, usia perkawinan rendah dan banyak yang diatur orangtua. Orangtua tidak ingin anaknya disebut perawan tua. Kalau nanti tak jodoh, cerai tak apa. Ketiga, prosedur cerai termasuk mudah. Ada pengantin baru yang minta cerai segera sesudah menikah. Alasannya, "suami pincang". Sebelumnya 'kan sudah tahu? Tidak. Dia baru tahu siapa suaminya di hari pernikahannya. Ada pula yang bercerai karena "kepercayaan". Si Joyo, yang sehari-harinya menyadap pohon kelapa, jatuh dari pucuk pohon itu untuk kedua kali. Dia pun merasa perlu berkonsultasi ke dukun mana tahu ada roh mengganggu. Dan, menurut si dukun, musibah terladi karena perkawinannya yang tidak jodoh. Kini perkawinan di masyarakat Jawa sudah bertambah stabil. Tingkat perceraian menurun drastis, dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan 1974. Sebab-sebab lain: faktor usia kawin dan tingkat pendidikan yang meningkat. Kalau di Indonesia dikeluarkan Undang-Undang Perkawinan untuk membuat perceraian semakin sulit di Australia, sebaliknya, keluar Family Law Act (Januari 1976) yang membuat perceraian semakin mudah. Sebelumnya, perceraian hanya diperkenankan berdasarkan kesalahan-kesalahan tertentu, atau matrimonial wrongdoing. Umpamanya zina, perkosaan oleh suami, hamilnya istri oleh laki-laki lain, kebiasaan mabuk, sikap kejam terhadap istri/suami, dan ketidakmampuan memberikan nafkah. Sekarang, tak perlu ada alasan. No fault divorce. Perceraian tanpa kesalahan. Cukup dengan mengatakan, "Saya tidak tahan lagi", atau I am fed up. Lalu ada masa tenggang satu tahun. Sesudah itu, mereka resmi bercerai -- setelah diselesaikan hal-hal yang diperlukan menurut hukum. Maka, pecahlah ledakan cerai. Kalau sejak 1950-an terjadi 3-5 perceraian per 1.000 wanita berstatus kawin, di tahun 1976 angka itu melonjak menjadi 19,2. Memang, tahun itulah yang paling tinggi. Kemudian, sampai 1985 terjadi sekitar 40.000 perceraian tiap tahun, atau sekitar 11 - 12 per 1.000 wanita yang kawin. Jadi, kira-kira tiga kali lipat dibanding perceraian pada 1960-an. Itu membawa akibat bertambahnya anak yang terlibat dalam keretakan rumah tangga. Dengan tingkat perceraian 4,1 per 1.000 wanita pada 1970, terdapat 16.895 anak yang orangtuanya bercerai tahun itu. Dan jumlah itu melonjak sejak 1976. Lebih dari 50.000 anak, umpamanya, terkena pada 1984. Menurut seorang rekan yang berasal dari kota kecil Mosvale, New South Wales, di sebuah sekolah dasar, yang dia ketahui di situ, terdapat kira-kira sepertiga jumlah bocah dari keluarga yang pecah. Ini sekadar gambaran, dan tentunya terdapat variasi dari tempat ke tempat. Jelas, keretakan ini membawa konsekuensi psikologis, dan terkadang ekonomis, bagi anak-anak yang tersangkut. Karena itu, mengapa dikeluarkan undang-undang yang baru? Sebelumnya, sudah terlihat gejala meningkatnya jumlah pasangan yang rumah tangganya tidak harmonis, tidak dapat dilanjutkan lagi, tetapi sukar bercerai. Kesulitan cerai sering menimbulkan penderitaan aneka ragam. Sejak awal 1970-an tingkat perceraian tetap meningkat - dari 4,1 (per 1.000 wanita berstatus kawin) pada 1970 menjadi 7,4 pada 1975. Jadi, undang-undang itu merupakan respons. Menurut Gordon Carmichael dan Peter McDonald dari Australian Institute of Family Studies, Melbourne, faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya perceraian di sana adalah: usia kawin yang semakin rendah dan menyusutnya pengaruh orangtua terhadap pilihan (jodoh) anaknya. Individualisme bertambah kuat. Selanjutnya, dengan meningkatnya partisipasi wanita pada angkatan kerja, wanita sudah lebih sanggup berdiri sendiri. Mereka menuntut berbagai persamaan hak, sejalan dengan prinsip-prinsip yang diketengahkan Women's Movement. Juga karena adanya tunjangan-tunjangan yang meringankan beban ekonomi mereka yang bercerai. Menurut Dr. Peter McDonald, tingkat perceraian yang tinggi itu menyangkut segenap lapisan masyarakat Australia, dari atas sampai ke bawah. Tetapi penelitian untuk itu belum dilakukan. Yang menarik, migran yang lahir di sekitar Mediterania, seperti Mesir. Yunani, dan Italia, punya tingkat perceraian yang sedikit lebih rendah. Setelah saya hitung-hitung, ternyata tujuh kawan saya di Australia mengalami perceraian - termasuk yang sudah berpisah dan akan cerai. Enam bergelar doktor, satu lagi M.A. Dalam tiga kasus, si istri meninggalkan suami selebihnya, empat kasus, si suami meninggalkan istri. Dalam dua kasus, si istri merasa diabaikan, dan menuduh suami terlalu mementingkan kerja. Dalam satu kasus, si istri jatuh hati pada orang lain, yang juga sudah beristri. Dan dalam empat kasus lainnya, suami jatuh hati pada perempuan lain. Suatu kali, dalam kunjungan ke Canberra, saya menelepon seorang kawan lama. "Halo. Apa kabar. Bagaimana keadaan istri dan anak-anak?" Dia agak bingung menjawab, ". . . Saya sudah cerai." Saya terkejut, dan sedikit bingung. Terbayang wajah istri dan kedua anaknya yang saya kenal baik. Rupanya, sekarang kita perlu hati-hati sebelum bertanya soal keluarga. Sumpah suci dalam pernikahan - "Kita tidak akan berpisah sebelum mati", atau till death do us part - menjadi sumpah tak bermakna untuk ribuan pasangan suami-istri. Dasar manusia: suka bersumpah. Dan apakah kehidupan sosial ekonomi yang tinggi, kemajuan emansipasi, dan modernisasi harus diikuti oleh suburnya individualisme dan meningkatnya tingkat perceraian? Wallahualam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini