Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Moderasi Iran dan persepsi Amerika

Kaum pragmatis di iran masih menginginkan senjata amerika dan iran yang dibekukan, tapi unsur dendam terhadap amerika tetap kuat di kalangan kaum revolusioner. masih ada kendala untuk memulai dialog.

16 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA musim gugur 1985, R..K. Ramazani, seorang sejarawan pada Universitas Virginia, AS, dalam sebuah artikel yang dlmuat Foreign Policy, mendesak Amerika agar "memendam kapak peperangan" dengan Iran dan mencari perdamaian dengan Republik Islam. Tentu saja, ia menekankan kepentingan strategis perbaikan hubungan dengan negara yang berpenduduk lebih dari 45 juta dan berbatasan dengan Uni Soviet, Pakistan, Afghanistan, dan Turki itu. Yang lebih penting, ia telah mencium suatu arah baru yang lebih pragmatis pada sikap politik Iran. Kecenderungan moderat ini, ia percaya, memungkinkan peluang bagi prakarsa Amerika. Dan ia merasa, mengeksploitasi peluang itu merupakan hal yang mendesak sekali. "Kegagalan Amerika bersikap menahan diri (terhadap Iran)," ditulisnya, "dapat menghancurkan setiap kesempatan untuk menjelajahi kemungkinan yang sebenarnya barangkali sudah ada." Ironinya, pada saat Ramazani menyerukan itu, pemerintahan Reagan sedang mengambil langkah-langkah percobaan untuk menjalin hubungan dengan para pejabat Iran. Sekarang kita tahu, prakarsamereka itu telah berubah menjadi amat buruk. Ketika masih banyak yang setuju akan pentingnya pembicaraan antara Amerika dan Iran, pendekatan pemerintahan Reagan kepada Iran telah ditangani dengan canggung. Terlepas dari dampak domestik peristiwa yang banyak dipublikasikan itu, inisiatif yang ceroboh itu sedikit-dikitnya merupakan suatu salah baca atas permainan politik di Iran sendiri. Adalah keterangan Ramazani mengenai Iran, yang merupakan rincian argumennya dalam Foreign Policy, yang membuat buku ini berguna. Ia menyodorkan catatan ideologi, praktek, dan evolusi politik luar negeri negara itu sejak penggulingan Syah, pada 1979. Ia percaya, sikap politik ini harus dilihat dari lingkungan tempat terjadinya, lengkap dengan penelaahan reaksi negara-negara tetangga Timur Tengah terhadap revolusi negeri itu. Itulah sebabnya buku ini diberi subjudul Tantangan dan Tanggapan. Politik luar negeri Republik Islam, sejak semula, memamerkan suatu campuran revolusioner dan perhitungan pragmatis. Itu secara dramatis mengubah beberapa kebijaksanaan luar negeri yang dilaksanakan di bawah Syah dan melanjutkan beberapa kebijaksanaan lain. Iran memutuskan semua kontak dengan Israel dan Afrika Selatan. Hubungan dengan Amerika makin tegang dan kemudian terputus sejak para sandera Amerika dibebaskan, pada 1981. Suatu emosi nasional dan ketegasan yang Islami serta suatu reaksi kuat terhadap pengaruh asing telah memaksa para pengusaha dan teknisi Barat meninggalkan negara itu. Para mullah, sebagai pemimpin agama Iran, mengadakan kunjungan keliling ke negara-negara Teluk Persia, dan mengkhotbahkan revolusi dan militansi Islam seperti yang dipesankan Khomeini. Salah seorang ulama senior, Ayatullah Sadeq Rohani, telah membangkitkan ketakutan departemen luar negeri Amerika Serikat. Sebabnya, ia menghidupkan kembali tuntutan bangsa Iran atas Bahrain, dan mengancam menggulingkan para penguasanya bila tak memperlakukan rakyat dengan lebih baik. Presiden pertama Iran, Abolhasan Bani Sadr, meramalkan rezim konservatif Teluk itu akan "tersapu bersih bagai debu diembus angin", sekali rakyatnya mengikuti contoh yang diperlihatkan bangsa Iran. Penyerbuan Irak atas Iran membuat sikap radikal ini menghebat. Ketika mengirimkan tentaranya ke Iran, September 1980, Presiden Irak Saddam Hussein percaya dapat merangsang penggulingan pemerintahan revolusioner itu, merebut wilayah Iran, dan menegakkan keunggulan Irak di kawasan Teluk. Itu ternyata suatu kesalahan kolosal. Penyerbuan itu justru memberi peluang kepada Ayatullah Khomeini dan para pembantunya untuk mempersatukan negara, yang terpecah-belah, dalam melawan musuh dari luar. Juga untuk membangun kembali angkatan bersenjata yang sudah amat lemah. Dan akhirnya, memperkuat Pengawal Revolusioner secara besar-besaran -- yang kini merupakan salah satu tiang utama rezim penguasa. Perang Irak-lran memang telah memperburuk hubungan Iran dengan negara-negara Arab di Teluk -- yang merasa terpanggil untuk memperluas dukungan materi, keuangan, dan diplomatik kepada Irak. Tetapi juga telah memperkukuh ikatan Iran dengan dua negara Arab radikal, Libya dan Syria. Syria tetap menjadi sekutu terpenting Iran di dunia Arab. Juga, perang itu memperkuat kecenderungan beberapa unsur di dalam rezim Iran untuk melancarkan subversi di negara-negara Teluk. Dalam serangkaian pernyataan yang kemudian menjadi tuduhan, Iran telah didakwa mendukung suatu komplotan untuk menggulingkan pemerintah Bahrain, pada Desember 1981. Seiring dengan penyerbuan Israel ke Libanon, pada musim panas 1982, Iran mengirimkan suatu kontingen yang terdiri dari beberapa ratus anggota Pengawal Revolusioner ke Libanon untuk membantu mereka melawan Israel. Iran memanfaatkan kehadiran dan hubungan dengan masyarakat Syiah di sana untuk berbagai tujuan. BUKTI-bukti tak langsung, misalnya, mengaitkan negara itu dengan pengeboman atas kedutaan besar Amerika dan markas-markas militer Amerika dan Prancis di Beirut, pada 1983. Iran juga menggunakan propaganda Islam dan suatu jaringan ulama yang bersimpati kepadanya untuk meluaskan kehadirannya di Lembah Bekaa, sebelah selatan wilayah yang sekarang didominasi gerakan Amal Syiah moderat yang dipimpin Nabih Berri. Para penguasa baru Iran telah berangsur-angsur mengembangkan suatu ideologi yang menjadi rasio dan pendorong ambisi politik luar negeri mereka. Keistimewaan utama ideologi itu, yang dilukiskan Ramazani dalam salah satu babnya yang jempolan, adalah konsep Iran sebagai "negara penyelamat", pembela mustadh'afin dunia, atau kelas yang tercabut haknya dalam perjuangan mereka melawan mustakbirin, atau kelas penguasa congkak dalam negara-negara penindas. Atau, menurut Perdana Menteri Mirhussen Mussavi, Iran telah ditakdirkan menyebarkan keadilan ke seluruh dunia, untuk memungkinkan "pembebasan umat manusia". Bangsa Iran harus tumbuh perkasa dan tetap hati. Kata Ayatullah Khomeini, "... sampai Iran berhasil mencanangkan ajaran Islam ke seluruh bumi." Perjuangan kaum tercabut hak melawan penguasa kuat dan para pengeksploitasi itu diarahkan kepada Amerika dan Uni Soviet serta pendominasi kekuatan besar dalam Islam. Slogan "bukan Timur dan bukan Barat" berarti: bukan saja sikap netral di antara dua adidaya, tetapi juga segala ikhtiar menuju terciptanya suatu gerakan Islam yang cukup kuat untuk menahan keduanya. Para pemimpin Iran yakin, Revolusi Iran takkan aman sebelum negara-negara Teluk mencampakkan perlindungan Amerika dan mempunyai penguasa model Iran: nonmonarki, populis, Islami, dengan dominasi para ulama. Pandangan dunia itu membantu menerangkan tekad Iran untuk mengekspor revolusi. Menurut pandangan Khomeini, dalam perjuangan melawan Irak, Iran sedang terlibat dalam perang defensif melawan suatu rezim jahiliah yang mengancamnya. Di tempat-tempat lain, tulis Ramazani, ekspor revolusi harus dilakukan bukan dengan pedang, tetapi dengan contoh, propaganda, dan penciptaan pranata-pranata yang menyuburkan visi Islam Iran. Ayatullah Khomeini, misalnya, dengan semangat penuh mendukung gagasan bahwa upacara naik haji -- ibadat tahunan yang tahun lalu membawa lebih dari dua jua umat ke Mekah -- terutama harus berfungsi sebagai alat politik ketimbang ritus agama semata. Itu harus dimanfaatkan, katanya lagi, buat menempa kesatuan Islam, menentang kekuasaan besar, dan mengizinkan Muslim, "Menyatakan keluhan mereka dalam melawan penindas yang kejam." Itu berarti menentang para pemimpin mereka sendiri. Pada 1983, para jemaah Iran di Mekah turut serta dalam demonstrasi -- yang tampaknya dimaksudkan lebih banyak untuk menentang pemerintah Saudi ketimbang melawan Amerika dan Soviet. Ayatullah Khomeini menjawab protes para pemimpin negara utama Arab dengan nasihat, agar mereka menggunakan haji sebagai alat politik, sehingga mereka, "Tak perlu lagi Amerika, pesawat-pesawat AWACS, atau adidaya lainnya." Iran juga telah menciptakan pranata-pranata, seperti Kongres Pemimpin Jumat Sedunia, untuk memperkuat persatuan Islam. Ayatullah menasihati para anggota delegasi kongres organisasi itu, pada 1984, untuk kembali ke negara-negara asal mereka dan, "Menghimpunkan rakyat untuk berontak, seperti yang dilakukan di Iran." Namun, Ramazani menekankan, semua itu hanya menunjukkan satuaspek politik luar negeri Iran pascarevolusi. Padahal, di belakang retorik revolusioner itu, orang dengan jelas dapat melihat pertama, kepentingan tradisional sekuriti Iran. Misalnya di Teluk Persia. Pemerintahan Ayatullah, seperti halnya pemerintahan Syah, mencari jaminan di Teluk Persia dengan mengamankan pengakuan sebagai kekuatan terunggul di kawasan tersebut, mempertahankan kendali atas garis-garis perhubungan laut yang vital, dan memelihara keampuhan militernya. "Syah sering menekankan dipertahankannya perimeter sekuriti Iran yang terus meluas," tulis Ramazani, "dan rezim Khomeini menekankan perluasan 'payung keamanan' Iran." Sejumlah 70%-80% impor Iran pun tetap berasal dari Eropa Barat dan Jepang. Hubungan dengan Uni Soviet "baik", tetapi golongan ulama menunjukkan sikap curiga Iran terhadap negara itu. Pada Februari 1985, berdasar informasi kuat tentang agen-agen Soviet yang giat di Iran, pemerintah menahan para pemimpin Partai Tudeh (Komunis) yang beranggotakan lebih dari 1.000 orang, dan mengusir 8 diplomat Soviet. Informasi mengenai itu didapat dari Vladimir Kuzichkin, agen Soviet yang membelot ke Inggris. Kedua, Iran telah memperlihatkan serentetan sikap pragmatis dan rasa yang baik -- bahkan dalam periode ketika ketegangan yang disebabkan ulah golongan radikal sedang kuat-kuatnya di Teheran. Dengan demikian, baik Iran maupun Arab Saudi telah berperan mencegah perluasan Perang Iran-Irak ke negara-negara tetangga -- "Saling menahan diri Arab Saudi dan Iran mencerminkan kenyataan bahwa konflik ideologi antara kedua negara dilembutkan oleh suatu kepentingan bersama." Ketiga, tekanan ekstern dan kesulitan intern, terutama dalam dua setengah tahun terakhir ini, telah membawa para pejabat ke sikap yang lebih menumpulkan raut radikal dari politik luar negeri mereka. Walaupun ada kebocoran dalam hal embargo, yang dijadikan sanksi oleh Amerika, Iran sulit sekali memperoleh senjata yang diperlukannya untuk melawan 1rak. Negara-negara Teluk, yang dipimpin Saudi, menganut apa yang kerap kali dilukiskan Ramazani sebagai kebijaksanaan, "Pembendungan ... dengan cara pendekatan, ketidaksetujuan, dan pencegahan terhadap Iran." Di dalam negeri, perang dengan Irak, bersamaan dengan jatuhnya harga minyak dan kekacauan umum, telah memperburuk ekonomi dan menyebabkan ketakpuasan rakyat. Sejak 1984 pemerintah, yang menghadapi kekurangan valuta asing, telah menciutkan impor dengan tajam. Masalahnya makin lama makin berat, pada 1986, ketika penghasilan minyak mungkin cuma mencapai jumlah US$ 6 milyar atau setengah dari tingkat tahun sebelumnya. Pencatuan makanan ditingkatkan, ransum bahan bakar diperkenalkan, dan pabrik-pabrik ditutup atau dijalankan secara bergilir karena kekurangan suku cadang atau bahan baku. Pertahanan udara Iran, dalam pada itu, terbukti lebih mudah diserang pesawat-pesawat pembom Irak, yang telah menimbulkan kerusakan berat pada penyulingan dan fasilitas ekspor minyak pada 1986. Perkembangan itu menjelaskan keinginan baru Iran untuk memperoleh suku cadang buat misi Hawknya, walaupun harus didapat "dari iblis sekalipun". Tanda-tanda keletihan perang dan kemuakan umum juga telah menjadi bukti. Demonstrasi-demonstrasi antipemerintah meledak di distrik kelas pekerja Teheran, pada April 1985 -- sebagian untuk memprotes ketidakmampuan pemerintah melindungi wilayah penduduk sipil dari serangan pengeboman Irak. Musim panas ini, para wakil kabinet dan Perkumpulan Guru Agama Qum yang berpengaruh, secara terpisah, mendesak Khomeini untuk mencari penyelesaian nonmiliter. Khomeini menolak. Bulan Agustus, bekas Perdana Menteri Mehdi Bazargan, yang sekarang beroposisi dan diberi kebebasan terbatas, menulis sepucuk surat terbuka kepada Khomeini. Ia melukiskan paksaan diteruskannya perang melawan Irak sebagai suatu rumus untuk kehancuran remaja dan ekonomi negeri itu. Kesulitan-kesulitan intern dan ekstern semacam itu menjelaskan usaha pemerintah sejak dua tahun silam untuk mengakhiri isolasi diplomatiknya, walaupun para penganut garis keras menentang. Pada Oktober 1984, Khomeini memberkati upaya itu, dan mengatakan kegagalan membangun hubungan normal dengan negara-negara lain merupakan, "Kekalahan, penghancuran, dan penguburan." Dikatakan kepada seorang menteri Jerman yang berkunjung ke Teheran pada 1984: Iran ingin meluaskan hubungan dengan Barat. Juga berusaha menjauhkan diri dari aksi teror di Timur Tengah. Negara itu menolak kerja sama dengan para pembajak -- yang pada bulan Desember menerbangkan sebuah pesawat Kuwait ke Teheran dan menuntut pembebasan para tahanan politik dari penjara Kuwait. Dan menggunakan jasa-jasa baiknya, membantu menjamin pembebasan orangorang Amerika yang disandera setelah pembajakan sebuah pesawat TWA di Beirut, pada bulan Juni 1985. Awal tahun ini, Iran memulai lagi pengiriman gas alam ke Uni Soviet, setelah terputus karena sengketa harga pada 1979. Juga menyelesaikan masalah tuntutan finansial jangka panjang yang telah berlarut-larut dengan Prancis, sedangkan di dalam OPEC sepakat untuk mencapai tujuan bersama dengan Arab Saudi, saingan lama. Pada pendapat Ramazani, ia melihat suatu perkembangan demikian ketika ia menyinggung soal adanya suatu "realisme yang sedang muncul" di dalam politik luar negeri Iran. Di suatu bagian yang dengan padat mengetengahkan tesis sentral bukunya, ia menulis: Menghadapi setiap masalah utama, termasuk ke dalamnya perang dengan Irak, sikap politik Iran secara taat asas berisi unsur-unsur pengekangan diri, pragmatisme, dan bahkan penuh dengan faktor penolong. Gonggongan rezim revolusioner jauh lebih galak ketimbanggigitannya. Retoriknya lebih melengking ketimbang tindakan-tindakannya. Ia menyerukan tindakan lebih garang ketimbang yang dimaksudkannya. SEMUA itu secara bagus menangkap campuran ideologi dengan pragmatisme, besar mulut dengan realisme, yang telah memberi ciri khusus pada politik luar negeri Irana selama tiga tahun terakhir. Walaupun hubungan Iran dengan negara-negara Barat telah reda dari ketegangan, Ramazani, saya kira, menganggap enteng kesulitan-kesulitan pihak Iran untuk suatu permulaan dialog dengan Amerika -- karena "iblis raksasa" itu masih merupakan kasus istimewa. Lagi pula, setelah begitu kuat melukiskan landasan ideologi luar negeri Iran, Ramazani mungkin telah mengetengahkan lebih banyak kendala yang diakibatkan kesenjangan antara ideologi negara itu dan prakteknya. Khomeini tetap sangat curiga kepada Amerika. Ada unsur-unsur dendam terhadap Amerika di kalangan ulama senior, Pengawal Revolusioner, dan Komite Revolusioner. Karena tekanan perang dan kesulitan ekonomi, pemerintah tak mungkin menjauhkan diri dari elemen-elemen organisasi yang kuat itu. Selama tujuh tahun, masyarakat telah secara teratur dicekoki retorik anti-Amerika. Segala perubahan kebijaksanaan yang mendadak akan menguji dengan getir keterpercayaan pemerintah. Khomeini dan para pembantunya percaya, pengaruh mereka telah meresap di kalangan kaum Syiah Libanon dan umat Muslim di mana saja. Pengaruh itu berasal dari sikap tak mengenal kompromi dalam melawan Israel dan Amerika Serikat. Dengan demikian, walaupun penyimpangan secara umum dalam politik luar negeri Iran akhir-akhir ini tak diragukan lagi -- satu segi yang diargumentasikan Ramazani secara mengesankan -- jalan untuk memperbaiki hubungan ekstern, terutama dengan Amerika, akan sangat sulit dan punya banyak rintangan. Namun, penulis ini telah mengemukakan suatu subyek muskil dengan sangat jelas dan dengan berapi-api serta obyektif tentang suatu hal yang, baik bagi Iran maupun Amerika, masih dibebani luapan rasa emosional. Buku itu masuk percetakan sebelum terungkapnya pengiriman senjata ke Iran, dan kemudian itu menjadi kepala berita. Ia menyajikan perspektif perkembangan terakhir yang dapat kita pahami dengan baik. Pemerintahan Reagan, dengan beraneka cara, telah melukiskan inisiatif pendekatannya dengan Iran sebagai upaya membangun hubungan dengan kaum "moderat" dalam rezim Khomeini. Itu akan menempatkan Amerika pada posisi lebih baik dalam berurusan dengan Iran pada periode pasca Khomeini nanti, untuk mengimbangi pengaruh Soviet di Iran, atau membujuk Iran menarik diri dari dukungannya terhadap terorisme, serta membantu pembebasan sandera Amerika, dan mendukung pengakhiran Perang Irak-Iran. Ada beberapa kesulitan yang merontokkan argumen-argumen itu. Para pedagang senjata Saudi dan Israel telah menjadi titik pusat dalam memulai kontak antara orang Iran dan Amerika. Bersamaan dengan itu, seorang pedagang senjata Iran -- yang bertindak sebagai penengah di antara mereka tidak menjanjikan suatu pertanda baik tentang kemungkinan perundingan serius mengenai masalah lain dari soal penjualan senjata. Kebanyakan orang-orang itu, berlawanan dengan pengakuan mereka, berkepentingan terutama dengan keuntungan pribadi. Tetapi Amerika masih juga menyandarkan diri pada mereka -- untuk melihat ke dalam lingkungan politik kepemimpinan di Iran dan tujuan mereka berkonsultasi dengan Amerika. Orang-orang itulah yang agaknya membawa McFarlane melakukan perjalanan yang salah kaprah ke Teheran. Bila Amerika ingin berdialog dengan Iran, mungkin lebih masuk akal berusaha lewat Pakistan, Turki, atau sekutu-sekutu Eropa. Beberapa sekutu Amerika di Eropa telah berhasil mempertahankan hubungan baik dengan Republik Islam. Tetapi menukar penjualan senjata dengan sandera muncul dan mendominasi kontak-kontak tersebut. Dan pada tahap-tahap tertentu, penjualan senjata ditambahi dengan tujuan sampingan: menyalurkan uang bagi Contra di Nikaragua. Para pejabat pemerintah juga telah memamerkan hal-hal yang memusingkan ketimbang menjadikannya terang -- mengenai "kaum moderat" Iran yang katanya mereka hubungi. McFarlane kadang-kadang mengatakan, seolah "kaum moderat" itu para pembangkang dalam rezim, yang telah mempertaruhkan nyawa untuk membuat kontak-kontak dengan Amerika dan telah menyiapkan diri untuk suatu perebutan kekuasaan pada masa pasca Khomeini. Bila para pembangkang itu memang benar ada, membicarakan mereka secara terbuka dan kerap merupakan puncak suatu tindakan tak bertanggung jawab. Pemandangan tentang Revolusi Iran dihiasi (kadang-kadang secara harfiah) dengan sosok-sosok orang yang katanya berkawan dengan Amerika. Juga tak masuk akal mengatakan, seolah Amerika Serikat bermaksud menjejalkan diri masuk ke politik dalam negeri Iran dan mempengaruhi pembentukan struktur kekuasaan yang akan muncul pada periode pasca-Khomeini. Pengapalan senjata takkan mungkin sampai ke Iran secara teratur, tanpa diketahui dan persetujuan sejumlah pejabat senior. Juga dapat dipertanyakan bagaimana sejumlah besar dana untuk pembayarannya dapat keluar. Jadi, baik dalam penjualan senjata maupun dalam pembicaraan mengenai masalah-masalah lain, para pejabat Amerika telah berurusan dengan pemerintah Iran. Tentu, di dalam pemerintah Iran hadir orang-orang dengan aneka ragam pandangan politik. Bila Amerika Serikat bermaksud berhubungan dengan Iran, ia harus mempunyai gagasan jelas mengenai sifat pemerintahan di sana, peran dan wawasan orang-orang di dalamnya, sikap mereka dalam pelaksanaan, cara-cara mengambil keputusan, serta hubungan-hubungan dengan Ayatullah Khomeini. Itu menuntut pengamatan cermat atas politik di Iran. Juga diperlukan diskusi-diskusi pendahuluan dengan para pejabat Iran kalau tidak secara langsung, maka melalui perantara yang dapat dipercaya ketimbang para penjual senjata. Kelak, pertanyaan menjengkelkan tentang penjualan senjata dapat diteliti dalam rangka sasaran Amerika yang lebih luas: tujuan akhir Perang Iran, ihwal Irak memperoleh persenjataan canggih, dan meningkatnya kecenderungan rezim Baghdad menggunakan bomnya buat membunuhi orang-orang sipil dan sasaran-sasaran ekonomi di Iran. Ketika kisah pengiriman senjata itu mula-mula diketahui, ternyata, bukan hanya pers Amerika (dan terutama televisi), tetapi juga para pejabat Amerika sendiri selama beberapa tahun belakangan ini terbukti tidak memperhatikan Iran. Sekarang, dengan perhatian seluruh negeri terpusat pada dampak domestik yang bertalian dengan urusan senjata dengan Iran dan hubungannya dengan Contra, pada kenyataannya, sekali lagi Iran terlupakan. Padahal, sebenarnya, perkembangan di Iran perlu diamati. Sebab, terdapat suatu diskusi terbatas, di Iran, tentang sampai di mana bijaksananya, atau diinginkannya, kontak dengan Amerika. Hasil perdebatan itu relevan dengan kepentingan Amerika. Di Iran, dengan pers yang diawasi, kisah pengiriman senjata belum menimbulkan banyak heboh. Para pejabat menyangkal tegas telah mencari hubungan resmi dengan Amerika ataupun mengadakan perundingan tingkat tinggi dengan wakil-wakilnya. Bahkan mereka membantah telah membeli senjata secara langsung dari Amerika. Sangkalan itu malah lebih berapi-api dalam hubungannya dengan Israel. Untuk sementara, Amerika Serikat cuma "iblis" tetapi Israel tak punya hak untuk ada. Para pemimpin Iran berusaha menggambarkan peristiwa itu sebagai kemenangan Iran. Kunjungan McFarlane ke Teheran dan imbauan Presiden Reagan di radio dan TV, yang melukiskan Revolusi Iran sebagai fakta sejarah, telah dianggap pengakuan terhadap Iran dan revolusinya. Ayatullah Khomeini melukiskan McFarlane sebagai peminta-minta yang hina dina di muka pengadilan Iran. "Mereka memohon ampun, dan bangsa kita tak bersedia menerimanya," katanya, dalam suatu pidato pada 20 November. "Semua negara besar berlomba-lomba membangun hubungan dengan Iran." Ia melukiskan Gedung Putih sebagai "Gedung Hitam", yang penghuninya "penuh nista" dan "gemetar" oleh kekacauan yang mereka ciptakan sendiri. Tetapi suara-suara berbeda mulai bermunculan di Iran. Perdana menteri memang mengesampingkan segala macam perundingan dengan "para kriminal" Amerika. Para pejabat senior menyumpahi Amerika. Tetapi Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, ketua parlemen yang sangat berpengaruh, di akhir November dan sekali lagi di bulan Desember, mengulangi tawaran Iran untuk menggunakan pengaruh atas kelompok yang menahan sandera Amerika di Libanon -- sebagai penukar US$ 480 juta dana Iran yang dibekukan Amerika, juga penukar senjata yang dibeli pemerintahan Syah yang pengirimannya diblokir atas perintah presiden AS. Itu menandakan bahwa Republik Islam masih menginginkan senjata Amerika, meski sedang menghadapi kesulitan dalam menjelaskannya kepada rakyat. Dan itu juga menumbuhkan anggapan bahwa Khomeini masih terus mempercayai Rafsanjani untuk melakukan perundingan-perundingan yang berkenaan dengan senjata itu, melalui perantara. Apakah ia mengizinkan juga kontak yang lebih ekstensif, tanda-tandanya masih belum terlihat. Ada juga gejala-gejala ketidakpuasan. Bahkan sebelum kisah McFarlane tersebar luas, pada permulaan Oktober, Ayatullah membuat suatu sensasi dengan membiarkan dilakukannya penangkapan atas diri Mehdi Hashemi, Kepala Unit Pengawal Revolusioner yang bertanggung jawab atas dukungan terhadap gerakan-gerakan pembebasan di luar negeri. Hashemi ini juga anggota keluarga calon pengganti Khomeini, Ayatullah Husein Ali Montazeri. Ia pendukung lama dan penganjur politik "menahan diri di dalam negeri tetapi agresif di luar", di samping penyokong sektor usaha swasta di Iran dan pendukung perlakuan lebih lunak terhadap tahanan politik. Hashemi secara efektif telah berhasil menyebarkan pengaruh Iran di Libanon. Tetapi dia dan kelompok bersenjatanya, di Libanon dan di tempat lain, menikmati otonomi yang cukup luas dan terlihat jelas tidak selalu mengikuti kebijaksanaan pemerintah. Penahanan Hashemi tampak mencerminkan usaha pemerintah membangun kendali yang lebih ketat atas politik luar negerinya dan atas kelompok-kelompok ambisius di luar Iran. Bahkan mungkin juga ada hubungannya dengan pembicaraan tentang pertukaran sandera dengan senjata. Kisah kunjungan McFarlane ke Iran pertama-tama dibocorkan oleh Asy-Syira'ah, majalah Libanon yang dekat sekali dengan kelompok radikal Syiah di sana. Sekarang, sesudah media itu menjadi terkenal, tak seorang pun di Amerika Serikat yang menyadari bahwa Asy-Syira'ah juga menerbitkan pembelaan kepada Hashemi, yang dilukiskan sebagai seorang revolusioner yang ditentang unsur-unsur konservatif Iran. "Sekarang, di Iran, ada dua logika yang sedang bertentangan," tulis majalah itu, "logika negara dan logika revolusi." Redakturnya kemudian mengakui, laporan tentang McFarlane telah sengaja dibocorkan kepadanya oleh kantor Ayatullah Montazeri -- berkat ikatan pribadinya dengan keluarga sang ayatullah. Ia pun mengatakan, cerita itu dikisahkan, "Dalam konteks rebut-rebutan kekuasaan akhir-akhir ini di Iran." Cerita Asy-Syira'ah itu berfungsi menunjang kepentingan faksi Hashemi di kubu Montazeri -- walaupun tak ada bukti terlibatnya Montazeri sendiri dalam pembocoran itu. Penahanan Hashemi dan "pengakuan"-nya atas berbagai kejahatan, yang disiarkan TV di bulan Desember, merupakan petunjuk jelas tentang tidak disukainya lagi faksi Hashemi. Langkah telah diambil untuk memisahkan Montazeri dari anggota keluarganya. Dan bila penghinaan atas Hashemi melukai Montazeri, posisi sang ayatullah sebagai salah satu pembantu utama Khomeini dan pewaris kepemimpinannya masih belum goyah. Pada hari yang sama, ketika Rafsanjani mendiskusikan rincian perjalanan McFarlane ke Iran, dan tak lama setelah pengungkapannya oleh Asy Syira'ah, seorang ulama lain, Ayatullah Musavi Khoeniha, secara implisit menolak gagasan apa pun yang berkenaan dengan perundingan dengan Amerika. Khoeniha, sekarang jaksa agung, adalah guru pembimbing pada Para Siswa Garis Imam kelompok yang menangkap para sandera di Kedubes Amerika di Teheran, pada 1979. Mengumpamakan perjuangan melawan Amerika sebagai "dasar revolusi", Khoeniha menuduh negara itu bermaksud melemahkan tekad Revolusi Iran. "Kita takkan pemah menyerah kepada Amerika," katanya. "Jangan tertipu oleh Amerika ... (jangan) menganggapnya sebagai kawan atau melupakan kebencian kita kepada Amerika." Para Siswa Garis Imam sendiri, yang telah lama tak terdengar, muncul kembali dan mengeluarkan pemyataan yang secara tak langsung mengkritik kontak-kontak dengan Amerika. Mehdi Bazargan, si perongrong abadi, ganti membuat surat terbuka yang menuntut agar kisah lengkap kontak-kontak tersebut diceritakan kepada seluruh rakyat. Pada pertengahan November, delapan anggota parlemen juga mengajukan pertanyaan dan meminta Menteri Luar Negeri menyampaikan laporan lengkap tentang segala kontak yang dimaksud. Salah satu penanda tangan, Jalal ad-Din Farsi, punya reputasi berkecenderungan pro-Soviet. Ayatullah Khomeini bergerak cepat. Ia menumpas langkah-langkah itu. Pada 20 November, dengan tajam sang ayatullah mengkritik dan menuduh mereka sebagai pendorong perpecahan dan keretakan. Dengan jelas ia mengharapkan orang menghindari perdebatan yang dapat memecah-belah, yang dapat terjadi bila pertanyaan para anggota parlemen itu dibicarakan. Meski demikian, bila para penentang segala macam dialog dengan Amerika telah dibungkam, mereka masih belum dapat didekati. Kita mungkin belum mendengar akhir suara gemuruh itu dan dampak sesungguhnya masih harus kita pelajari. Kesalahan paling besar dari semuanya adalah tafsiran terlalu dini atas pesan berbeda-beda yang datang dari Teheran -- sebagai pencerminan pertentangan jelas antara kaum "moderat" proAmerika dan kaum revolusioner anti-Amerika. Keadaan sebenarnya jauh lebih njelimet. Sikap politik dan ketaatasasan para ulama dan pejabat di sekeliling Khomeini terhadap masalah-masalah dalam dan luar negeri satu per satu telah dikenal. Meski begitu, di kalangan pemimpin puncak masih terdapat pergeseran dan manuver-manuver. Posisi sekumpulan kaum pragmatis, yang mengelompok di sekitar Rafsanjani, sedang menanjak. Namun, mereka dan para pemimpin lain mesti menyesuaikan sikap politik mereka dengan sikap yang berlawanan dari massa yang mereka wakili. Juga menyesuaikan diri dengan keadaan darurat perang, ekonomi yang makin merosot, situasi sikut-menyikut antarpemimpin, dan dengan diri Khomeini sendiri sebagai pemimpin yang keras hati. Kondisi-kondisi semacam itu menawarkan berbagai peluang untuk perdagangan dan kontak-kontak lain dengan negara itu. Dan itu telah disadari Eropa. Namun, bila segala sesuatu sudah menjadi jelas, adalah penjajakan hubungan masa depan dengan Iran yang akan memerlukan pendekatan yang halus, hati-hati, dan penguasaan masalah yang baik. Dan itu berlawanan dengan kebijaksanaan model penjualan senjata tahun silam, yang begitu berahasia dan begitu tanpa pemahaman yang cukup. Tulisan ini merupakan pembicaraan tentang Revolutionary Iran: Challenge and Response in the Middle East karangan K. Ramazani. Dimuat dalam New York Riview of Books, Januari 1987.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus