Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Penguasa sebagai pengusaha di ...

Sumber penghasilan perdagangan para elite kerajaan agraris di indonesia berawal dari pemilikan tanah oleh raja yang menanami tanahnya dengan produksi ekspor mereka memiliki hak monopoli atas perdagangan.

16 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUA negara yang maju industrinya, yang melakukan proses modernisasi, berangkat dari masyarakat agraris dan feodal. Menurut para peneliti sejarah kini, antara lain B. Moore, peranan dan orientasi komersial para bangsawan tuan tanah sangat penting dalam menumbuhkan suatu evolusi damai - bukan revolusi sosial - yang dapat mencapai industrialisasi dan demokrasi. Contoh utama adalah Inggris, dan mungkin Amerika Serikat - biarpun negara terakhir itu, sebagai "dunia baru", sama sekali berlainan dengan "dunia lama" (Eropa, Asia, dan lain-lain). Toh, di Amerika pun harus terjadi perang saudara (1860-an) antara kepentingan komersial dan industri di Utara dan para pemilik perkebunan yang dikerjakan para budak di Selatan. Hanya saja, seperti juga di Inggris (1648), konflik antara kepentingan agraria dan kepentingan perdagangan atau industri hanya berlangsung di kalangan atas. Revolusi kedua negara itu berbeda sekali dengan revolusi Prancis (1789), revolusi sosial yang menggulingkan kelas bangsawan dan raja. Demikian juga dengan revolusi-revolusi sesudahnya - seperti di Rusia dan Cina. Di ketiga negara yang tersebut terdahulu itu, biarpun golongan masyarakat yang berbeda-beda merebut kekuasaan, mereka masingmasing mempunyai kelas penguasa tradisional yang tidak memiliki visi ekonomi dan berorientasi ke perdagangan. Tentang Indonesia (dan Asia Tenggara, yang akan kami singgung sedikit), biarpun tidak dapat dibandingkan struktur masyarakatnya dengan struktur di negara-negara di atas, orientasi elite-elite penguasa lama sebagai usahawan - dalam hubungan dengan tanah dan para petani atau sumber-sumber ekonomi yang lain - dapat kita persoalkan. Masalah-masalah itu demikian menentukan dalam perkembangan masyarakat-masyarakat ini. Elite Penguasa Membicarakan struktur politik di Indonesia, orang biasanya membedakan dua tipe atau pola kesatuan politik: kerajaan maritim dan kerajaan agraria. Yang pertama berpusat di pesisir kepulauan: Aceh, Serdang, Deli, Padang, Makassar, Goa, Ternate, Tidore, Banten, Demak, Kudus, Surabaya, dan lain-lain. Di kepulauan ini, kerajaan maritimlah yang dominan dalam sejarah. Kerajaan agraria, sebaliknya, hanya berpusat di pedalaman Jawa Tengah (sekitar YogyakartaSurakarta), dalam bentuk seperti Mataram I dan II, dan di Jawa Timur dalam bentuk Kadiri, Singasari, Majapahit, dan sebagainya, serta mungkin di Bali Selatan, Kurinci, dan lain-lain. Namun, kerajaan tipe kedualah yang mendominasi Indonesia kini, dan karena itu akan mendapat sorotan khusus. Ada berbagai perbedaan dan persamaan antara elite kerajaan maritim dan yang di kerajaan agraria. Elite di kerajaan maritim disebut para orang kaya berasal dari orang jaya alias pembesar. Di kerajaan agraria, mereka disebut kaum priyayi (yayi: adik raja dalam arti abstrak), atau feodal -- sebab, sering, feodalisme melihat hubungan atasan dan bawahan dalam istilah-istilah kekeluargaan. Kerajaan-kerajaan tradisional masa itu, baik maritim maupun agraris, malah juga VOC (Belanda), EIC (Inggris), dan lain-lain, berpolitik dengan prinsip monopoli terhadap produksi maupun perdagangannya. Persamaan antara elite orang kaya dan elite priyayi adalah monopoli sumber-sumber kekayaan ini. Raja dan elite orang kaya di kerajaan maritim memiliki hak monopoli atas perdagangan sumber kekayaan mereka. Kedudukan ekonomi itu berkaitan dengan kedudukan politik-militer, dalam arti dipakai untuk menjamin kedudukan itu dan tidak semata-mata bagi kedudukan ekonomi. Juga kadang kala ada saudagar kaya yang diberi jabatan dalam kerajaan, bahkan dikawinkan dengan keluarga raja. KALAU rajanya berkedudukan kuat, seperti Sultan Mahmud dari Malaka (1488-1511) atau Iskandar Muda dari Aceh (1607-1636), saham terbesar perdagangan berada di tangannya. Tetapi jauh lebih sering kekuasaan praktis berada di tangan elite -- para orang kaya, yang tentunya menguasai perdagangan pula. Istilah orang kaya sendiri ("pembesar") sudah menunjukkan struktur kurang hierarkis antara raja dan elite berlainan dengan istilah priyayi yang adalah "adik raja" bagi elite kerajaan agraris. Perbedaan dua tipe elite itu disebabkan oleh perbedaar dasar ekonomis mereka. Kekayaan dan sumber penghasilan perdagangan para orang kaya, di kerajaan maritim, jauh lebih mobil dibanding kekayaan yang diperoleh dari tanah dan upeti petani. Uang dan harta selalu, bila perlu, dapat dipindahkan ke luar atau disembunyikan, sedangkan tanah atau upeti lebih mudah berada di bawah pengawasan raja di kerajaan agraris. Ketidakberdayaan raja dan elite kerajaan maritim, terhadap pengawasan harta mobil, itu terungkap dari kenyataan bahwa pajak dan upeti tidak dapat dikumpulkan -- selain tidak dikenal kerja bakti dalam struktur politik di sini. Berbeda dengan di kerajaan agraria. Hal terakhir ini menyebabkan seluruh beban pajak dalam masyarakat agraris tradisional ditumpukkan pada petani. Kerajaan Agraria Di Indonesia, tipe kerajaan agraria ini terdapat terutama di pedalaman dataran rendah Jawa Tengah dan Timur. Suatu ekonomi persawahan dapat tumbuh di dataran rendah ini, tempat gunung-gunung berdiri sendiri-sendiri dan dikelilingi dataran rendah. Di Jawa Barat dan Sumatera yang terlihat bukan gunung, tetapi pegunungan, yang menempati daerah pedalaman. Daerah rendahnya berada di tepi pantai, yang sering merupakan rawa. Di negara tetangga, kerajaan agraria terdapat di Ayuthia (Muangthai), di Angkor dan di Pagan/Ava (Burma Tengah). Juga di kerajaan-kerajaan agraria tetangga Indonesia, perdagangan -- dan bukan hanya pertanian merupakan aktivitas penting dan basis ekonomi negara. Kedudukan raja, yang jauh lebih kuat di kerajaan agraria, juga terlihat dalam perdagangan. Di Asia Tenggara raja di wilayah agraria memegang monopoli perdagangan hasil tani. Dalam pengiriman kapal-kapal dagang ke luar negeri, raja Ayuthia, dan raja Mataram sebelum VOC menguasai seluruh perdagangan, sering mengizinkan penjualan saham kepada para familinya atau para pejabat penting dan orang kesayangannya. Tetapi pelunakan hak monopoli raja ini mungkin disebabkan oleh keperluan membagi risiko di antara raja dan elite keraton: dalam pengiriman barang ke luar negeri selalu ada kemungkinan tenggelamnya kapal, misalnya, atau perompakan. Kepentingan raja dalam perdagangan terlihat dalam perjanjian-perjanjian mereka dengan VOC. Beras selalu merupakan barang dagangan terpenting, sebab Batavia tidak memproduksi bahan makanan ini. Dalam perdagangan beras ini juga tidak terlihat adanya partisipasi para priyayi atau pangeran, biarpun pelaksanaannya berada di tangan golongan ini. Dalam perjanjian dengan VOC selalu tercantum: barang dagangan raja Mataram selain beras bebas dari pajak dan pengawasan. Maklum, Mataram tidak menghasilkan hasil bumi yang dimonopoli VOC, seperti lada dan rempah-rempah lain. Dengan adanya aliansi raja-raja Mataram dengan VOC dalam niaga, kedudukan raja dalam perdagangan barang dari luar Jawa, seperti dari Timur Tengah (kuda, tekstil halus, perhiasan, dan lain-lain), lebih berada di tangan raja. Tidak ada lagi pengiriman kapal dagang sendiri dari raja Mataram: kapal-kapal VOC dipakai sebagai alat angkutan dari luar pulau. Golongan priyayi makin terpencil dari dunia usaha. Amangkurat I (1645-1677) adalah raja Mataram pertama yang mengadakan perjanjian dengan VOC (1646), dalam usaha mengubah politik konfrontasi pendahulunya, Sultan Agung (1613-1645), terhadap kekuatan baru itu. Dalam perjanjian niaga dengan VOC para raja Mataram berhasil pula mengucilkan golongan priyayi pesisir, khususnya dalam perdagangan rempah-rempah di Maluku. Amangkurat I meminta kepada mitranya yang Belanda itu untuk mencegah setiap pedagang Jawa, dari mana pun, yang berdagang di kepulauan timur itu. Dengan gembira VOC memenuhi permintaan itu -- dan sepilah perdagansan para priyayi dan raja-raja pesisir utara Jawa yang tadinya ramai di sana. Yang mendorong tindakan Amangkurat I dan raja-raja Mataram lainnya adalah persaingan kekuasaan: melalui kegiatan dagang itu, para priyayi pesisir bisa menjadi kuat dan menentang mereka seperti halnya Majapahit, yang beberapa ratus tahun sebelumnya dijatuhkan Demak dan para sekutu pesisir lain. Priyayi pesisir, khususnya para bupatinya, yang oleh Sejarawan Van Leur disebut "raja-raja pedagang" (merchantprinces), kehilangan posisi mereka. Namun, sebagai usahawan, para priyayi pesisir berhasil tetap memegang peranan -- dengan mengubah fungsi mereka menjadi penghasil bumi bagi VOC. Dari kedudukan "raja pedagang" mereka menjadi "raja produsen", dan kekuatan politis mereka makin lama makin diintegrasikan dengan VOC -- dan bukan dengan Mataram. Sedangkan posisi elite Jawa di dunia perdagangan makin lama makin hilang. Kedudukanlah yang kemudian menjadi penting, dan sumber kekayaan bukan lagi usaha. Ini lebih-lebih terlihat pada priyayi Mataram, yang kemudian terpecah menjadi Kasunanan, Kasultanan (1755), Mangkunegaran (1758), dan Pakualaman (1814). Para priyayi dan pangeran, yang menerima lungguh (kedudukan) dari Raja, menyewakannya kepada pengusaha Belanda dan memisahkan diri hampir secara keseluruhan dari dunia usaha. Bagaimanapun, perkembangan sejarah menunjukkan bahwa secara tradisional, baik raja pedalaman maupun maritim beserta golongan elitenya merupakan pedagang dan pengusaha sebelum Belanda dan bangsa-bangsa lain mengambil alih kedudukan itu. Sampai akhir zaman kolonial, raja-raja -- seperti akan kita lihat nanti -- tetap merupakan usahawan pertama dalam kerajaan mereka, seperti dikatakan Profesor Wang Gang-wu. Perdagangan bagi raja tradisional memang demikian penting: ia merupakan bagian dari sistem perpajakannya dan dari usahanya untuk memperkuat keuangan negara maupun pribadi -- yang dalam dunia tradisional tidak dibedakan. Di semua kerajaan tradisional, Barat maupun Timur, sistem keuangan demikian lemah dan masalah pengumpulan dana menjadi utama. Dana inilah yang menghidupi seluruh aktivitas kerajaan. Zaman Kolonial Kalau ditinjau pembentukan kekuasaan kolonial di Indonesia, baik VOC maupun Hindia Belanda sebenarnya yang mendasari kekuatan politis itu juga perdagangan dan kegiatan usaha. Mengenai VOC, yang semata-mata satu perseroan dagang yang menjadi kekuatan politik teritorial di Jawa, hal ini jelas. Hindia Belanda dengan Tanam Paksanya juga demikian. Setelah Perang Diponegoro (1825-1830) selesai, dan Hindia Belanda, pengganti VOC (1799), mencaplok seluruh Jawa dan menjadikan daerah-daerah kerajaan Jawa protektorat atau wilayah-wilayah otonom di bawah pengawasan ketat Belanda, maka Belanda melaksanakan politik Tanam Paksa (1830-1870). Politik itu tidak lain dari suatu sistem perkebunan yang memproduksi hasil bumi untuk ekspor, seperti gula, kopi, teh, dan nila. Perkebunan-perkebunan itu dikelola dan dimiliki negara kolonial. Sedangkan Nederlandsche Handels Maatschappij (NHM), perseroan dagang setengah pemerintah, harus menampung hasil bumi itu dan memasarkannya, dengan, tentunya, pemberian kedudukan monopoli. Selain itu, ada kebijaksanaan negara kolonial itu di abad ke-19, di Jawa, tentang kelebihan hasil pengumpulan pajak -- dibanding yang dibutuhkan pemerintah Batavia untuk membiayai berbagai keperluan, seperti pembayaran pegawai negeri dan urusan kesehatan rakyat. Kelebihan itu (batig-slot) dikirimkan ke Nederland untuk mengurangi pajak rakyat Belanda dan mengongkosi proyek-proyek negara di sana. Batig-slot ini mencapai hampir 1.000 juta gulden pada akhir abad ke-19 -- saat penghapusan -- dan merupakan "bantuan luar negeri" murni (bukan pinjaman) yang tidak ada taranya bagi Nederland, dari bangsa Indonesia. DAN bagaimana dengan pertemuan dua pihak yang haus dana, yakni priyayi tradisional dan penguasa kolonial, yang kemudian bekerja sama bagi kepentingan yang sama? Biarpun tumbuh mitos-mitos di kalangan Belanda mengenai sikap nonmaterialistis raja-raja dan priyayi Jawa, sebenarnya penguasa Belanda selalu memperhitungkan faktor kebutuhan dana itu dalam semua kebijaksanaan. Kerja sama priyayi pesisir dan Mataram dengan Belanda telah kita singgung. Selama zaman Tanam Paksa, Belanda juga tidak melupakan kepentingan ekonomi para priyayi di bawahnya, yakni para pangreh praja. Dalam sistem Tanam Paksa, priyayi, yang dinyatakan sebagai "pegawai negeri Hindia Belanda" -- dari bupati sampai kepala desa -- diberi apa yang disebut kultuur-procenten alias persen dari penghasilan perkebunan. Di daerah-daerah kebun ekspor, pangreh praja dan kepala desa menerima bonus (persen) bila produksi naik, dan bonus ini merupakan bagian besar dari gaji mereka. Jadi, para alat negara kolonial ini diberi partisipasi dalam perkebunan dan usaha negara. Pada 1870, dengan menguatnya kedudukan golongan menengah di Nederland (ditandai dengan kemenangan Partai Liberal dalam pemilihan umum), monopoli Nederland atas keuntungan dari koloninya di Asia ini digugat, dan sistem Tanam Paksa dihapus. Perkebunan-perkebunan kolonial dijual kepada swasta Belanda dan penduduk Hindia Belanda yang bermodal, seperti Cina. Namun, golongan swasta ini tetap mengingat golongan priyayi, yang sebenarnya, sejak itu, seharusnya lebih berfungsi sebagai "pengabdi" atau "alat" masyarakat -- baik Belanda maupun yang lain-lain -- dengan persen-persen dari hasil perkebunan. Persen-persen perkebunan Tanam Paksa itu, sampai kira-kira permulaan 1860-an, sebenarnya tidak hanya diberikan kepada priyayi -- tetapi juga kepada para pejabat Belanda seperti residen asisten residen, dan kontrolir. Pada 1860 persenan itu dihapus bagi pejabat Belanda -- seiring dengan perbaikan gaji mereka -- tetapi diteruskan untuk pangreh praja, yang dipandang "belum cukup sadar" mengenai soal pemisahan kepentingan pribadi dari kepentingan negara. Bahkan, dengan swastanisasi perkebunan negara kolonial pada 1870, yang diiringi penaikan gaji pangreh praja dan kepala desa secara umum, "korupsi " di antara mereka lebih ditolelir daripada di antara pejabat Belanda. Satu hal menjadi sebab: pengeluaran adat seorang pangreh atau kepala desa, yang memiliki kewajiban sosial kepada keluarga besar dan masyarakat. Itu berlainan dengan pejabat Belanda kolonial, yang hanya memiliki kewajiban keuangan kepada keluarga inti. Dari pejabat Belanda tidak diharapkan zakat fitrah, pesta-pesta besar dan lain-lain -- yang antara lain juga dianjurkan oleh pejabat Belanda, karena ingin menikmati keramahtamahan dan jamuan-jamuan para feodal Jawa. Para Ndoro Bakul Pada zaman Tanam Paksa maupun kemudiannya, masih ada beberapa priyayi -- baik bupati maupun raja -- yang memiliki tanah sendiri atau cukup otonom untuk menunjukkan jiwa usaha, dan memakai kesempatan itu untuk ikut dalam eksploitasi kolonial tapi demi kepentingan diri sendiri, atas dasar risiko sendiri dan berusaha sendiri sebagai pribadi. Para bupati dan priyayi umumnya menerima, dari raja atau penguasa lain, sejumlah tanah dan para cacah. Cacah adalah "anggota keluarga besar", para petani yang terdiri dari empat laki-laki dewasa. Merekalah unit terpenting -- dan bukan tanah -- sebab cacah inilah yang mengerjakan tanah dan merupakan dasar kekuatan politis-militer si pejabat. Dengan singkat, priyayi menerima lungguh yang dinyatakan dalam jumlah cacah. Selama pendudukan Inggris di Jawa (1811-1816), pemerintah kolonial pengganti itu mencoba menjadikan lungguh yang berdasar cacah itu sebagai "milik pribadi atas tanah". Beberapa bupati pesisir memakai kesempatan itu dan menjadi pemilik tanah-tanah luas -- dan Belanda, ketika kembali menguasai Jawa, tidak menggugat status itu. Ketika pada zaman Tanam Paksa -- dengan pembukaan kebunkebun ekspor -- terjadi komersialisasi terhadap tanah itu sendiri (tanah bisa menjadi sangat berharga dengan menanaminya dengan tumbuhan ekspor), juga para bupati tersebut memakai kesempatan itu. Harus ditekankan di sini, mereka itu bukan sekadar pejabat negara kolonial, tetapi juga para tuan tanah. Di antara yang menjadi bupati-tuan-tanah itu adalah bupati Jepara -- yang menjadikan tanah-tanahnya perkebunan gula dan menerima penghasilan setiap tahunnya kira-kira 30.000 gulden. Sedangkan bupati dalam kedudukan biasa dalam pangreh praja Hindia Belanda umumnya berpenghasilan sekitar 10.000 gulden setahun. Bupati Brebes, dalam pada itu, diperkirakan memiliki tanah yang berharga setengah juta gulden dan berpenghasilan tahunan lebih dari 40.000 gulden. Demikian juga bupati Pekalongan, yang penghasilan besarnya rupanya juga menguntungkan penduduk petaninya: ia mengeluarkan setiap tahun 30.000 gulden untuk perbaikan usaha pertanian. Ada seorang bupati Jepara yang tidak memiliki tanah, dan sebaliknya harus membayar semua pajak -- baik pajak tanah maupun pajak kepala penduduk -- kepada Hindia Belanda. Tetapi itu dibarengi ketentuan bahwa penduduk petaninya memberikan semua upeti beras dan tenaga kepadanya, sehingga dia memperoleh kedudukan monopoli dalam perdagangan beras di hampir seluruh pantai utara Jepara dan sekelilingnya. Tetapi sistem tersebut dilakukan juga oleh para bupati Brebes, Rembang, dan lain-lain yang bersekutu dengan bupati Jepara. Yang ingin ditekankan dengan fakta-fakta itu adalah bahwa jiwa usaha para priyayi, bahkan pada puncak kolonialisme dan tanam paksa, tetap ada. Para bupati pedalaman, seperti dari Banyumas, juga rupanya melakukan hal-hal yang sama. Namun, dengan meluasnya negara kolonial Hindia Belanda, kepentingan-kepentingan ekonomis dan usaha priyayi itu mendapat tekanan. Sejak 1848, ketika tanah menjadi makin komersial dengan adanya produksi ekspor, lahan-lahan para priyayi pangreh praja di-"sita", dengan penggantian uang atau pembelian secara paksa oleh negara. Praktek-praktek pembayaran pajak kepada pemerintah Hindia Belanda oleh para bupati, untuk memonopoli upeti beras dan lain-lain, juga dihalangi. Dengan singkat, para priyayi di daerah-daerah "gupernemen" Hindia Belanda di Jawa makin lama makin dijadikan pegawai atau alat negara kolonial, dengan penghasilan utama dari negara dan bukan dari kekuatan pribadi. Pada abad ke-19, sampai berakhirnya Hindia Belanda pada abad ke-20 (1942), masih ada satu kalangan elite Jawa yang oleh Belanda, karena undang-undangnya sendiri, tidak dapat dicampuri urusan ekonominya. Yakni di daerah kerajaan-kerajaan Jawa. Jauh sebelum berakhirnya sistem Tanam Paksa, Mangkunegara IV (1853-81) sudah menyaingi sistem monopoli perkebunan negara kolonial itu. Mangkunegara mendirikan perkebunan-perkebunan gula dan dua pabrik gula, Colomadu dan Tasikmadu. Beliau menarik lungguh dari para priyayi dan pangeran Mangkunegaran dan menjadikannya usaha. Entah dari mana modalnya. Usaha itu bukan saja pada perkebunan gula, tetapi juga pada kopi, teh, hutan-hutan di daerahnya dan lain-lain. Pada akhir hidup dan pemerintahannya, Mangkunegara IV meninggalkan kekayaan 25 juta gulden, suatu jumlah harta yang tidak dapat disaingi pengusaha Eropa swasta dan Timur asing di zaman itu. Sayangnya, Mangkunegara V (1881-1896) menghabiskan modal itu, bahkan meninggalkan kerajaannya dengan utang yang banyak. Ini sebagian disebabkan oleh mismanagement, dan sebagian oleh resesi ekonomi dunia pada 1880-an, khususnya yang menyangkut bahan-bahan ekspor Keuangan Mangkunegara, sebagai akibatnya, harus diserahkan kepada pengawasan para residen Belanda di Surakarta. Tetapi keadaan pulih kembali di bawah Mangkunegara VI (1896-1916). Mungkin sekali istilah ndoro bakulan itu timbul bersama Mangkunegara VI ini sebab raja ini, menurut para sejarawan, adalah bangsawan Jawa pertama yang berusaha demi keuntungan materiil, dengan kata lain berusaha demi usaha itu sendiri. Beliau, bila mungkin dan bila hampir tidak mungkin, mengurangi pengeluaran kebutuhan kepangeranan Mangkunegaran dan keperluan masyarakatnya. Hidup pribadinya sangat sederhana, sampai pada taraf yang mungkin bisa dianggap menjatuhkan wibawanya sebagai pangeran. Namun, sebaliknya, raja ini mengembalikan semua utang Mangkunegaran dan berhasil menarik semua pengawasan keuangan dari pihak Belanda terhadap usaha Mangkunegaraan -- dan masih meninggalkan kekayaan sekitar 9 juta gulden. Cita-citanya untuk mewariskan kira-kira 30 juta gulden memang tidak tercapai, tapi beliau inilah sebenarnya penegak keuangan dinasti Mangkunegaran. Contoh ndoro-bakul Mangkunegara itu kemudian diikuti oleh pihak-pihak Kasunanan dan Kasultanan. Kedua-duanya menghapuskan tanah-tanah lungguh para priyayi dan pangeran mereka untuk dijadikan milik dan usaha kerajaan. Juga mendirikan pabrik-pabrik gula, perkebunan kopi, teh, dan lain-lain. Paku Alam tidak mengikutinya -- mungkin karena daerahnya terlalu kecil dan tidak cocok untuk usaha kebun. Namun, dari laporan-laporan Belanda, juga Paku Alam memiliki beberapa usaha. SULTAN Hamengkubuwono VIII, ayah sultan kini, dalam pada itu mengadakan pertunjukan-pertunjukan seni yang mewah -- seperti pementasan wayang orang keraton -- selama berhari-hari, dengan pawai-pawai sekeliling Yogyakarta dan dengan biaya besar, karena ada keuntungan dari usaha itu. Demikian juga Pakubuwono (yang dikatakan boros hanya karena, mungkin, mempertahankan gelar "Raja Jawa"), terakhir dengan usahausahanya dalam bidang ekspor dan pabrik gula. Kesimpulan Biarpun perdagangan dan dunia usaha demikian penting di antara elite Indonesia, pertanyaan timbul: Mengapa tidak ada kelas menengah yang kuat di Indonesia? Atau, adakah ia? Masalahnya, pertama-tama, apakah usaha ini dilakukan oleh golongan elite penguasa ataukah oleh kerajaan alias pribadi raja. Masalah ini saya kira penting dijawab. Di kerajaan maritim, kecuali kalau sultan kuat, usaha rupanya berada di tangan para bangsawan orang kaya. Sampai di mana para orang kaya ini merupakan suatu kelas atau membentuk kepangeranan-kepangeranan- kecil? Hal terakhir itulah yang terlihat di kerajaan maritim. Selain itu, sering kerajaan maritim terpisah dari daerah produksi hasil bumi yang berada di tangan raja-raja agraria. Namun, kelihatan juga akibat yang berbeda, dari masuknya pertanian komersial -- gula, kopi, karet, dan lain-lain -- antara di daerah-daerah maritim dan di Jawa. Di wilayah-wilayah Sumatera dan Kalimantan, perkembangan perkebunan ekspor menumbuhkan juga perkebunan karet rakyat, kopi rakyat, dan lain-lain, dan timbul suatu kelas petani kaya. Sayangnya, mereka harus bersaing dengan perkebunan-perkebunan Barat besar yang dilindungi pemerintah. Di Jawa, dalam pada itu, pertumbuhan semacam kapitalisme negara sudah terlihat pertama kali dalam sistem Tanam Paksa -- atau bahkan dalam kebijaksanaan VOC dan pihak Indonesia sendiri yang terakhir itu tumbuh di daerah-daerah kerajaan seperti Mangkunegaran, Kasunanan, dan Kasultanan. Struktur kerja paksa, pemilikan tanah oleh raja dan lembaga-lembaga tradisional lain dieksploitasi sepenuh-sepenuhnya untuk pertumbuhan perkebunan-perkebunan milik raja untuk kebutuhan kapitalistis, seperti terlihat dengan sangat tajam pada diri Mangkunegara VI. Sedangkan yang lain-lain masih terlihat memakai keuntungan atau modal yang dikumpulkan Mangkunegara VI demi perkembangan kerajaan, kesejahterahan rakyat, atau untuk menunjang keraton dan lain-lain proyek nonkapitalis. Tradisi BUMN rupanya memiliki akar-akar dalam sejarah yang lama. Sedangkan elite priyayi makin lama makin terpisah dari orientasi perdagangan dan menuju arah komersialisasi. Biarpun priyayi selama zaman Tanam Paksa merupakan pelaksana perkembangan perkebunan kolonial, mereka terpisah dari dunia pemasarannya. (Penyunting: S.A.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus