Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dagelan Hukum Susno Duadji

5 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI akhirnya menyerahkan diri, Komisaris Jenderal Purnawirawan Susno Duadji sesungguhnya telah melakukan perbuatan melawan hukum. Setiap warga negara tak boleh lari dari eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Kendati bekas Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI itu dan penasihat hukumnya punya penafsiran berbeda atas putusan kasasi yang tak mencantumkan perintah penahanan, mereka wajib menghormati eksekusi, bukannya main kucing-kucingan.

Tak sepatutnya pula hukum memberi perlakuan istimewa terhadap Susno, yang seenaknya mengajukan sejumlah syarat sebelum menyerah. Ia hanya mau dikurung di Lembaga Pemasyarakatan Pondok Rajeg, Cibinong, lantaran dekat dengan rumahnya di Depok. Kebetulan, tempat inilah yang ditunjuk sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, merespons permintaan yang diajukan lawyer-nya. Ia tak mau dieksekusi tim gabungan ramai-ramai, selain hanya "dikawal" tim jaksa yang ditunjuk Jaksa Agung. Luar biasa....

Memenuhi sederet permintaan itu berarti mencederai rasa keadilan masyarakat. Hukum kita ternyata masih berkasta. Sebelumnya, wibawa hukum sempat tergerus manakala seorang Susno, mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, bisa melenggang kabur lantaran proses eksekusi yang sepertinya sengaja dilemahkan. Jaksa seharusnya bersikap tegas dan tak perlu ada negosiasi. Perlakuan terhadap terpidana "elite" sama halnya dengan perlakuan terhadap terpidana mana pun.

Kasus ini harus menjadi pelajaran berharga bagi para hakim, jaksa, juga polisi. Lembaga peradilan harus jelas, tegas, dan cermat dalam membuat putusan, sehingga tak ada celah yang bisa menimbulkan kontroversi. Putusan kasasi sama sekali tak boleh menyisakan peluang yang bisa dimanfaatkan terpidana untuk menghin­dari eksekusi. Janggal rasanya jika ternyata putusan hukum atas Susno, yang secara administrasi banyak bolongnya, ini tidak dikoreksi hingga benteng terakhir keadilan kita di Mahkamah Agung.

Susno mangkir setelah tiga kali pemanggilan eksekusi. Puncaknya, dia membangkang ketika hendak dieksekusi tim gabungan Kejaksaan Agung. Dalihnya, eksekusi tak bisa dilaksanakan karena putusan kasasinya secara administrasi lemah sehingga dinilai cacat hukum. Aspek formal putusan disasar karena tidak mencantumkan perintah penahanan sebagaimana disebutkan Pasal 197 ayat 1-k Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Dengan kata lain, dia hendak mengatakan aspek formalitas persuratan sangat menentukan keabsahan eksekusi. Padahal, secara material, di semua tingkatan peradilan hingga putusan majelis hakim kasasi, Susno terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Ia tidak bisa berkelit dari dakwaan jaksa karena terbukti menerima suap untuk mempercepat penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari dan memakai dana pengamanan pemilihan kepala daerah Jawa Barat pada 2008 untuk keperluan pribadi. Susno pun divonis 3 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 200 juta, serta kewajiban membayar uang pengganti Rp 4 miliar.

Susno memang berhak menilai putusan Mahkamah Agung bermasalah. Tapi ia dan tim kuasa hukumnya perlu serius menyimak penetapan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan putusan seperti yang dikeluarkan Mahkamah Agung itu tidak batal demi hukum. Dalam penetapan tanggal 22 November 2012, Mahkamah Konstitusi menghapuskan Pasal 197 ayat 1-k Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang mengatur keharusan pengadilan mencantumkan perintah penahanan bagi terdakwa dalam amar putusan. Dengan kata lain, tafsir Susno dan pengacaranya tidak bisa membatalkan putusan pengadilan.

Lagi pula, putusan Mahkamah Agung sebagai judex juris bersifat eksekutorial. Peninjauan kembali tidak bisa menangguhkan, apalagi menghentikan, eksekusi. Meski putusan tak mencantumkan perintah penahanan terhadap terdakwa, jika sudah ditetapkan di tingkat kasasi, status hukumnya sudah terpidana, sehingga pasal di atas tak perlu lagi diterapkan. Karena itu, Susno yang divonis bersalah berdasarkan kasasi bukan lagi menjalani penahanan yang sifatnya sementara, melainkan pemidanaan yang lamanya sesuai dengan vonis Mahkamah Agung.

Prinsipnya, keadilan material haruslah lebih diutamakan daripada aspek formalnya. Eksekusi ala Susno ini tak boleh dijadikan preseden buruk. Jangan sampai banyak terpidana korupsi lain dengan problem sama lantas menolak dieksekusi. Salah satunya Bupati Kepulauan Aru, Theddy Tengko. Jika kejaksaan takluk pada Susno, Theddy, dan entah siapa lagi, kasus korupsi lain akan bererot-rerot. Parodi dan dagelan hukum atas putusan hukum ini harus dihentikan. Jangan sampai hukum di negeri ini malah menjadi bunker para koruptor.

berita terkait di halaman 74

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus