Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tak bosan-bosannya membuat rakyat bingung. Setelah berkali-kali menyatakan akan menaikkan harga bahan bakar minyak, sekarang pemerintah kembali membatalkan keputusan itu. Segala rencana kini tinggal wacana. Program membatasi Premium untuk mobil pribadi, kemudian gagasan dua harga bahan bakar, lalu kembali satu harga, semua tak terlaksana. Kali ini alasan pembatalan: menunggu Dewan Perwakilan Rakyat membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan untuk menghitung dana kompensasi akibat kenaikan harga itu.
Kesan "oper bola panas" kepada DPR ini kurang bertanggung jawab. Sebab, dalam pembahasan Undang-Undang APBN 2013 tahun lalu, pemerintah ngotot dan berhasil merebut kewenangan menaikkan harga bahan bakar tanpa persetujuan Dewan. Dan sejak awal, pemerintah memang tidak menyiapkan anggaran kompensasi—yang mensyaratkan persetujuan DPR, karena mengubah APBN. Akibat penundaan itu kelewat mahal. Sehari anggaran negara tergerus Rp 350 miliar. Jika sampai Juni mendatang harga tak berubah, anggaran sudah tersedot Rp 10,5 triliun. Padahal, untuk program Jaminan Kesehatan Masyarakat, yang melibatkan puluhan juta warga miskin, subsidinya "hanya" Rp 8,3 triliun setahun.
Menaikkan harga bahan bakar merupakan pilihan paling bijak demi mengurangi tekanan pada APBN. Bujet Republik sudah lama berdarah-darah gara-gara tersandera subsidi yang besarnya sudah tak masuk akal itu. Tahun lalu, subsidi mencapai Rp 211,9 triliun, jauh melebihi kuota subsidi APBN Perubahan sebesar Rp 137,4 triliun. Tanpa pembatasan, tahun ini subsidi bakal membengkak.
Sebetulnya, salah satu opsi pengurangan subsidi, yaitu menaikkan harga ke kisaran Rp 6.500-7.000, cukup rasional. Harga "kompromi" itu diperkirakan masih terjangkau orang banyak. Tak perlu membuka opsi dua harga—membedakan harga jual untuk kendaraan pribadi dan untuk angkutan umum atau sepeda motor—karena pengawasan di lapangan ruwet. Dengan menaikkan harga menjadi Rp 6.500 per liter saja, subsidi yang dihemat mencapai Rp 59 triliun.
Kalaupun pemerintah miris menghadapi gejolak, masih tersedia alternatif lain. Naikkan harga Premium, tapi biarkan solar tetap dengan harga subsidi Rp 4.500. Usul ini layak dipertimbangkan karena beberapa alasan. Pertama, konsumsi solar hanya sepertiga konsumsi total bahan bakar nasional setahun sebesar 44,31 juta kiloliter. Menahan solar di harga subsidi tak banyak mengurangi anggaran negara dibandingkan dengan mensubsidi Premium.
Kedua, sebagian besar pengguna solar adalah truk serta bus pengangkut orang dan barang. Hanya lima persen mobil pribadi memakai solar. Bila harga solar naik, yang paling terpukul adalah transportasi umum. Tarif bus, kereta api, serta angkutan orang dan barang akan segera naik. Harga barang konsumsi pun akan ikut terkerek. Sebaliknya, bila harga Premium yang dinaikkan, yang terkena impak hanya pemilik kendaraan pribadi. Mobil pribadi merupakan konsumen Premium terbesar.
Alasan ketiga, menaikkan harga Premium jauh lebih menguntungkan ketimbang solar. Menaikkan harga Premium menghemat subsidi Rp 43,9 triliun, sementara mengangkat harga solar hanya mengirit seperempatnya atau Rp 10,24 triliun. Nilai penghematan subsidi solar ini terlalu kecil dibandingkan dengan dampak ekonomi yang muncul seandainya harga solar naik.
Soalnya tinggal: beranikah pemerintah mengambil keputusan. Tak ada keputusan tanpa risiko. Tugas pemerintah adalah memastikan keputusan itu merupakan pilihan yang paling berdampak positif bagi rakyat banyak.
berita terkait di halaman 90
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo