Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN pengaturan impor buah merupakan contoh bagus peraturan tambal sulam. Pada mulanya, pemerintah bertujuan memperketat persyaratan masuknya puluhan komoditas hortikultura untuk melindungi produksi di dalam negeri. Payung hukumnya adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Hortikultura, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, yang berlaku sejak 28 September 2012. Pengetatan yang diterapkan meliputi penetapan kuota, penambahan tarif, pembatasan pelabuhan destinasi, dan pelarangan beberapa jenis buah.
Aturan yang berlaku untuk masa Januari hingga Juni 2013 ini menimbulkan kekacau-balauan. Harga buah melambung karena pasokan mendadak seret. Kontainer buah impor harus antre dibongkar karena pemerintah membatasi pelabuhan destinasi. Buah busuk menggunung. Pencoretan Pelabuhan Tanjung Priok, yang biasanya menjadi pintu masuk 80 persen produk hortikultura, mengakibatkan pasar di Jakarta dan sekitarnya, Jawa Barat, dan Lampung bak puasa buah. Para pedagang buah di pasar tradisional mengalami kelangkaan stok. Pendapatan mereka pun merosot. Konsumen buah impor dirugikan karena produk yang tidak dibatasi, seperti apel, ikut langka dan mahal. Sedangkan buah lokal tak bisa mencukupi kebutuhan.
Karena kebijakan itu dianggap keliru, hanya dalam enam bulan pemerintah "memperbaiki"-nya. Pada 22 April lalu, keluarlah Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 16 Tahun 2013, yang intinya melonggarkan kebijakan sebelumnya untuk masa impor Juli-Desember 2013. Bisa dipastikan, buah impor kembali membanjiri pasar. Perlindungan terhadap petani dan produk buah lokal, yang menjadi landasan pertimbangan keputusan awal, semakin tak jelas. Pemerintah terkesan plinplan.
Bukannya pantang merevisi kebijakan publik. Namun perubahan-perubahan itu janganlah hendaknya seperti uji coba. Masyarakat bukan laboratorium. Begitu banyak faktor yang perlu diperhitungkan dengan cermat sebelum menetapkan kebijakan. Pengetatan impor buah, meski secara politis pro-petani dan produk dalam negeri, secara ekonomi merugikan banyak pihak, termasuk pedagang buah.
Bila kebijakan pengaturan impor buah itu bertujuan melindungi produk dalam negeri, yang harus dipahami adalah pemicu terbukanya keran impor buah, yakni syarat yang ditentukan Dana Moneter Internasional pada 1998 untuk bantuan penanggulangan krisis ekonomi. Dalam dokumen letter of intent antara lain disebutkan semua peraturan yang membatasi pasar harus dicabut. Akibatnya di sektor pertanian adalah pengurangan proteksi dan subsidi untuk mencegah distorsi pasar. Terjadi perubahan besar di sektor pertanian, termasuk membanjirnya buah impor.
Maka diagnosis kebijakannya haruslah tepat. Jangan mengulangi kesalahan masa lalu, seperti pemberlakuan tata niaga yang monopolistik dan koruptif. Dibutuhkan strategi besar peningkatan produksi domestik untuk mencukupi pertumbuhan kebutuhan pangan. Berbagai insentif kreatif diberikan agar petani bergairah meningkatkan produksi. Dari hulu hingga hilir perlu strategi terpadu, seperti perluasan lahan, subsidi pupuk dan bibit, irigasi, serta urusan pemasaran, stabilisasi harga, distribusi, juga promosi. Kebijakan dan usaha nyata sangat mendesak agar tak lahir ironi: negeri gemah ripah loh jinawi ini justru kebanjiran buah impor.
berita terkait di halaman 96
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo