Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dahlan Iskan dalam Perkara

15 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMA hilang dari muka publik, Dahlan Iskan tiba-tiba muncul sebagai pesakitan dengan banyak gugatan. Dibuka dengan dugaan pencetakan "sawah fiktif" di Kalimantan Barat, menyusul penetapan sebagai tersangka dalam pembangunan gardu induk Jawa-Bali dan Nusa Tenggara PT Perusahaan Listrik Negara, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara itu kemudian digeruduk dengan dugaan korupsi pengadaan 16 mobil listrik, dua tahun silam. Masih ada kasus dugaan hilangnya aset badan usaha milik daerah Provinsi Jawa Timur, yakni PT Panca Wira Usaha, yang dipimpin Dahlan pada 1999-2009.

Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta seperti berebutan "mengurus" Dahlan. Mungkin untuk menghindari kesan "keroyokan" itu, sejak pekan lalu Kejaksaan Agung berniat mengambil alih kasus-kasus yang terpisah tersebut di bawah satu atap, yaitu Kejaksaan Agung. Memang repot juga membayangkan Dahlan, misalnya, harus memenuhi panggilan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada hari yang sama, seraya Kejaksaan Agung hendak memeriksanya pada hari itu pula.

Pada masa pemerintahan yang lalu, Dahlan tampil sebagai unikum. Ia menjadi semacam "Susi Pudjiastuti" dalam kabinet Yudhoyono-Boediono—tentu dengan format yang tidak sepenuhnya identik. Ketika ia membuka palang pintu jalan tol untuk memperlancar antrean kendaraan, misalnya, tidak banyak yang mempersoalkan bahwa tindakan itu sebetulnya melanggar hukum dan bisa mendapat sanksi. Ia malah dielu-elukan. Publik mendapat "hiburan" di tengah kelebaman birokrasi dan kesuntukan terhadap buruknya pelayanan masyarakat.

Dalam tempo singkat, anak Magetan yang dulu "bertransmigrasi" ke Kalimantan Selatan itu menjadi media darling. Dia dikabarkan tidak mengambil gajinya semasa memimpin perusahaan daerah di Jawa Timur, bahkan konon ketika menjadi Direktur Utama PLN. Ke mana-mana ia lebih banyak mengendarai mobil pribadi. Sampai cara berpakaiannya pun dipujikan: kemeja putih lengan tersingsing dan sepatu kets yang terkenal itu.

Boleh jadi, "toleransi" publik yang besar—dan sedikit berlebihan—itu membuat Dahlan agak abai ketika harus mengambil keputusan sebagai eksekutif dalam jaringan birokrasi. Tak boleh dilupakan, di dunia pers Dahlan memulai karier dari level koresponden daerah, dan dalam waktu relatif singkat menjadi pemilik salah satu grup perusahaan pers terbesar di negeri ini, sesuatu yang sungguh tak mudah dan bisa dicapai dengan ongkang-ongkang.

Sebagai entrepreneur, dia biasa bergerak cepat dan menerobos jalan pintas. Siapa pun tahu, semboyan "sabar itu subur" tidak berlaku di dunia wirausaha. Semangat inilah yang dibawa Dahlan ketika ia ditarik oleh kepala pemerintahan ke jaringan birokrasi yang penuh dengan pantangan dan hambatan itu. Sepanjang masa jabatannya, baik sebagai Direktur Utama PT PLN maupun sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara, terobosan dan keputusannya berjalan aman-aman saja.

Ketika menerima status tersangka, dua pekan lalu, Dahlan juga tidak bersikap defensif. Sebagai kuasa pengguna anggaran, ia mengambil tanggung jawab atas proyek pembangunan 21 gardu listrik itu. Ia mengaku tidak tahan menghadapi keluhan masyarakat atas bobroknya layanan di bidang kelistrikan. Ia sampai menyatakan, pada waktu itu, "Siap masuk penjara."

Tentu dibutuhkan waktu panjang untuk menentukan apakah Dahlan perlu masuk penjara atau tidak. Yang pasti, ia akan menjalani proses hukum. Dan hukum selalu mengandung dua aspek: "prosedural" dan "pembiasan". Yang pertama lebih berkenaan dengan kekeliruan tata kelola dan administrasi, dan yang kedua berkenaan dengan "tujuan" proses hukum itu sendiri. Itu sebabnya hukum tak bisa ditegakkan semata-mata demi hukum, tapi—dan di atas segala-galanya—haruslah demi keadilan.

Perkara Dahlan memberi pelajaran berharga bagi sangat banyak pejabat publik, terutama yang bertanggung jawab sebagai kuasa pengguna anggaran. Hingga saat ini saja, misalnya, banyak proyek tergagap karena para kuasa pengguna anggaran tak berani mengambil jalan pintas. Proyek yang tertunda semacam ini akan terus bertambah banyak, yang akibat langsungnya dirasakan oleh lapisan rakyat yang sangat luas.

Berkaca pada kasus Dahlan, akan banyak proyek tertegun atau berjalan gontai. Tuduhan penandatanganan kontrak pembangunan gardu induk pada 2011, yang berjalan sebelum pembebasan lahan, misalnya, bisa dipadankan dengan pembangunan proyek mass rapid transit yang sudah dimulai sementara pembebasan lahan untuk enam ruas jalan belum sepenuhnya beres. Kalau kasus ini diusut, penanggung jawabnya tentulah Gubernur DKI yang sekarang menjadi presiden: Joko Widodo.

Karena itu, kasus Dahlan menarik disiasati. Kasus ini akan menjadi batu ujian ke mana hukum hendak ditegakkan: demi keadilan atau demi pembiasan ke tujuan yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus