Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBOIKOTAN sebelas lembaga swadaya masyarakat terhadap Forum Demokrasi Bali merupakan sikap yang bisa diterima. Forum yang dibentuk pada 2008 itu memang terkesan seremonial tahunan belaka. Meski Forum Demokrasi wadah bagi negara-negara Asia untuk mendiskusikan persoalannya, implikasi forum ini terhadap progresivitas dan kualitas kehidupan demokrasi kita belum terasa benar.
Lebih-lebih penyelenggaraan tahun ini. Terasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di akhir masa pemerintahannya, hendak memamerkan kepada tamu-tamu asing bahwa selama menjabat presiden ia sukses menghidupkan demokrasi. Padahal kenyataannya tidak seindah itu. Di akhir pemerintahannya, demokrasi justru "maju ke belakang".
LSM yang menarik diri bukan sembarangan. Di antaranya Indonesia Corruption Watch, Kontras, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, serta Migrant Care. Bagi mereka, pencapaian Yudhoyono tak membanggakan karena ia terutama berperan untuk dua hal yang merugikan demokrasi. Pertama, golnya Undang-Undang MD3, yang membuat partai pemenang pemilu pilihan rakyat tak otomatis menjadi pemimpin parlemen. Kedua, disahkannya pemilihan kepala daerah (pilkada) tak langsung.
Yudhoyono membiarkan Fraksi Demokrat walk out pada saat penentuan Undang-Undang Pilkada. Bila kemudian ia mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang menggagalkan UU Pilkada, dan dalam pidato di Forum Demokrasi Bali ia menyatakan hati nuraninya masih memihak mayoritas masyarakat, itu terasa hanya pemanis bibir. Banyak yang melihat, sesungguhnya perpu itu dibuat hanya untuk menyelamatkan reputasi Yudhoyono di Bali Democracy Forum.
Di berbagai masalah kemanusiaan, penanganan Yudhoyono juga belum tuntas. Dalam soal tenaga kerja Indonesia, misalnya, Migrant Care sering mengingatkan bagaimana pemerintah lalai memberikan bantuan kepada para pekerja kita di luar negeri yang menjalani hukuman. Juga masalah pluralisme. Semakin banyak kelompok minoritas merasa tak aman. Bukan hanya Kontras yang risau akan hal itu. Tokoh seperti Frans Magnis-Suseno, misalnya, pernah mengimbau Appeal of Conscience Foundation, yang memberikan award kepada Yudhoyono pada 2013 atas prestasinya dalam bidang toleransi beragama, mencabut penghargaan itu.
Sesungguhnya Bali Democracy Forum merupakan hajatan yang memiliki niat baik. Dalam forum itu, delegasi negara Asia-Pasifik sama-sama belajar dan bertukar pengalaman. Tapi forum itu terkesan semakin ke arah pelat merah, bukan menjadi ekspresi bersama semua pegiat hak asasi manusia. Pada mulanya, di setiap penyelenggaraannya, forum ini direncanakan selalu didampingi acara Bali Civil Society. Namun pelaksanaannya baru akan terjadi tahun ini.
Bila diamati, Yudhoyono memang gemar membuat forum internasional yang penuh pencitraan. Tahun lalu ia juga menggelar World Culture Forum di Bali. Ia ingin Indonesia memiliki semacam World Economic Forum (seperti di Davos, Swiss) tapi dalam bidang kebudayaan. Acara ini tak sukses benar: konsepnya tak jelas.
Bali Democracy Forum memang pernah dihadiri Perdana Menteri Turki Erdogan, Mahmud Ahmadinejad, Yingluck Shinawatra, dan sebagainya. Dan kini Presiden Filipina Benigno Simeon Aquino, Sultan Brunei Darussalam, dan Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao yang datang. Seperti diperkirakan, dalam pidatonya Yudhoyono memuji-muji dirinya sendiri. Forum ini menjadi anakronisme karena semua orang tahu Yudhoyono di akhir pemerintahannya ikut berperan melemahkan demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo