Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGKAH tegas polisi terhadap Front Pembela Islam semoga bukan hanya reaksi sesaat. Sudah benar bila polisi menangkap beberapa pentolan FPI dan menjadikan 21 anggotanya sebagai tersangka. Kerusuhan yang mereka kobarkan pada saat demo menolak pelantikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sebagai pelaksana tugas gubernur, dua pekan lalu, memang sudah keterlaluan. Tapi upaya polisi ini, kalaupun benar-benar serius, bakal percuma bila pemerintah tetap saja lembek.
Semestinya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bertindak tegas, mengajukan pembubaran organisasi yang terlalu sering berbuat onar ini ke Mahkamah Agung. Peluang untuk itu terbuka dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tanpa niat sungguh-sungguh mengajukan pembubaran, kebrutalan akan terus terjadi. Pemerintahan Presiden Joko Widodo jangan mengulangi kesalahan Presiden Yudhoyono, yang terlalu lembek menangani FPI.
Polisi pun seharusnya tidak bersikap mendua. Mereka tahu FPI Jakarta, organisator aksi anarkistis itu, tak terdaftar sebagai badan hukum di pemerintah daerah. Hanya induk mereka, FPI pusat, yang sudah memiliki status itu. Jika FPI Jakarta tak terdaftar, seharusnya polisi tidak mengizinkan mereka berdemo. Membiarkan mereka beraksi sama artinya membuka peluang terjadinya kekerasan.
Membubarkan FPI sebagai organisasi kemasyarakatan memang tak mudah. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 itu memberi syarat sangat ketat. Ini konsekuensi logis dari undang-undang lama—Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985—yang digantikannya. Undang-undang lama warisan Orde Baru itu memang dirancang agar pemerintah mudah memberangus organisasi. Dalam undang-undang baru, pembubaran harus melalui syarat berlapis. Misalnya didahului peringatan tertulis. Pembubaran pun dibedakan bagi organisasi yang terdaftar dan tidak, juga bagi organisasi di tingkat pusat atau daerah.
Dengan syarat ketat itu pun, tetap kuat alasan mengajukan pembubaran, baik ke Mahkamah Agung maupun pengadilan. Dasarnya adalah pelanggaran nyata yang berulang kali dilakukan FPI. Pasal 59 UU Nomor 17 Tahun 2013 menyebutkan, sebuah organisasi bisa dibubarkan bila memusuhi suku, agama, ras, dan golongan tertentu. Mereka juga dilarang melakukan kekerasan dan mengganggu ketertiban umum.
Dengan dasar itu, tak ada alasan bahwa FPI Jakarta sulit ditindak karena tak berbadan hukum. Penegakan hukum tak boleh dihalangi hanya karena organisasi berlindung dari ketiadaan status hukumnya. Sungguh kacau negeri ini bila itu terjadi. Akan banyak organisasi sengaja tak berbadan hukum agar sulit ditindak bila melakukan kekerasan.
Kalaupun alasan itu digunakan, pemerintah bisa melakukan cara lain, yaitu memohon pembubaran FPI pusat yang memang sudah berbadan hukum ke Mahkamah Agung. Alasannya, FPI pusat tak bisa melepaskan tanggung jawab atas tindakan anak organisasinya. Apalagi aksi serupa sudah sangat sering terjadi di berbagai daerah. Sudah nyata pula terbukti, FPI pusat tak pernah mengecam apalagi melarang cabang-cabangnya di daerah melakukan kekerasan. Sikap diam bahkan mendukung aksi kekerasan di daerah ini justru membawa pada kesimpulan bahwa FPI adalah kelompok yang melakukan kekerasan secara terorganisasi.
Sekarang mari menunggu Joko Widodo—setelah resmi menjadi presiden—mewujudkan janjinya "menggebuk" organisasi anarkistis. Dampak sikap anarkistis FPI itu bukan hanya munculnya korban. Lebih buruk adalah tumbuhnya trauma kolektif. Trauma yang lahir dari rasa tak berdaya, rasa tak dilindungi oleh negara ketika berbeda keyakinan, agama, dan ras, berisiko diteror, bahkan kehilangan nyawa. Indonesia harus bebas dari semua trauma itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo