Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANPA kepedulian masyarakat antikorupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi bisa-bisa segera "mati suri". Dua tekanan berat menghadang komisi antirasuah itu. Dewan Perwakilan Rakyat, melalui pengajuan revisi Undang-Undang KPK, mencoba menghapus fungsi penuntutan Komisi. DPR juga berkeras mengharuskan Komisi melakukan penyadapan hanya atas izin pengadilan.
Ancaman kepolisian tak kurang berbahaya. Dengan dalih tour of duty dan tour of area, kepolisian menolak memperpanjang masa tugas 20 penyidik asal kesatuan itu. Tak terbayangkan apa jadinya Komisi Pemberantasan Korupsi jika hanya punya beberapa gelintir tenaga penyidik.
Tanpa tindakan pencegahan, misalnya segera merekrut penyidik sendiri, keadaan ini jelas menggerogoti kinerja Komisi. Kecepatan Komisi mengusut korupsi jelas terganggu. Kalau setiap penyidik menangani tiga sampai lima perkara bernilai puluhan miliar rupiah, betapa besar uang negara yang menguap bila tak ada penyidik yang bekerja.
Tak ada asap bila tak ada api. Polisi bilang penarikan penyidik yang sebagian baru bekerja setahun di KPK ini urusan pembinaan dan peningkatan karier penyidik. Tapi sulit bagi kita untuk tak mengaitkan hal ini dengan perebutan kasus simulator kemudi antara KPK dan Polri. Kesan yang gampang terbaca, polisi terusik tindakan KPK dalam kasus tersebut.
Lagi pula, kegerahan Polri bukan terjadi kali ini saja. Ketika KPK bertikai dengan kepolisian dalam kasus yang kemudian disebut "Cicak vs Buaya", kepolisian juga menarik penyidiknya secara tiba-tiba. Sikap petinggi kepolisian dalam dua kasus itu pada dasarnya sama: melemahkan KPK. Sangatlah tepat bila Komisi menggunakan pijakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK untuk menangkal upaya pelemahan ini.
Ihwal penyidik, misalnya, pasal 39 ayat 3 secara jelas menyebutkan penyidik adalah bagian dari pegawai KPK. Mereka diberhentikan sementara dari kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai KPK—pegawai di sini bisa berarti pegawai tetap, pegawai negeri yang dipekerjakan, dan pegawai tidak tetap. Pasal 45 ayat 1 mempertegas bahwa KPK-lah yang mengangkat dan memberhentikan penyidik. Artinya, ketika Polri menugasi personelnya, personel tersebut otomatis berada di bawah kewenangan KPK.
KPK juga yang menentukan masa tugas penyidik seperti diatur Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK. Di situ disebutkan pegawai berhenti karena pensiun dan sebab lain—misalnya wafat, melanggar kode etik, atas pemintaan sendiri, atau tuntutan organisasi. Masa tugas pegawai KPK paling lama empat tahun dengan sekali perpanjangan. Jadi bisa dipahami bila KPK meminta Kepala Polri mengurungkan penarikan penyidik yang sebagian besar baru mengabdi selama setahun itu.
Langkah lain yang bisa ditempuh KPK adalah merekrut penyidik independen. Undang-Undang KPK dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tak melarang langkah ini. Pasal 7 peraturan itu memberi ruang bagi penyidik untuk beralih menjadi pegawai tetap KPK, termasuk penyidik dari kepolisian.
Mengingat sejumlah penyidik dari kepolisian telah menunjukkan kualitas dan integritas mereka, KPK selayaknya memanfaatkan peluang ini. Kepolisian pun seyogianya lapang dada bila anggotanya memilih bergabung dengan KPK. Pilihan itu tak elok disikapi dengan ancaman pemberhentian tidak hormat dari korps. Jika itu terjadi, jelas siapa sesungguhnya yang berbasa-basi memberantas korupsi di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo