Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pimpinan DPR melontarkan gagasan tentang darurat sipil di Papua.
Ini sebagai respons atas penyanderaan pilot pesawat oleh kelompok bersenjata di sana.
Status darurat mengancam demokrasi dan membatasi gerak masyarakat.
Setelah peristiwa penyanderaan penumpang dan pilot Susi Air oleh kelompok kriminal bersenjata di Papua, Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan, Lodewijk Paulus, menyebut situasi Papua sedang dalam status darurat sipil. Pernyataan itu dinilai berbahaya.
Amiruddin al-Rahab
Anggota Komnas HAM Periode 2017-2022
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pimpinan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat tiba-tiba melontarkan ide pemberlakuan keadaan darurat sipil di Papua. Gagasan itu ia lontarkan sebagai respons atas terjadinya pembakaran pesawat dan penyanderaan pilotnya oleh kelompok bersenjata di Papua Pegunungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ide-ide aneh mengenai Papua memang kerap terlontar dari DPR. Namun gagasan pemberlakuan keadaan darurat sipil di Papua itu menunjukkan jalan pikiran yang sungsang.
Keadaan Darurat
Dalam tata bernegara, sesuai dengan undang-undang, pemberlakuan keadaan darurat di suatu wilayah atau keseluruhan negara adalah domain eksekutif (presiden). Pemberlakuan keadaan darurat bisa terjadi jika presiden menilai jalannya pemerintahan atau kenegaraan berada dalam situasi genting dan berbahaya.
Dengan kata lain, keadaan darurat hanya diberlakukan ketika perangkat pemerintahan suatu provinsi, kabupaten, atau nasional tidak mampu lagi menjalankan fungsinya. Jika pemerintah lumpuh seperti itu berlarut-larut, ini bisa mengancam fungsi dan eksistensi pemerintah ataupun negara. Untuk mengatasinya, perlu diambil langkah ekstra dalam segala dimensinya demi menjaga keselamatan warga negara, eksistensi negara, sekaligus menjalankan fungsi kepemerintahan dalam melindungi warga negara.
Pemberlakuan keadaan darurat, baik sipil, militer, maupun perang, pada hakikatnya memberikan kekuasaan luar biasa kepada penguasa (presiden). Kekuasaan yang luar biasa itu akan dipakai untuk mengatasi masalah apa pun dengan cara apa pun yang mungkin.
Singkatnya, keadaan darurat bertujuan membatasi ruang gerak masyarakat, mengurangi atau membatasi hak-hak warga negara, sekaligus mengintervensi fungsi-fungsi lembaga-lembaga negara lain. Bahkan, penguasa darurat sipil atau militer bisa menerabas koridor demokrasi serta bisa membubarkan dan membekukan berjalannya institusi pendukung demokrasi, seperti membubarkan organisasi masyarakat ataupun partai politik, dan melarang media massa.
Karena begitu besarnya kekuasaan yang akan digenggam oleh presiden atau penguasa keadaan darurat jika keadaan darurat diberlakukan, semestinya DPR berhati-hati untuk melontarkannya. Bahkan, dalam sistem demokrasi yang ada saat ini, DPR seharusnya menabukan ucapan atau meminta pemberlakuan keadaan darurat, baik sipil maupun militer, di suatu wilayah.
Seyogianya anggota DPR jangan melontarkan wacana pemberlakuan keadaan darurat sipil di Papua. Saat ini, yang diperlukan dari DPR adalah memanggil Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Menteri Dalam Negeri, beserta Menteri Pertahanan dan enam gubernur Papua. Tujuannya adalah meminta pertanggungjawaban sekaligus mengevaluasi mengapa kekerasan terus terjadi di sana, mengapa kelompok-kelompok bersenjata tidak pernah bisa diatasi selama berpuluh tahun. Lebih jauh lagi adalah mengevaluasi sistem keamanan dan pertahanan di Papua.
Jika dari evaluasi itu, unsur-unsur pemerintah meminta pemberlakuan keadaan darurat, maka DPR, dalam rangka kewenangan pengawasan dan anggaran, harus menawarnya dengan teliti dan mengkaji secara mendalam dan cepat. DPR perlu mempertanyakan: berapa lama keadaan darurat itu akan dilakukan? Seberapa luas wilayah cakupannya? Berapa jumlah dan jenis personel militer yang akan diterjunkan? Berapa besar anggaran yang diperlukan? Tentu DPR sekaligus mempertanyakan, siapa saja obyek yang hendak disasar oleh keadaan darurat itu.
Tanpa bersikap seperti itu atau dengan gegabah DPR meminta pemberlakuan keadaan darurat di suatu wilayah, mereka sama saja dengan menawarkan “domba segar ke mulut harimau”. Jika itu terjadi, fungsi pengawasan DPR akan lumpuh.
Sejarah kita pernah mencatat bahwa di masa lalu ada beberapa daerah yang diberlakukan keadaan darurat yang berkepanjangan. Di masa Orde Baru, keadaan darurat di suatu wilayah disebut daerah operasi militer (DOM). Aceh dan Papua adalah contoh wilayahnya. DPR saat itu hampir-hampir tidak bisa berbuat apa-apa atas pemberlakuan DOM hampir selama 30 tahun tersebut.
Barulah pada masa reformasi, kondisi darurat di Aceh dan Papua bisa dihentikan. Bahkan, pada awal reformasi, di Aceh masih sempat diberlakukan keadaan darurat sipil dan militer. Kini Aceh dan Papua lepas dari daerah darurat menjadi daerah dengan status otonomi khusus.
Papua Tertib Sipil
Jika kita tilik lebih dalam kondisi Papua kini, Papua sedang berbenah memasuki fase demokrasi dan otonomi khusus tahap 20 tahunan kedua. Hal itu tampak dengan hadirnya empat provinsi otonomi khusus baru. Tentu itu akan diikuti oleh seperangkat institusi-institusi lain dalam rangka melayani masyarakat di Papua dengan lebih baik. Itu pun didasari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, yang baru saja diperbarui oleh DPR sendiri.
Terjadinya pembakaran pesawat dan penyanderaan pilotnya oleh kelompok bersenjata di Paro, Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, tentu harus kita kutuk dan kecam bersama. Penyanderaan itu adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma hak-hak asasi manusia sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum.
Karena itu, untuk menegakkan hukum, saat ini sudah ada satuan-satuan aparat penegak hukum yang beroperasi di Papua. DPR semestinya cukup mendukung itu saja secara maksimal untuk menindak setiap pelaku tindak pidana atau perbuatan melawan hukum lainnya.
Tapi janganlah rangkaian peristiwa perbuatan melanggar hukum itu membuat para anggota DPR menjadi kehilangan akal sehat dalam menilai keadaan dan situasi di seluruh tanah Papua. Artinya, situasi Papua sampai hari ini masih dalam keadaan tertib sipil, sama dengan situasi di provinsi lain.
Papua lebih membutuhkan pikiran-pikiran brilian dan dukungan penuh dari anggota DPR untuk bisa menjalankan segenap pelayanan kepada warganya. DPR lebih baik konsisten saja mengawal Undang-Undang Otonomi Khusus Papua agar seluruh amanahnya bisa dijalankan.
Ada baiknya para anggota DPR yang terhormat bersama-sama meminta pemerintah mempercepat berfungsinya provinsi-provinsi baru beserta perangkat pemerintahannya. DPR juga perlu mendorong segera terbentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di provinsi-provinsi baru itu.
Sekali lagi, ide mengenai permintaan pemberlakuan keadaan darurat semestinya menjadi domain presiden saja, karena itu berkaitan dengan penambahan kekuasaan ke genggaman presiden. DPR bersiap saja untuk ditanya dan dimintai persetujuan dan mempersiapkan diri untuk menguji permintaan itu jika tiba. Yang justru sangat diperlukan sekarang adalah agar para anggota DPR turun ke daerah-daerah pedalaman Papua untuk bisa melihat dan merasakan langsung keadaan di sana.
Jadi, janganlah DPR menyodor-nyodorkan kekuasaan yang berlebih kepada Presiden Jokowi, karena Presiden tidak memiliki niat dan kehendak untuk memberlakukan keadaan darurat di Papua. Ini sinyal yang terang. Nah, untuk apa DPR menarik-narik Presiden memberlakukan keadaan darurat sipil?
Sungguh akan sangat lucu jadinya jika dalam situasi demokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini, ada wilayah yang diberlakukan kondisi darurat, baik sipil maupun militer. Sebab, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya, yang mengatur pelaksanaan darurat sipil atau militer, adalah produk hukum dan politik di era yang memang tidak normal. Kok di era normal kini masih mau memakai produk era tidak normal itu?
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan Anda ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo