Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Debat capres ketiga memunculkan kembali harapan bagi industri pertahanan dalam negeri.
Namun BUMN pertahanan kini masih terjerat krisis manajemen dan keuangan.
Perlu perombakan Defend ID dan mekanisme pengadaan alutsista TNI.
Totok Siswantara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengkaji Transformasi Teknologi dan Infrastruktur, Anggota Dewan Pakar IABIE
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Debat calon presiden yang ketiga pada Ahad, 7 Januari lalu, memunculkan harapan bahwa industri pertahanan dalam negeri akan berperan dalam memenuhi kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun harapan para capres dalam debat tersebut tampaknya tidak bisa direalisasi hingga setidaknya lima tahun mendatang. Peran industri pertahanan dalam negeri, yang termasuk badan usaha milik negara (BUMN) yang dikelompokkan dalam holding Defend ID, hingga kini masih terjerat krisis manajemen dan keuangan.
Salah urus mewarnai perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam holding Defend ID. Contohnya, masyarakat dikejutkan oleh berita pada akhir 2023 bahwa pembayaran gaji karyawan PT Dirgantara Indonesia, BUMN industri pesawat terbang, tertunda dan terpaksa dicicil. Kesulitan menggaji karyawan dan membayar kewajiban lainnya ini merupakan pertanda bahwa industri ini sedang mengalami krisis berkepanjangan.
Dalam debat capres, topik pembelian pesawat tempur bekas juga memicu perdebatan sengit. Ada capres yang berpendapat bahwa pengadaan pesawat bisa diserahkan kepada PT Dirgantara Indonesia. Apakah industri pesawat di Kota Bandung itu mampu memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan? Melihat kondisi krisis manajemen dan keuangan yang terus mendera BUMN itu, bisa dibilang tidak mungkin mereka bisa menjadi tulang punggung produsen alutsista. Paling banter, industri warisan presiden B.J. Habibie itu hanya menjadi pendukung kecil-kecilan perusahaan pesawat raksasa dunia.
Selain itu, PT Dirgantara Indonesia tidak mampu lagi memperoleh offset (imbal beli) produksi komponen ketika negara membeli alutsista. Ini berbeda dengan kondisi pada era Habibie dulu, yang mampu memperoleh offset produksi beberapa komponen pesawat tempur jenis F-16. Kini hal itu tidak terjadi lagi. Bahkan kerja sama pembuatan pesawat tempur dengan Korea Selatan ternyata juga penuh masalah alias gagal di tengah jalan.
BUMN yang tergabung dalam Defend ID kini juga mengajukan penyertaan modal negara (PMN) untuk penguatan modal investasi guna meningkatkan kapasitas produksi dan penguasaan teknologi. Hal ini tentu saja akan memberatkan anggaran negara.
Ada empat usulan yang dibiayai PMN yang diajukan anggota Defend ID. Pertama, pembangunan fasilitas galangan kapal baru dan peningkatan kapasitas oleh PT PAL Indonesia (Persero) senilai Rp 890 miliar. Kedua, pembangunan fasilitas radar nasional oleh PT LEN Industri (Persero) sebesar Rp 347 miliar. Ketiga, peningkatan kapasitas produksi jenis pesawat N 219 dan CN 235 serta revitalisasi fasilitas pendukung produksi sebesar Rp 900 miliar oleh PT Dirgantara Indonesia (Persero). Keempat, peningkatan kapasitas produksi amunisi kaliber kecil, sedang, dan besar; serta modernisasi lini produksi senjata, tank medium, dan kendaraan tempur senilai Rp 843 miliar oleh PT Pindad.
Masalah pertahanan maritim saat ini sangat mendesak karena ada potensi konflik regional hingga internasional. PT PAL dituntut mampu melakukan proses produksi yang lebih efisien dan bisa meningkatkan kapasitas produksi serta durasi penyerahan produk menjadi lebih cepat. Pengucuran PMN dituntut transparan, akuntabel, dan bebas korupsi, mengingat selama ini kinerja PT PAL belum menggembirakan. Apalagi industri galangan kapal adalah industri yang sarat risiko dan memiliki karakteristik khusus, juga lingkungan bisnis yang kompleks. Secara umum, durasi pembuatan kapal di galangan nasional masih lambat sehingga sulit bersaing. Risiko ini bisa diatasi jika industri kapal mampu menguasai empat faktor internal, yakni manajemen galangan kapal, teknologi proses, kinerja produk (mutu dan waktu pengiriman), serta penawaran harga.
Dari sisi eksternal, terdapat empat faktor strategis, yaitu interim supply (mutu dan spesifikasi material), order pembangunan kapal, hambatan global, serta kebijakan di sektor maritim. Faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh pada keunggulan kompetitif dan keberlanjutan industri galangan kapal nasional. Adapun keterlambatan penyelesaian pembangunan kapal dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kondisi dan syarat-syarat kontrak; kesiapan desain dasar dan gambar dasar (key plan drawing) kapal; kejelasan informasi dan spesifikasi kapal; pengadaan material dan peralatan kapal; ketersediaan tenaga kerja dan fasilitas; serta proses produksi dan dukungan pembiayaan dari sektor perbankan.
Karena adanya persyaratan keselamatan kapal yang harus dipenuhi, setiap tahap pembangunan kapal, dari desain sampai uji coba, harus dilakukan sesuai dengan standard class yang ditentukan. Untuk memastikan standard class tersebut dipenuhi, dalam setiap tahapan proses pembangunan kapal selalu dilakukan pemeriksaan dan disetujui oleh class surveyor.
Program modernisasi kapal selam Indonesia serta kerja sama alih teknologi dan produksi bersama Korea Selatan hasilnya belum optimal sehingga hingga kini belum bisa menjadi solusi cepat untuk mengganti kapal selam yang sudah tua. Doktrin pertahanan negara maritim menempatkan kapal selam sebagai alutsista unggulan. Fungsi utama kapal selam adalah intai taktis strategis dan sebagai pemukul awal. Kapal selam juga dapat melakukan blokade laut yang sangat efektif.
Alih teknologi kapal selam selama ini dilakukan oleh PT PAL. BUMN ini ditugaskan pemerintah untuk menjadi lead integrator dalam program alih teknologi dan pembangunan kapal selam yang bekerja sama dengan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) Korea Selatan. Namun kerja sama pembuatan kapal selam ini banyak dipertanyakan oleh publik. Kerja sama yang menyedot uang negara dalam jumlah yang cukup besar itu hasilnya belum optimal dan kurang efektif memenuhi kebutuhan pertahanan bawah permukaan laut.
Bahkan produk pertama kapal hasil kerja sama kedua negara itu boleh dikatakan belum mampu memenuhi spesifikasi kapal selam yang dibutuhkan untuk menjaga perairan Nusantara. Pengiriman ratusan insinyur ke Korea Selatan untuk belajar membangun kapal selam juga kurang efektif karena sebagian besar dari mereka kini tidak lagi bekerja di ranah kapal selam, padahal mereka adalah bagian dari kontrak pembelian kapal selam antara pemerintah RI dan Korea Selatan.
Presiden terpilih mendatang harus merombak Defend ID. Sebagian besar kapasitas holding tersebut sejak dulu sudah berperan sebagai pendukung industri pertahanan. Sayangnya, banyak proyek pengadaan yang diberikan Kementerian Pertahanan yang durasi penyerahannya molor alias tidak tepat waktu, padahal kebutuhan untuk kegiatan operasional pertahanan sudah sangat mendesak. Dengan kondisi dunia yang sangat dinamis dan terjadinya pergolakan atau peperangan serta ketegangan di beberapa kawasan, kinerja BUMN di bawah Defend ID harus segera ditingkatkan bila memang ingin menjadi ujung tombak industri pertahanan negeri ini.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo