ono Anwar Makarim
Mantan pemimpin redaksi harian Kami dan kini Ketua Dewan Pelaksana Yayasan Aksara
Schemering, wier zachte handen strelen
Allen die alleengelaten zijn,
En in duister met doorwonde harten
`t Luide lachen van het leven tarten. . .
A. Roland Holst
Poncke" Princen masuk dalam kehidupan saya pada suatu hari yang mendung tahun 1967. Naik sekuter Vespa, harian Kami hari itu diselipkan dalam jaketnya. Ia masuk ke kamar saya tanpa mengetuk pintu, langsung membaca keras-keras editorial yang saya tulis untuk hari itu. Di tengah teks tajuk ia berhenti dan menangis, terharu atas pesan yang saya tuliskan semalam sebelumnya. Lengan bajunya digulung tinggi-tinggi. Tampaknya ia ingin menunjukkan otot-ototnya, seperti jagoan. Di kemudian hari saya mengetahui bahwa ia memang saban hari melatih diri angkat besi. Sebagian untuk tampak berotot, sebagian lagi agar siap mengangkat beban yang berat-berat. Mungkin beban kesendiriannya.
Sejak itu ia sering datang ke Kramat VIII nomor 2, kantor redaksi harian Kami. Sesekali ia melakukan resitasi sajak-sajak yang diingatnya dari sekolah Gymnasium di Negeri Belanda. Saat-saat itu tiba giliran saya untuk pura-pura melihat keluar jendela, malu ketahuan "mbrebes mili". Dalam hati saya berpikir: tidak banyak lagi orang yang masih bisa khusyuk menikmati puisi Belanda tahun 1880-an. Ia hafal bait-bait sajak Van Eyck, Gorter, Van Deyssel, Perk, dan Kloos.
Desersi
Bagi saya, dengan segala cacat dan bocelnya, Princen adalah suatu monumen. Pada waktu-waktu tertentu kita ragu akan jalur sepi yang kita jalani. Apalagi kalau kebanyakan teman seperjuangan menempuh jalan lain yang ramai. Pada saat-saat seperti itulah saya membuka hati dan memandang monumen H.J.C. Princen. Poncke Princen di sepanjang hidupnya berjalan sendiri di jalan yang sempit dan sepi. Tidak ada orang yang lebih kesepian seperti dia.
Terbebas dari kamp tahanan Nazi, ia direkrut jadi tentara walaupun enggan. Tapi, Poncke Princen adalah orang yang berpendidikan kukuh sekali. Dari Gymnasium ia masuk Seminari. Barangkali ia sudah tahu sebelum diberangkatkan ke Indonesia bahwa pemberangkatan serdadu Belanda ke Indonesia untuk berperang merupakan pelanggaran atas undang-undang dasar Kerajaan Belanda. Kekecewaannya bertambah ketika sadar bahwa tentara Belanda bukan datang untuk membebaskan, melainkan untuk menjajah. Dalam seketika serdadu H.J.C. Princen, nomor pokok 251121085, Kompi Staf Brigade Infanteri 2, Grup Purwakarta, menjadi desertir. Ia menyeberang ke pihak Republik dan bergabung dengan "onze jongens" melawan kesatuannya sendiri.
Untuk itu dia dihukum seumur hidup oleh tanah tumpah darahnya. Princen tidak boleh menginjakkan kaki di Nederland. Ketika diberi visa oleh pemerintah Belanda atas pertimbangan kemanusiaan, organisasi veteran Belanda protes keras. Mereka mengartikan visa sebagai rehabilitasi seorang desertir. Saya mengartikan protes mereka sebagai sikap menolak diingatkan bahwa sejarah telah membenarkan Princen dan menyalahkan mereka. Sebenarnya, yang dihukum seumur hidup adalah militer yang melancarkan perang penjajahan terhadap aspirasi sah suatu bangsa yang ingin merdeka. Hakimnya adalah hati nurani mereka sendiri. Princen "dinyatakan" bebas oleh hati nuraninya.
Pengorbanan "Poncke" Princen untuk tujuan idealismenya sungguh luar biasa. Ia diusir dari tanah tumpah darahnya sendiri dan dianggap pengkhianat. Di Indonesia, riwayatnya diliputi oleh peristiwa penangkapan, penahanan, pembebasan, dan penahanan lagi. Ditangkap dan dilepaskan kembali tahun 1948, ditahan tahun 1962, dan dilepas lagi tahun 1966; ditangkap lagi tahun 1974, dan bebas lagi tahun 1976, hanya untuk ditangkap lagi tahun 1978. Penderitaannya tidak terbatas pada kehidupan sebagai pejuang, tapi lebih berat lagi pada kehidupan pribadinya. Ia terpisah dari istri dan anak-anaknya. Diusir dari negerinya, dipenjara di negeri barunya, dan dipisah dari keluarganya. Siapa yang lebih kesepian dari Poncke Princen?
"Poncke"
Itu belum cukup. Nama "Poncke" konon diperolehnya dari roman yang digemarinya tentang seorang pastur jenaka di Belgia Utara yang bernama Pastoor Poncke. Pada tahun 1994 perkumpulan penggemar roman tahun 1940-an tersebut mengadakan rapat dan memutuskan untuk melarang H.J.C. Princen menggunakan nama "Poncke".
Siapalah yang peduli. Ia toh sudah lama terbiasa tak punya apa-apa. Semua sudah diambil darinya, termasuk kesehatannya. Saya masih ingat ketika ia dipanggil untuk menaiki panggung guna menerima anugerah Yap Thiam Hien. Yang bergerak menuju panggung, tanpa tongkat, tanpa bantuan pengantarnya, adalah sesosok yang sudah rongsok digempur stroke berkali-kali. Pada saat itu Poncke terkesan pada saya seperti kapal perang yang babak-belur, compang-camping pulang dari berperang, masuk ke pelabuhan tanpa tepuk dada, tanpa sorak-sorai. Sekarang kapal itu masuk dok untuk selama-lamanya. Rohnya kini bebas keluar-masuk Den Haag, Heemstede, Amersfoort, Enschede, Haarlem, dan Sukabumi. Bebas juga dari protes kerdil para veteran perang kolonial, dari Drs. Kamsteeg yang melarangnya menggunakan nama "Poncke". Yang tersisa hanya semangatnya. Sang desertir sudah pulang ke kesatuannya.
Jakarta, 23 Februari 2002
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini