Muhammad Chatib Basri
Staf pengajar FEUI dan Wakil Kepala LPEM-FEUI Bidang Penelitian
I place economy among the first and important virtues, and public debt as the greatest danger." Kalimat itu diucapkan oleh Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat. Saya tak tahu seberapa benar pernyataan itu pada era ini, sebuah zaman ketika hampir semua negara?yang maju sekalipun?berutang. Soalnya: bukan berbahaya atau tidaknya utang, tetapi apakah ia dapat mengganggu kesinambungan perekonomian, khususnya fiskal. Sedihnya, inilah satu masalah besar yang dihadapi negeri ini.
Dalam jangka pendek, selama defisit dalam anggaran dapat diatasi, persoalan fiskal memang terkesan aman. Namun soal kita tak semudah itu. Memang betul dalam jangka pendek ada soal pembayaran utang yang harus dilakukan pemerintah, seperti pembayaran utang untuk April 2002 sebesar hampir US$ 11 miliar. Namun untuk soal ini kita masih punya solusi debt-rescheduling. Itu sebabnya, Paris Club III menjadi amat krusial dan harus dilakukan dalam triwulan pertama tahun ini. Dari sisi ini, saya kira debt-rescheduling dalam Paris Club III akan berhasil, sehingga tekanan dalam jangka pendek sedikit bisa diatasi.
Lalu apakah dengan begitu Indonesia bebas dari persoalan utang? Di sini soal kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) menjadi penting. Beban utang yang berat jelas akan membuat ruang gerak fiskal terbatas, bahkan lebih jauh: kesinambungannya akan terganggu. Untuk mengatasi itu, pertumbuhan ekonomi harus didorong agar ada peningkatan penerimaan dari pajak. Selain itu, penjualan aset dan privatisasi juga harus digenjot. Itu sebabnya, kita perlu melihat kesi-nambungan fiskal akibat beban utang yang ada.
Seorang ekonom yang bernama Salomon pernah mengajukan satu formula bahwa laju pertumbuhan rasio utang terhadap PDB akan melambat jika pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripada pertumbuhan tingkat bunga riil. Dengan menggunakan metode yang sedikit lebih rinci, Bank Dunia membuat skenario tentang utang Indonesia. Dalam skenario tersebut diasumsikan bahwa jika pertumbuhan ekonomi riil sebesar 4 persen dari 2003-2010, inflasi 5 persen, tingkat bunga domestik 13 persen, primary fiscal surplus 3 persen, dan rasio asset recovery terhadap PDB sebesar 6 persen dalam tiga tahun mendatang, maka diperkirakan rasio utang/PDB akan mencapai sekitar 50 persen pada tahun 2010.
Lalu bagaimana dengan target propenas yang menyatakan bahwa rasio utang/PDB akan turun menjadi 60 persen? Jelas target ini akan amat sulit tercapai pada tahun 2004. Dari skenario itu jelas terlihat, untuk membuat rasio utang/PDB yang lebih rendah, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, inflasi dan tingkat bunga domestik yang lebih rendah. Sebagai perbandingan, Bank Dunia misalnya menunjukkan bahwa jika pertumbuhan ekonomi bisa mencapai rata-rata 5 persen sepanjang 2003-2010 dan primary surplus bisa dipertahankan pada tingkat 4 persen dan bukan 3 persen, rasio utang/PDB bisa menurun menjadi 35 persen pada tahun 2010.
Artinya, jika pemerintah menginginkan rasio utang/PDB turun secara signifikan, yang harus dilakukan adalah memacu pertumbuhan ekonomi paling tidak menjadi 5 persen, menurunkan tingkat inflasi agar dapat menekan tingkat bunga domestik, meningkatkan penjualan aset, dan meningkatkan primary fiscal surplus. Artinya, penerimaan fiskal harus meningkat cukup tinggi dalam waktu ke depan. Penjualan aset juga harus dilakukan dengan cepat. Erat kaitannya dalam soal fiskal ini adalah soal restrukturisasi sistem perbankan. Bila sektor perbankan lemah dan dibutuhkan rekapitalisasi tahap kedua, ada potensi utang domestik akan mengalami peningkatan. Karena itu sistem perbankan harus diperkuat.
Persoalannya, bagaimana prospek yang ada. Proyeksi LPEM-FEUI menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2002 dan 2003 masih akan berada di bawah 5 persen. Sedangkan tingkat bunga?jika inflasi bisa diredam?baru akan mencapai rata-rata 14 persen pada tahun 2003, inflasi sendiri diperkirakan masih akan berkisar 11 persen pada 2002 dan masih di atas 5 persen sampai 2004.
Sementara itu, kita bisa melihat bagaimana penjualan aset merupakan masalah ekonomi politik yang amat rumit karena tidak adanya konsensus yang jelas dalam soal ini. Kita bisa melihat bagaimana resistensi terhadap privatisasi muncul di sana-sini?bahkan dari kalangan parlemen dan juga pejabat pemerintah. Kita punya daftar panjang soal ini: kasus Cemex dan divestasi BCA. Di sisi lain, restrukturisasi utang swasta tak kalah peliknya. Kemajuan yang ada amat lambat, bahkan di sana-sini terlihat kecenderungan bahwa ada semacam kerancuan dalam insentif. Debitor yang tak kooperatif seperti mendapat insentif, sebaliknya debitor yang kooperatif seperti di-berikan disinsentif. Dalam situasi seperti ini, tanpa adanya show case (contoh kasus) dalam bentuk legal action terhadap debitor yang tak kooperatif, jelas akan terjadi moral hazard. Semakin lemah pemerintah dalam menegakkan aturan hukum, semakin besar insentif bagi debitor nakal untuk tak mengembalikan utang. Ironis, karena di sini pemerintah seperti menyubsidi perilaku yang tidak kooperatif.
Saya menyadari kemungkinan adanya trade-off antara keadilan dan soal recovery rate pengembalian utang. Karena itu mungkin solusi yang harus diambil adalah solusi sub-optimal: recovery rate tetap diutamakan, namun show case harus diberikan untuk menghentikan moral hazard. Tanpa ini, penyelesaian utang swasta akan berjalan amat lambat. Dan IMF tampaknya juga mengkhawatirkan soal ini. Itu sebabnya, seperti dikutip Business Times, 22 Februari 2002, IMF mungkin akan menunda pencairan US$ 5 miliar jika tidak ada upaya yang tegas soal penyelesaian utang ini. Saya tak tahu apakah berita ini benar, yang jelas pemerintah memang perlu tegas. Tanpa pertumbuhan ekonomi, penyehatan perbankan, dan penyelesaian utang swasta, kesinambungan fiskal akan merupakan persoalan besar yang harus dihadapi. Dan bila kita tak hati-hati, saya khawatir ucapan Jefferson menjadi relevan di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini