Jeffrey D. Sach
Jeffrey D. Sach adalah guru besar ekonomi dan Direktur Pusat Pembangunan Internasional Universitas Harvard, Amerika Serikat
SERANGAN teroris di Amerika dan perang terhadap Taliban telah memicu perdebatan luas mengenai hubungan antara kebudayaan dan perkembangan ekonomi. Pertanyaan utamanya adalah apakah dunia Islam terisolasi dari pembangunan ekonomi karena kebudayaannya terjebak di alam zaman pertengahan. Apakah buruknya kinerja pembangunan ekonomi di Timur Tengah dan Asia Tengah diakibatkan oleh berlakunya budaya yang memusuhi pertumbuhan ekonomi?
Tudingan yang kerap dilontarkan adalah dunia Islam kehilangan peluang yang muncul saat masa pencerahan Eropa: yaitu saat negara dan agama dipisahkan, pemikiran ilmiah modern diterapkan, dan sikap budaya terhadap perempuan dimodernisasi. Sebagai akibatnya, menurut tudingan ini, dunia Islam tak dapat mengatasi kebutuhan modernisasi, baik dalam segi teknologi maupun kebudayaan, seperti memberi hak penuh kepada perempuan, yang merupakan prasyarat tercapainya sukses ekonomi di dunia modern.
Seperti terjadi pada semua upaya generalisasi yang kasar, elemen kebenaran dicampur aduk dengan gumpalan kebingungan. Yang benar adalah kenyataan bahwa perilaku budaya tertentu mendukung modernisasi ekonomi. Termasuk kecenderungan persamaan hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan serta peran mereka di masyarakat. Juga budaya yang memberi status sosial tinggi bagi kalangan terdidiknya, melakukan sekularisasi banyak sisi dari ke-hidupan modern, termasuk penghargaan terhadap kemajuan ilmu modern dan mobilitas sosial dalam pemilihan jenis keahlian. Yang keliru adalah anggapan bahwa sebagian kebudayaan bersifat statis dan anti pada perubahan, sedangkan sebagian lainnya secara unik bersikap modern.
Di semua pelosok dunia, kebudayaan harus beradaptasi dengan perubahan dalam organisasi ekonomi, teknologi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dua ratus tahun terakhir. Di Eropa Barat dan Amerika Serikat, misalnya, penerimaan budaya tentang ekualitas sosial dan ekonomi antara lelaki dan perempuan berlangsung dalam proses yang lama dan penuh perjuangan politik untuk mengubah norma-norma sosial. Laju perubahan sangat bervariasi, menyangkut wilayah ataupun kelompok-kelompok subbudaya yang ada.
Dunia Islam, yang menyangkut jarak 15 ribu kilometer, lusinan negara, serta lebih dari semiliar penganut, juga melingkupi keragaman budaya dengan variasi yang serupa. Negara-negara Islam di kawasan Mediterania (seperti Maroko, Tunisia, Mesir, dan Turki) baik secara budaya maupun politik sangat berbeda di-bandingkan dengan negara-negara Islam di Semenanjung Arab (seperti Arab Saudi, Yaman, dan Oman), yang berlainan pula dengan negara-negara Islam di Asia Tengah (seperti Afganistan, Pakistan, dan Tajikistan), atau di Asia Tenggara (Malaysia dan Indonesia), ataupun Sub-Sahara Afrika (seperti Mali dan Chad).
Simaklah sebuah contoh: banyaknya anak per perempuan dewasa, sebuah indikator masyarakat yang dikenal sebagai "tingkat kesuburan total". Dalam masyarakat yang tak mengizinkan perempuan bekerja dan menganggap tempatnya adalah di rumah untuk mengurus anak, jumlah anak per perempuan dewasanya sangat tinggi. Pertumbuhan ekonomi cenderung lambat. Jika rumah tangga yang miskin mempunyai banyak anak, pendidikan yang diberikan kepada anak-anak juga cenderung rendah.
Di beberapa bagian dunia Islam, terutama di Semenanjung Arab, tingkat kesuburan penduduk sangat tinggi. Seorang perempuan di Yaman secara rata-rata akan melahirkan lebih dari tujuh bayi selama hidupnya. Di Arab Saudi, angka rata-ratanya di atas enam. Di bagian lain dunia Islam, tingkat kesuburan jauh lebih rendah dan menurun terus pada dasawarsa belakangan ini, pertanda terjadinya pergeseran besar norma budaya. Di Tunisia, tingkat kesuburan rata-rata menurun dari 5,2 pada 1970-an menjadi 2,7 pada 1990-an. Di Indonesia, penurunan tingkat kesuburan yang serupa terjadi. Perempuan telah memasuki dunia kerja pada masyarakat ini dalam jumlah jauh lebih besar, yang sekaligus memberikan sumbangan besar kepada perekonomian serta perbaikan sosial status mereka.
Karena itu, dapatlah dicatat bahwa pada masyarakat Islam seperti Tunisia, Turki, Indonesia, dan Malaysia telah terjadi pertumbuhan ekonomi dan perubahan kebudayaan yang pesat pada generasi terakhir ini. Beberapa di antara negeri-negeri ini tercatat sebagai negara-negara yang ekonominya maju paling pesat di dasawarsa terakhir ini. Kebudayaan Islam bukanlah hambatan terhadap pertumbuhan dan juga bukan hal yang statis. Seperti yang terjadi di bagian dunia lainnya, kebudayaan di negara-negara ini telah menunjukkan ketangkasannya dan juga kapasitas untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi yang berubah.
Di Semenanjung Arab, perubahan budaya berjalan jauh lebih lambat, seperti juga kemajuan ekonominya. Keadaan saling menunjang tampaknya terjadi di sini. Faktor budaya mungkin telah menghambat laju pertumbuhan ekonomi, sementara kinerja eko-nomi yang payah (karena kebijakan ekonomi yang buruk dan ketergantungan tinggi pada minyak) mungkin memperlambat adaptasi budaya terhadap kebutuhan ekonomi modern. Di kawasan terisolasi seperti Afganistan dan Chad, koneksi yang lemah dengan ekonomi dunia telah menghambat terjadinya proses perubahan sosial.
Ketiga contoh di atas mengingatkan kita agar tidak hanyut ke arah tiga kecenderungan. Yang pertama adalah gampang memberi label kepada masyarakat yang kompleks dan beragam. Gagasan tentang keberadaan sebuah dunia Islam konservatif yang homogen adalah sama kelirunya seperti gagasan tentang sebuah masyarakat Barat modern yang homogen pula. Keragaman yang ada sangat tinggi, perilaku budayanya sangat bervariasi. Pelabelan yang digampangkan lebih mencerminkan prasangka ketimbang sebuah pengertian.
Kecenderungan kedua adalah mempercayai bahwa kebudayaan itu statis dan tak berubah. Kebudayaan di mana-mana selalu berubah dalam rangka menanggapi perkembangan teknologi, pertumbuhan ekonomi, dan, tentu saja, globalisasi.
Kecenderungan ketiga adalah keyakinan bahwa kebudayaan adalah kunci dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh banyak faktor, termasuk geografi, politik, hubungan internasional, dan kebudayaan. Perbedaan kebudayaan antarkelompok masyarakat terjadi lebih sebagai dampak keadaan pembangunan ekonominya ketimbang menjadi penyebabnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini