Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Disetujuinya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah bentuk paling benderang dari pengkhianatan "wakil rakyat" terhadap hak politik orang ramai. Persekongkolan partai-partai, terutama yang berafiliasi dengan Prabowo Subianto pada pemilihan presiden Juli lalu, telah menarik mundur jarum sejarah, mengembalikan daulat rakyat ke haribaan oligarki.
Kemenangan kubu Koalisi Merah Putih—pendukung pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah—pada voting di Senayan itu mengakhiri rezim pemilihan langsung yang dimulai sembilan tahun silam. Setelah RUU yang merupakan inisiatif pemerintah ini diundang-undangkan, para politikus partai akan menjadi penentu tunggal kepemimpinan di 34 provinsi, 410 kabupaten, plus 98 kota di seluruh Indonesia. Jumlah itu mungkin akan bertambah karena politikus juga terus membentuk daerah otonomi baru.
Keputusan legislatif itu mempertebal tembok yang memisahkan kepentingan partai dan masyarakat banyak. Sejumlah jajak pendapat menyimpulkan mayoritas rakyat masih menginginkan pemilihan langsung kepala daerah. Hasil pemilihan presiden sebelumnya telah menunjukkan perbedaan antara kepentingan partai dan rakyat banyak.
Koalisi Merah Putih, yang memiliki suara banyak—Partai Golkar, Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Bulan Bintang—gagal memenangkan Prabowo sebagai presiden. Joko Widodo, yang disokong koalisi lebih tipis—Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, Partai Hanura, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia—justru unggul.
Harus diakui, pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah masih jauh dari sempurna. Kritik terbesar adalah besarnya biaya politik. Setiap kandidat harus "membeli" pencalonan ke partai atau koalisi partai, menyogok pemilih menjelang pemungutan suara, hingga menyediakan dana pengacara jika muncul sengketa hasil pemilihan. Pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, menyimpulkan biaya tinggi itu sebagai biang korupsi.
Asumsi seperti itu gampang dipatahkan. Biaya tinggi justru muncul akibat kegagalan—atau keengganan—partai-partai menyediakan calon yang tangguh dan disukai masyarakat. Di sejumlah daerah, calon yang memiliki riwayat baik tak mengeluarkan banyak biaya buat memenangi pemilihan. Joko Widodo di Solo, Tri Rismaharini di Surabaya, dan Ridwan Kamil di Bandung adalah sebagian contoh. Bahkan Gamawan sendiri tak memerlukan biaya banyak ketika unggul dalam pemilihan Gubernur Sumatera Barat pada 2005.
Biaya tinggi bisa ditekan dengan berbagai perbaikan. Misalnya pelaksanaan pemilihan secara serentak, pembatasan biaya kampanye, juga penentuan calon yang memiliki riwayat baik. Mengembalikan pemilihan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tak otomatis menghilangkan biaya tinggi pencalonan. Suap dan politik uang justru akan makin merajalela karena cukup diberikan kepada beberapa ratus anggota DPRD agar sang kandidat terpilih. Pada pemilu langsung, politik uang kepada pemilih dapat diragukan efektivitasnya karena tak menjamin suap bisa membeli suara.
Menyerahkan pemilihan kepala daerah kembali ke tangan politikus tak hanya menarik jarum sejarah, tapi juga membahayakan demokrasi di Indonesia. Hampir semua partai kini dikuasai oligarki. Partai menjadi semacam kartel. Para pemilik modal mempengaruhi keputusan-keputusan penting partai, dan bisa dipastikan kelak termasuk penentuan calon kepala daerah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di ujung masa jabatannya memiliki andil besar dalam kemunduran demokrasi itu. Politik dua muka Ketua Umum Partai Demokrat ini membuat skenario koalisi pendukung Prabowo menguasai pemerintah daerah, sebagai aksi balas dendam atas kekalahan mereka pada pemilihan presiden, berjalan mulus. Ironis, karena sikap mendua Partai Demokrat itu dilakukan ketika Yudhoyono sedang berada di Amerika Serikat untuk berbicara tentang pentingnya partisipasi publik dalam pemerintahan yang terbuka (open government).
Kelalaian menjaga amanah reformasi ini patut pula ditudingkan kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Partai pendukung presiden terpilih Joko Widodo ini terbukti gagal membangun komunikasi politik dengan partai lain, terutama Partai Demokrat.
Tak ada jalan lain, publik—sebagai pihak yang paling dirugikan oleh aturan baru ini—perlu segera menyiapkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Memang, berbeda dengan pemilihan langsung presiden yang tertulis secara jelas, pemilihan kepala daerah tak diatur konstitusi secara tegas. Pasal 18 ayat 4 hanya menyebutkan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Namun salah satu argumentasi yang bisa dipakai para penggugat adalah lembaga legislatif, sesuai dengan konstitusi, tidak memiliki fungsi elektoral, tapi hanya punya fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Masa depan demokrasi kini di tangan orang ramai. Tidak seyogianya demokrasi diserahkan hanya kepada oligarki partai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo