Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANUN Jinayat (undang-undang pidana) yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Aceh berpotensi memiliki pasal-pasal yang tumpang-tindih dengan ketentuan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain itu, aturan berdasarkan syariat Islam ini akan diterapkan juga kepada mereka yang tidak beragama Islam. Pemerintah pusat dan Mahkamah Agung bisa membatalkan peraturan daerah yang menyalahi aturan yang lebih tinggi.
Penerapan syariat (hukum) Islam di Aceh salah satu hal penting yang dibicarakan ketika Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia melakukan perdamaian pada 2005. Namun hal ini tidak tertuang dalam nota kesepahaman kedua pihak yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia. Soal penerapan syariat ini baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Kita tentu dapat memahami jika Qanun Jinayat yang sedang dibuat ini mengatur hal-hal yang bersifat etika dan moral, seperti larangan berkhalwat (pria-wanita yang bukan mahram berduaan di tempat sepi), pemakaian busana muslim, atau larangan ikhtilath (bermesraan). Qanun Jinayat dengan demikian hanya menambah apa yang belum ada.
Masalahnya, dalam aturan itu, sejumlah hal yang telah ada dalam KUHP juga turut diatur. Misalnya perbuatan judi, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan konsumsi minuman keras. Tentu saja pemerintah Aceh berhak memperketat pelarangan hal-hal itu di sana. Namun menetapkan sendiri hukuman (mereka menyebutnya uqubat) atas pelaku perbuatan yang dianggap kriminal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia.
Hal ini ditambah dengan ketentuan bahwa aturan berdasarkan hukum Islam itu tidak hanya diterapkan pada pemeluk agama Islam. Hal ini tertuang dalam Pasal 4b dan 4c. Dalam kedua butir itu dijelaskan bahwa orang nonmuslim yang melakukan jarimah di Aceh bersama dengan orang Islam (huruf b) atau tidak (huruf c) tetap akan dikenai uqubat sesuai dengan qanun. Dan jelas di huruf c disebutkan bahwa penerapan syariat terhadap nonmuslim tetap dilakukan meski tindak kriminal itu telah diatur dalam KUHP.
Seharusnya, karena bertabrakan dengan KUHP, Qanun Jinayat yang tingkatnya sekelas dengan peraturan daerah—karena diproduksi DPRD dan disahkan kepala daerah—bisa dikalahkan. Pemerintah—dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri—dan Mahkamah Agung bisa membatalkan aturan tersebut demi kepastian hukum di Indonesia. Tentu pembatalan harus dilakukan dengan bijak agar tidak disalahpahami sebagai penentangan terhadap agama atau kesepakatan damai.
Jika memang ingin Aceh "bersih" dari perbuatan yang melanggar agama, mereka bisa mengetatkan penerapan pasal-pasal dalam KUHP. Kita sudah belajar banyak dari pengalaman selama ini bahwa pembuatan peraturan baru tidak serta-merta membuat masyarakat tidak melakukan tindakan yang dilarang itu. Pada saat yang sama, mereka bisa membuat qanun yang mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam KUHP. Dengan menjalankan keduanya secara bersamaan dan konsisten, tujuan akhir pun akan tercapai.
Selain bertabrakan dengan KUHP, aturan ini melanggar asas-asas penting dalam hidup bersama di sebuah negara. Penghormatan terhadap sistem peradilan bersama adalah hal penting dalam kehidupan bernegara. Hal itu bahkan tercantum dalam butir 1.4.3 Kesepakatan Helsinki. Di situ disebutkan bahwa sistem peradilan di Aceh harus berada dalam sistem peradilan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo