Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayidiman Suryohadiprojo *)
*) Letnan Jenderal (Purnawirawan)
BERSAMAAN dengan supremasi sipil, timbul keinginan di kalangan cendekiawan dan politisi agar kaum sipil mengontrol TNI. Sebenarnya yang dimaksudkan dengan kontrol sipil adalah kekuasaan politik atas TNI. Di negara dengan sistem demokrasi, politik memang hanya ada di tangan sipil. Karena TNI pembela Pancasila dan karena itu juga pendukung sistem demokrasi, secara logika TNI dapat menerima kontrol politik atau sipil. Artinya, TNI menjadi pelaksana politik pertahanan yang ditetapkan oleh pemimpin politik negara. Namun, dalam melaksanakan politik pertahanan itu, TNI sebagai unsur profesional tidak suka dicampuri oleh kaum politik karena percampuran itu cenderung mengakibatkan inefisiensi dan kerugian. Kontrol sipil itu akan berjalan mulus kalau antara pemimpin politik dan pemimpin TNI ada sikap saling menghargai dan mempercayai. Pemimpin politik percaya bahwa TNI akan melaksanakan politik pertahanan dengan usaha maksimal, sedangkan pemimpin TNI yakin bahwa pemimpin politik akan mengusahakan kondisi terbaik bagi TNI untuk melaksanakan tugasnya. Ini sebenarnya bukan barang baru karena antara tahun 1945 dan 1959 sudah dijalankan. Kalau hubungan antara pemimpin politik dan pemimpin TNI baik, seperti ketika Bung Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Menteri Pertahanan, TNI sepenuhnya senang dengan kontrol sipil itu. Kalaulah sekarang kontrol sipil kembali dilaksanakan, TNI akan gembira jika kaum politik memahami TNI serta berbagai aspek militer dan pertahanan pada umumnya. Dengan begitu, ada jaminan bahwa politik pertahanan yang dirumuskan akan sesuai dengan kondisi obyektif nasional dan internasional serta memberikan peluang kepada TNI untuk membangun kemampuan yang sepadan. Karena itu, keberhasilan kontrol sipil atas TNI banyak bergantung pada kaum sipil itu sendiri untuk makin mendalami dunia militer dan pertahanan pada umumnya yang meliputi banyak aspek. Masalahnya, kebanyakan sekarang pakar militer di kalangan sipil hanya menaruh minat pada aspek politik, bahkan lebih sempit, yaitu hubungan sipil-militer saja. Kaum sipil seharusnya bersedia memperluas dan memperdalam pandangannya tentang dunia militer dan keamanan internasional pada umumnya. Kaum sipil ini juga perlu sekali mempelajari manajemen militer, yang meliputi manajemen personel, materiil, dan keuangan. Sebab, dalam politik pertahanan, harus jelas bagaimana TNI menyusun diri untuk menciptakan kemampuan yang optimal; bagaimana melakukan perencanaan kekuatan (force planning) dan hubungannya dengan organisasi, personel, sistem senjata, dan peralatan; bagaimana sistem logistik dibangun untuk dapat melaksanakan strategi pertahanan yang ditetapkan dalam politik pertahanan; dan masih banyak persoalan yang bersangkutan dengan manajemen. Hal-hal itu erat hubungannya dengan masalah ekonomi pertahanan (the economics of defense) dan mengarah pada anggaran yang harus disediakan untuk Departemen Pertahanan, khususnya TNI. Agar dapat merumuskan politik pertahanan secara realistis dan efektif, kaum politik harus memahami strategi dan operasi militer. Untuk itu, pemimpin politik harus bersedia mendengarkan pendapat kaum militer profesional. Namun, lebih baik kalau di samping itu ada pakar sipil yang mempunyai pemahaman memadai untuk memberikan sarannya. Karena itu, pakar militer di kalangan sipil harus bersedia membuat studi mendalam dan jangan mengira bahwa masalahnya cukup dipahami berdasarkan logika dan dasar pengetahuan yang sudah dimiliki. Belum lama berselang, seseorang yang dianggap sebagai pakar militer mengatakan bahwa sekarang perang gerilya sudah tidak laku karena perkembangan teknologi dan bertentangan dengan Konvensi Den Haag. Tampaknya, orang itu kurang sadar bagaimana dua negara adikuasa, AS dan bekas Uni Soviet, mengalami pukulan dari Vietnam dan Afganistan, dua bangsa miskin. Juga kurang menyadari kekhawatiran AS sekarang terhadap teror atau gerilya kota yang dapat dilakukan dengan menggunakan senjata paling canggih. Kalau tingkat pemahaman para pakar militer masih seperti itu, sukar bagi pemimpin politik untuk memperoleh saran dan pendapat yang bernilai dari kalangan non-TNI. Penting pula untuk memahami psikologi dan kepemimpinan militer. Ada kecenderungan di kalangan cendekiawan Indonesia untuk memandang dunia militer dengan kriteria Barat, khususnya Amerika Serikat. Padahal, di Barat saja ada banyak perbedaan psikologi dan kepemimpinan militer AS dengan Prancis dan Jerman, umpamanya, apalagi dengan TNI, yang mempunyai sejarah pertumbuhannya sendiri yang sangat berbeda dari banyak tentara di dunia. Belakangan ada suara bahwa sebaiknya jabatan di Departemen Pertahanan (Dephan) diisi oleh pejabat sipil, sedangkan kaum militer di Markas Besar TNI. Hal demikian bukan barang baru karena dulu pun banyak pejabat sipil di Kementerian Pertahanan. Namun, sebaiknya pejabat sipil di Dephan bukan pejabat politik, melainkan birokrat sipil. Sebagai birokrat Dephan, mereka harus mempunyai pengetahuan memadai tentang ilmu militer dan dunia pertahanan pada umumnya. Pejabat sipil itu janganlah pejabat politik (political appointee) karena yang dikerjakan adalah pekerjaan teknis profesional. Kaum birokrat Dephan itu harus menjadi profesional dalam dunia pertahanan. Sedangkan jabatan politik di Dephan sebaiknya terbatas pada sekretariat Menteri Pertahanan. Kalau pemahaman kaum sipil dan politik tentang TNI, dunia militer, dan pertahanan pada umumnya cukup memadai, tidak ada kekhawatiran bahwa kontrol sipil akan menimbulkan masalah antara TNI dan kaum politik. Dan tidak akan merugikan perkembangan negara dan bangsa dalam percaturan internasional. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |