Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALANGAN industri rokok seperti tak pernah kekurangan akal melariskan dagangannya. Segala cara dilakukan, termasuk menyelundupkan pasal-pasal pelaris dalam rancangan undang-undang. Yang terbaru, tiba-tiba saja ada pasal untuk melestarikan budaya kretek dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan. Pasal nyeleneh ini semestinya dibuang jauh. Tak ada negara normal yang membuat undang-undang berisi kewajiban pemerintah memelihara-bahkan memperluas-tradisi merokok.
Lihatlah betapa rancangan undang-undang ini mempromosikan kretek secara telanjang. RUU ini menempatkan kretek sebagai "warisan budaya" yang harus dilestarikan. Penjelasan pasal 49 memerintahkan pemerintah menginventarisasi, mengembangkan kretek tradisional, hingga mempromosikannya. Pemerintah bahkan wajib membuat festival kretek dan melindunginya.
Ini bukan upaya pertama memainkan rancangan undang-undang agar menguntungkan industri rokok. Pada 2009, sempat terjadi kehebohan ketika Dewan Perwakilan Rakyat telah rampung membahas RUU tentang Kesehatan. Musababnya, satu pasal yang menegaskan bahwa tembakau adalah zat adiktif tiba-tiba lenyap. Padahal rancangan itu sudah disahkan dalam sidang pleno. Rupanya, pasal itu raib saat draf final RUU dikirim ke pemerintah untuk diberlakukan. Beruntung, upaya mutilasi pasal ini ketahuan.
Berpantang mundur, mereka mengulangi upaya serupa dengan modus berbeda. Pada 2013, tiba-tiba DPR memasukkan RUU Tembakau dalam program prioritas pembahasan. Ini aneh karena belum pernah ada agenda membahas RUU itu. Setelah khalayak meributkannya, rancangan yang isinya lebih banyak melindungi kepentingan industri rokok itu masuk kotak. Awal tahun ini, DPR mencoba lagi menghidupkannya.
Mudah membayangkan apa yang terjadi jika RUU Kebudayaan dengan pasal kreteknya dan RUU Tembakau lolos menjadi undang-undang. Penjualan rokok kretek akan meningkat. Kretek, karena berasal dari daun tembakau, adalah zat adiktif. Zat beracun ini, melalui ketagihan merokok, telah menjadi senjata pembunuh massal. Laporan WHO, badan kesehatan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyebutkan di Indonesia, hanya pada 2010, telah tewas 190.260 orang karena penyakit akibat merokok. Itu artinya 500 orang sehari!
Angka korban akan meningkat karena jumlah perokok terus bertambah. Laporan yang sama menyebutkan perokok di Indonesia telah mencapai 36 persen dari total populasi, atau sekitar 60 juta orang. Tanpa langkah serius, angka itu akan membengkak menjadi 90 juta orang pada 2025. Tragisnya, 19 persen dari perokok adalah kelompok usia 13-15 tahun. Merekalah kelompok paling rentan karena mudah tergiur iming-iming kenikmatan merokok.
Angka-angka itu jelas menunjukkan: peredaran rokok harus dibatasi. Mempromosikan kretek, betapapun dibungkus sebagai kreasi budaya khas Indonesia, harus dicegah. Bila rancangan undang-undang itu lolos, ini sama artinya Dewan menyiapkan perangkat hukum untuk melakukan "pembunuhan massal". Bahkan, tanpa promosi undang-undang itu pun, konsumsi rokok di Indonesia sudah mencapai 350 miliar batang setahun-terbesar ketiga di dunia.
Tak ada pilihan lain: pemerintah harus lebih serius membatasi peredaran rokok. Tegakkan aturan larangan merokok di tempat umum, batasi penjualannya, kenakan cukai tinggi pada rokok. Pemerintah harus segera meratifikasi Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC), yang telah ditandatangani 177 negara. Dengan demikian, Indonesia terikat aturan internasional yang mengatur pembatasan peredaran produk tembakau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo