Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JANGGAL rasanya jika pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat mengurusi kasus hukum. Walau diperelok dengan istilah "mediasi", cara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto memanggil Jaksa Agung M. Prasetyo membahas perkara hukum tak sepatutnya terjadi. Pertemuan tertutup di Senayan yang dihadiri Setya dan dua Wakil Ketua Dewan, Fadli Zon dan Fahri Hamzah, serta dua tokoh di Komisi Hukum DPR itu jelas merupakan intervensi yang mengganggu independensi penegakan hukum.
Dalih Fadli Zon bahwa rapat tertutup itu hanya ingin memastikan penyelidikan berlangsung tanpa abuse of power terdengar aneh. Prinsip ini memang perlu dicamkan tim satuan tugas pemberantasan korupsi Kejaksaan Agung. Merekalah yang menyelidiki perkara dugaan patgulipat penjualan aset negara yang kelewat murah sehingga merugikan negara ratusan miliar rupiah tersebut. Tapi Dewan seharusnya tak perlu repot-repot mengkonfirmasikan hal itu, apalagi secara khusus memanggil Jaksa Agung.
Pertemuan rahasia ini bisa menjadi benih perbuatan lancung. Apalagi Setya Novanto mewakili kepentingan korporasi swasta yang sedang diselidiki lantaran diduga terafiliasi dengan perusahaan pemenang lelang murah hak tagih atau pengalihan piutang (cessie) Bank BTN di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pengalihan hak tagih atas kredit BTN senilai Rp 176,56 miliar kepada PT Adyaesta Ciptatama milik pengusaha Johnny Wijaya itu dilepas kepada pihak ketiga cuma seharga 7,63 persennya. Adyaesta gagal bayar karena terjerat krisis moneter pada 1998.
Rasa curiga menguat manakala Setya Novanto begitu cepat merespons surat keberatan yang diajukan Direktur Utama PT Victoria Securities Indonesia Yangky Halim. Ia pun mengundang Ketua Komisi Hukum DPR Aziz Syamsuddin dan anggotanya, Desmond Junaidi Mahesa, ikut dalam rapat terbatas itu. Ada daya pikat yang kuat sehingga para pemimpin Dewan bergerak cepat: di balik kronik hukum permainan cessie ini ada bisnis yang lezat. Pemenang lelang memaksa Johnny Wijaya membayar utangnya yang kian menggunung senilai Rp 2,1 triliun. Johnny memakai duit itu untuk membeli tanah di Karawang seluas 1.200 hektare. Nilai jual obyek pajak tanah yang kini diperebutkan sejumlah pengembang kakap itu diperkirakan mencapai Rp 6 triliun. Duit gede itu membuat para pihak yang bersengketa mencari beking orang kuat, termasuk petinggi Senayan.
Ketimbang melibatkan diri dalam sengketa antarkorporasi, pimpinan Dewan seharusnya mendukung penegakan hukum ini tanpa pandang bulu. Dewan juga semestinya mendorong agar perkara ini dijadikan pintu masuk aparat hukum, termasuk Kejaksaan Agung, untuk mengusut kongkalikong dengan modus serupa yang diduga merugikan keuangan negara triliunan rupiah. Banyak kasus obral cessie ala Victoria ini terjadi di BPPN sejak 1999. Bisnis lelang aset ini ditengarai menggendutkan rekening segelintir pebisnis, politikus, pejabat, dan aparat.
Pengelola Victoria seharusnya tak usah mengadu dan mencari beking ke sana-kemari. Ruang bagi pihak yang merasa dirugikan akibat penggeledahan oleh Kejaksaan Agung terbuka lebar. Kalau penggeledahan itu dianggap salah alamat, karena pembelian cessie dilakukan PT Victoria Securities International Corporation, perusahaan asing yang konon tak terafiliasi dengan mereka, mereka bisa menggugat ke sidang praperadilan. Kalaupun sidang pengadilan dirasa tak adil, mereka bisa mengajukan permohonan banding, kasasi, sampai peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Biarlah ranah hukum ini berjalan tanpa campur tangan para politikus dan beking lain.
Jaksa Agung tak usah ambil pusing dengan campur tangan pimpinan Dewan ini. Penyelidikan harus tetap dilanjutkan. Dalam menjalankan fungsi ini, kejaksaan tidak boleh lagi menjadikan para (calon) tersangka sebagai mangsa pemerasan. Dalam bahasa sindiran Presiden Joko Widodo, tak boleh lagi ada tersangka yang dijadikan ATM. Di pihak lain, sikap pimpinan Victoria yang tak kooperatif hingga pengurusnya dijemput paksa mengindikasikan ada yang disembunyikan di balik transaksi kakap itu-sesuatu yang harus diusut tuntas.
Skandal Victoria yang sedang diusut Kejaksaan Agung ini merupakan sebagian kecil skandal patgulipat obral murah aset negara di BPPN, yang diduga melibatkan sejumlah politikus partai, pejabat negara, pemimpin BPPN, dan pengusaha, dari era Presiden B.J. Habibie hingga Presiden Megawati Soekarnoputri. Karena itu, pengungkapan kasus pembegalan aset BPPN ini menjadi penting buat memberi efek jera selain untuk menyelamatkan uang negara.
Persoalan besar inilah yang seharusnya dijadikan prioritas pengawasan pimpinan Dewan, bukan campur tangan perkara rebutan lahan. ??BERITA TERKAIT DI HALAMAN 36
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo