Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang janggal dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2006. Pemerintah menetapkan asumsi harga minyak mentah dalam RAPBN tahun depan itu hanya US$ 40 per barel. Padahal harga minyak dunia cenderung naik dalam beberapa bulan terakhir. Diperkirakan, harga masih akan naik sampai akhir tahun ini, terutama karena belahan bumi utara memasuki musim dingin.
Kejanggalan ini makin bertambah-tambah karena sebelum ini pemerintah sebetulnya sudah mengikuti tren harga minyak dunia dengan mengubah asumsi harga minyak dalam APBN 2004 dari US$ 24 per barel menjadi US$ 45. Bahkan pemerintah kembali mengajukan revisi asumsi harga minyak menjadi US$ 50. Mengapa kini tiba-tiba pemerintah seperti mengabaikan pasar?
Padahal, selama sebulan terakhir ini, harga minyak di pasar internasional justru semakin menggila. Harga kini berkisar US$ 63 per barel, sebelumnya sempat melompat mencapai rekor tertinggi US$ 66. Harga minyak Indonesia di pasar internasional saat ini juga masih berada di atas US$ 60 per barel. Karena itu, sungguh sulit memahami alasan pemerintah menetapkan asumsi harga minyak jauh di bawah kenyataan yang ada di pasar.
Sebagian analis minyak internasional memang memperkirakan harga minyak akan turun pada tahun depan, karena ada tambahan pasokan. Selain itu, perekonomian dunia yang melambat akan mengurangi konsumsi minyak. Tapi agak mustahil mengharapkan harga minyak bisa turun sampai US$ 40 per barel. Mereka meramal harga minyak akan berada pada kisaran US$ 50 per barel. Apalagi ramalan para analis itu tahun lalu telah terbukti keliru.
Karena itu, sangat sulit memahami langkah pemerintah yang menetapkan perkiraan harga minyak yang terlampau rendah. Bahkan ada kesan pemerintah tidak serius dalam menetapkan asumsi tersebut. Hal itu tercermin dalam alasan pemerintah bahwa masih ada waktu untuk mengubah asumsi pada Oktober nanti, ketika RAPBN ini disahkan menjadi undang-undang. Kesan yang muncul, keputusan ini sekadar menunda permasalahan.
Di luar itu, majalah ini menangkap kesan bahwa pemerintah tidak mendasarkan keputusannya pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan pasar, tapi pertimbangan politis semata. Dengan angka yang rendah, beban subsidi yang tercantum di APBN juga kecil, sehingga pemerintah tidak punya alasan kuat untuk menaikkan harga BBM.
Aspek lain adalah soal hubungan pemerintah pusat dan daerah penghasil minyak. Timbul kesan, Jakarta ingin menahan surplus dengan memberlakukan harga minyak di APBN lebih rendah ketimbang harga dunia. Jika kesan ini benar, harga politik yang dibayar akan lebih mahal dibandingkan dengan nilai dana yang ditahan: semakin merosotnya kepercayaan kepada pemerintah pusat.
Tak dapat dimungkiri, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono harus mempertimbangkan reaksi masyarakat terhadap kenaikan harga BBM. Namun bukan berarti dengan menutup diri terhadap realitas bahwa pemerintah tak mungkin mampu menanggung subsidi BBM tanpa menaikkan harga komoditas vital ini di dalam negeri.
Uji kepemimpinan Presiden Yudhoyono justru terjadi saat ini, yaitu sejauh mana kemampuannya meyakinkan rakyat Indonesia untuk menghadapi realitas yang ada secara rasional dan adil. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo