PAGI ini kami di rumah bangun lebih pagi dari biasa TPS no 57
yang terletak di samping rumah, sudah sibuk sejak subuh sekali
Ketua RT, Hansip dan Panitia Pemungutan suara mundar-mandir
membereskan persiapan jam 7.00 pagi RRI masih menyiarkan bahwa
jam 8.00 pagi ini pencoblosan akan dibuka dengan pembacaan
sambutan tertulis Presiden Soeharto. Tidak ada yang nampak sibuk
di antara kami. Senang masuk keluar mencari koran. Yang lain
nongkrong seenaknya menyaksikan hari yang semakin tinggi.
Secangkir kopi sebatang kretek dan selembar koran adalah
pemandangan yang rutin di rumah kami setiap hari. Tapi hari ini
ada expresi lain yang mengkhususkan suasana. Tanpa diucapkan
sinar wajah setiap orang memancarkan perasaan itu. Apa gerangan
yang membuat teman-teman saya pagi ini demikian berseri?
Seperti di-sudut manapun di Indonesia hari-hari sebelum itu
selama kami lebih setia mengikuti berita-berita yang berhubungan
dengan Mei 1977, dan peristiwa-peristiwa nenjelang saat it
Misalnya ucapan Menteri Amir Macmud di depan anggota Muspida
Bali di Klungkung, yang ditanggapi serius oleh kalangan PDI.
Soal CA-1 tidak ada hubungan dengan masalah percaya-tak-percaya
kepada mandtaris, MPR: yang diinginkan hanya mensukseskan Pemilu
1977. demikian kira-kira tanggapann mereka kepada Amir Mahmud.
Dan kami di rumah cuma tertawa. "Masak presiden mesti
dibawa-bawa dalam soal CA-1 Apakah sang menteri tidak sanggup
menyelesaikannya sendiri?"
Kemudian drs Zamroni dari PPP memberi tanggapan bahwa jaminan
presiden untuk dapat diadakan pengulanga pemungutan suara kalau
terjadi pelanggaran terhadap suatu ketentuan UU Pemilu - "tidak
lebih dapat" mencegah kesimpang-siuran itikad baik presiden tak
diragukan. Tapi aparat pemerintan daerah suka salah taksir dan
dapat saja lebih nengacaukan suasana. Dan kami semua diam
berfikir. Di Jakarta orang terlindung dalam hak-haknya sebagai
warga negara. Kalau ada kesulitan besar dapat mengadu kepada
Adnan Buyung Nasution. Tetapi ayahbunda dan sanak-saudara di
daerah, apa kabarnya?
Hal lain yang mengherankan ialah perubahan sikap teman-teman
kebanyakan di antara mereka setiap hari lebih sibuk dengan
bisnis, pacar atau bioskop. Tapi sekali ini hampir semuanya
cepat mengikuti dan membicarakan keadaan politik. Dikhawatirkall
jangan-jangan timbul kerusuhan karena ada fihak yang mogok
Pemilu. Dengan cemas diharapkan agar peristiwa Pakistan tidak
terulang di Indonesia. Suatu sore lepas jam kerja, seorang teman
buru-buru menyampaikan. "Bung, ada kabar bagus. Seribu
narapidana boleh ikut memberikan suara pada TPS khusus. Kalau
Jimmy Carter dengar berita ini, mungkin dia akan segera
memutuskan untuk berkunjung ke Indonesia Hak-hak azasi ternyata
dihormati dan dijamin di sini. Di Indonesia seorang warganegara
sesungguhnya diperlakukan sebagai manusia dan tak sekedar unsur
suatu sistim politik atau alat ideologi belaka".
Menggembirakan juga mendengar bahwa ada pejabat kita yang
ternyata bisa demokratis. Sunandar Priyosudarmo, gubernur Jatim.
mengeluarkan instruksi bahwa para pegawai negeri tidak boleh
memakai lencana Korpri pada waktu mencoblos. Instruksi itu
berdasarkan peraturan yang melarang tanda ganbar konestan atau
tanda-tanda yang mirip, berada dekat TPS pada waktu memberikan
suara. Lencana Korpri memuat tanda gambar pohon beringin, karena
itu tak boleh dibawa-serta ke TPS. "Pejabat kita ternyata ada
yang rasioniil" kata teman saya seorang fotograf free-lance.
Lebih dari semuanya, yang paling membuat lega ialah bahwa sampai
dengan hari ini tidak ada kontestaul yang mengundurkan diri dari
"kontes suara". Terasa sportip dan terhormat bahwa parpol,
walaupun kadang-kadang merasa diperlakukan kurang adil, dan
karena itu di sana-sini menyampaikan kritik yang keras akhirnya
tidak bertindak yang aneh-aneh. Pemilu terhindar dari segala
jenis "sabotase".
Masih teringat oleh saya bahwa seminggu yang lewat ada teman
Yang hampir memutuskan untuk tidak memberikan suara. Alasannya:
dia tidak melihat adanya kontestan yang layak dipilih. Dia tidak
mau memilih Golkar, karena Golkar sudah terlampau kuat. Buat apa
masia mau membantu fihak yang kuat? Tapi dia pun enggan memilih
salah satu parpol karena belun ada program yang cukup meyakinkan
dari fihak parpol. Sementara itu dia enggan memilih PDI misalnya
hanya karena dia tak suka pada Golkar. "Itu namanya cinta
negatip. Saya cinta akan si Yeni hanya karena jengkei kepada si
Tati. Pilihan tidak sama dengan pelarian atau tindakan
kompensasi!" begitu logikanya yang tiap kali dipertahankannya
dengan gigih.
Yang aneh ialah bahwa pagi ini justru dialah yang mengajak kami
menuju TPS. Tumben! Semua kami nyeletuk, tapi dia dengan tangkas
menjawab: "Hari ini kita jadi raja sehari. Jangan dilewatkan.
Putuan awak berpengarun sampai lima tahun".
- Jadi anda turut nyoblos? ada yang bertanya tak percaya:
- Ya, terang!
- Mengapa?
- Melaksanakan kedaulatan rakyat.
Sekonyong-konyong saya mulai faham. Mungkin itu sebabnya maka
wajah teman-teman saya cerah dan berseri semuanya. Hari ini
mereka daulat atas bangsa dan negaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini