Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dua Mei 1977 Dalam Hidupku

Tanggal 2 Mei, orang berseri di mana-mana. Mereka akan menjadi raja sehari, datang ke tempat pemungutan suara. Ada berita bahwa narapidana juga boleh ikut memberikan suara di tps khusus.

14 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI ini kami di rumah bangun lebih pagi dari biasa TPS no 57 yang terletak di samping rumah, sudah sibuk sejak subuh sekali Ketua RT, Hansip dan Panitia Pemungutan suara mundar-mandir membereskan persiapan jam 7.00 pagi RRI masih menyiarkan bahwa jam 8.00 pagi ini pencoblosan akan dibuka dengan pembacaan sambutan tertulis Presiden Soeharto. Tidak ada yang nampak sibuk di antara kami. Senang masuk keluar mencari koran. Yang lain nongkrong seenaknya menyaksikan hari yang semakin tinggi. Secangkir kopi sebatang kretek dan selembar koran adalah pemandangan yang rutin di rumah kami setiap hari. Tapi hari ini ada expresi lain yang mengkhususkan suasana. Tanpa diucapkan sinar wajah setiap orang memancarkan perasaan itu. Apa gerangan yang membuat teman-teman saya pagi ini demikian berseri? Seperti di-sudut manapun di Indonesia hari-hari sebelum itu selama kami lebih setia mengikuti berita-berita yang berhubungan dengan Mei 1977, dan peristiwa-peristiwa nenjelang saat it Misalnya ucapan Menteri Amir Macmud di depan anggota Muspida Bali di Klungkung, yang ditanggapi serius oleh kalangan PDI. Soal CA-1 tidak ada hubungan dengan masalah percaya-tak-percaya kepada mandtaris, MPR: yang diinginkan hanya mensukseskan Pemilu 1977. demikian kira-kira tanggapann mereka kepada Amir Mahmud. Dan kami di rumah cuma tertawa. "Masak presiden mesti dibawa-bawa dalam soal CA-1 Apakah sang menteri tidak sanggup menyelesaikannya sendiri?" Kemudian drs Zamroni dari PPP memberi tanggapan bahwa jaminan presiden untuk dapat diadakan pengulanga pemungutan suara kalau terjadi pelanggaran terhadap suatu ketentuan UU Pemilu - "tidak lebih dapat" mencegah kesimpang-siuran itikad baik presiden tak diragukan. Tapi aparat pemerintan daerah suka salah taksir dan dapat saja lebih nengacaukan suasana. Dan kami semua diam berfikir. Di Jakarta orang terlindung dalam hak-haknya sebagai warga negara. Kalau ada kesulitan besar dapat mengadu kepada Adnan Buyung Nasution. Tetapi ayahbunda dan sanak-saudara di daerah, apa kabarnya? Hal lain yang mengherankan ialah perubahan sikap teman-teman kebanyakan di antara mereka setiap hari lebih sibuk dengan bisnis, pacar atau bioskop. Tapi sekali ini hampir semuanya cepat mengikuti dan membicarakan keadaan politik. Dikhawatirkall jangan-jangan timbul kerusuhan karena ada fihak yang mogok Pemilu. Dengan cemas diharapkan agar peristiwa Pakistan tidak terulang di Indonesia. Suatu sore lepas jam kerja, seorang teman buru-buru menyampaikan. "Bung, ada kabar bagus. Seribu narapidana boleh ikut memberikan suara pada TPS khusus. Kalau Jimmy Carter dengar berita ini, mungkin dia akan segera memutuskan untuk berkunjung ke Indonesia Hak-hak azasi ternyata dihormati dan dijamin di sini. Di Indonesia seorang warganegara sesungguhnya diperlakukan sebagai manusia dan tak sekedar unsur suatu sistim politik atau alat ideologi belaka". Menggembirakan juga mendengar bahwa ada pejabat kita yang ternyata bisa demokratis. Sunandar Priyosudarmo, gubernur Jatim. mengeluarkan instruksi bahwa para pegawai negeri tidak boleh memakai lencana Korpri pada waktu mencoblos. Instruksi itu berdasarkan peraturan yang melarang tanda ganbar konestan atau tanda-tanda yang mirip, berada dekat TPS pada waktu memberikan suara. Lencana Korpri memuat tanda gambar pohon beringin, karena itu tak boleh dibawa-serta ke TPS. "Pejabat kita ternyata ada yang rasioniil" kata teman saya seorang fotograf free-lance. Lebih dari semuanya, yang paling membuat lega ialah bahwa sampai dengan hari ini tidak ada kontestaul yang mengundurkan diri dari "kontes suara". Terasa sportip dan terhormat bahwa parpol, walaupun kadang-kadang merasa diperlakukan kurang adil, dan karena itu di sana-sini menyampaikan kritik yang keras akhirnya tidak bertindak yang aneh-aneh. Pemilu terhindar dari segala jenis "sabotase". Masih teringat oleh saya bahwa seminggu yang lewat ada teman Yang hampir memutuskan untuk tidak memberikan suara. Alasannya: dia tidak melihat adanya kontestan yang layak dipilih. Dia tidak mau memilih Golkar, karena Golkar sudah terlampau kuat. Buat apa masia mau membantu fihak yang kuat? Tapi dia pun enggan memilih salah satu parpol karena belun ada program yang cukup meyakinkan dari fihak parpol. Sementara itu dia enggan memilih PDI misalnya hanya karena dia tak suka pada Golkar. "Itu namanya cinta negatip. Saya cinta akan si Yeni hanya karena jengkei kepada si Tati. Pilihan tidak sama dengan pelarian atau tindakan kompensasi!" begitu logikanya yang tiap kali dipertahankannya dengan gigih. Yang aneh ialah bahwa pagi ini justru dialah yang mengajak kami menuju TPS. Tumben! Semua kami nyeletuk, tapi dia dengan tangkas menjawab: "Hari ini kita jadi raja sehari. Jangan dilewatkan. Putuan awak berpengarun sampai lima tahun". - Jadi anda turut nyoblos? ada yang bertanya tak percaya: - Ya, terang! - Mengapa? - Melaksanakan kedaulatan rakyat. Sekonyong-konyong saya mulai faham. Mungkin itu sebabnya maka wajah teman-teman saya cerah dan berseri semuanya. Hari ini mereka daulat atas bangsa dan negaranya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus