SEORANG mahasiswa ditangkap setelah pada Hari Hak Asasi Manusia meletakkan karangan bunga di beranda kantor pemerintah. Dalam bahasa perlambang, ia dan rombongannya seakan ingin mengatakan bahwa "di sini hak asasi telah mati". Tak berapa lama setelah dilepaskan, ia kembali muncul di DPR kali ini dengan tuntutan yang lebih mustahil: meminta Sidang Istimewa MPR. Seorang aktivis seperti tak mengenal jera. Sebelumnya, ketika terjadi demonstrasi menuntut penghentian SDSB, seorang aktivis lain menyiapkan stiker yang mustahil dapat disebarluaskan. Memang, dulu orang hanya tertawa ketika SDSB diartikan "Sudomo Datang Semua Beres". Soalnya menjadi gawat ketika itu diubah menjadi, umpama saja, Siluman Datang Sampailah Bencana. Barangkali ia ingin mengangkat isu moral dan keagamaan itu ke peringkat politik, suatu hal yang sungguh terlarang. Kita tahu apa yang selanjutnya terjadi. Tetapi, bagi sang aktivis, itu adalah saat yang otentik untuk menggemakan pesan. Dengan tindakannya, ia sedang menggebrak publik yang mungkin kecut dan serba berhati-hati. Di depan mereka yang mungkin gemetar, sebuah keberanian digelar. Di tengah publik yang gamang, ia garang menantang. Banyak orang akan menganggapnya nekat. Tetapi justru itulah yang sedang diperagakannya: sebuah tekad. Namun, ada kalanya itu terasa berlebihan. Bahkan para pendekar perang pun tak akan sembarangan bermain pelesetan SDSB seperti itu. Sebab, dalam konvensi politik dan hukum yang berlaku, wilayah itu merupakan daerah terlarang. Tetapi mungkin memang itulah yang sedang dikesankannya: seorang aktivis tak mengenal daerah terlarang. Bahkan dalam wilayah yang menggetarkan sukma manusia, perbatasan antara hidup dan mati, tak ada lagi wilayah keramat. Mereka bawa iringan duka untuk mendaulat menteri, di depan publik yang masih menghormati perjalanan terakhir anak manusia. Terasa seperti tiada yang suci lagi. Barangkali hendak dicoba mengulang perjalanan terakhir Arif Rachman Hakim, mahasiswa yang menjadi martir Angkatan 66. Tapi dalam cara dan suasana yang berbeda, efek yang timbul justru membunuh simpati. Padahal, sebuah gerakan tak bisa sendiri. Ia perlu sekutu dan menyeru mereka yang masih sehati. Di sebuah diskusi yang serius, tiba-tiba seorang aktivis minta bicara. Dan ketika diberi kesempatan, ia tidak bertanya atau menanggapi topik yang sedang diperbincangkan, melainkan membaca puisi. Dan hadirin, kecuali anak-anak muda yang tertawa, merasa dipecundangi. Pelecehan seperti itu mungkin ingin menyindir absurditas semesta. Tapi di tengah publik yang santun berdiskusi, hal itu jelas menyakitkan hati. Maka, orang pun jadi tidak mengerti, hendak ke mana semua ini. Barangkali saja kita sudah makin tua dan jadi konservatif. Tetapi bahkan beberapa aktivis lama pun sulit memahami. Rasanya, kita semua sedang tersekap dalam jurang antargenerasi. Memang, masa kemahasiswaan terlalu singkat untuk membangun sebuah konstituensi. Angkatan demi angkatan begitu cepat berganti dan masing-masing seperti ingin meninggalkan ciri dan corak gerakannya sendiri. Angkatan 66 bersekutu dengan ABRI dan kekuatan nonkomunis melawan PKI, kemudian isunya beranjak ke penumbangan tirani. Angkatan 74 bersekutu juga dengan salah satu faksi untuk mengguncangkan "Aspri" dan mengubah politik ekonomi. Angkatan 78 seperti tak bersekutu lagi, tetapi masih memelihara dukungan kalangan kritis. Dan pada zaman pendekatan struktural, di tengah isu suksesi, mereka meminta perombakan strategi pembangunan. Semua itu seperti tak ada lagi pada angkatan delapan puluhan dan sembilan puluhan. Rumitnya lagi, dewan mahasiswa yang selama ini jadi induk gerakan sudah tak berfungsi lagi. Mungkin berkat kemujaraban resep NKK-BKK Daoed Joesoef. Prakarsa hanya mungkin muncul dari pinggir, yang mencetuskan gerak yang terserak-serak. Isu-isunya pun berputar dari pinggiran: dari Badega, Kedungombo, Sampang, Marsinah -- untuk menyebut beberapa -- baru ke Jakarta lewat SDSB. Komitmen lapangan ini timbul mungkin karena tokoh-tokohnya lebih berakar pada rakyat. Tetapi karena itu juga corak dan warna gerakan menjadi makin beragam. Ini menyebabkan makin sulit lagi membangun jaringan dan persekutuan. Dan ketika kesepakatan jadi mustahil, lantas muncul beraneka sempalan. Siapa mewakili apa senantiasa menjadi perdebatan. Secara umum, gerakan mutakhir lantas terkesan bersemangat spontan, anti tokoh dan pemimpin, barangkali bahkan anti organisasi. Kalau begitu gawatnya situasi, mengapa bergerak lagi? Jelas pertanyaan ini datang dari penonton yang tidak mengerti. Sebab, untuk kaum aktivis, pergerakan adalah kampung halaman yang senantiasa memanggil kembali. Pergerakan adalah sebuah ritus pentahbisan dan tradisi yang diawetkan. Sang aktivis bisa datang dan pergi, tetapi pergerakan seperti tak mau mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini