DEKAT pintu masuk kantor Yayasan Pijar terpampang sebuah tulisan: "Ragu-ragu, pulang saja." Begitulah pesan sponsor bernada "menantang" buat mereka yang mengunjungi tempat yang kini dikenal sebagai "pusat pergerakan" sejumlah demonstran itu. Yayasan ini memang santer di sebut-sebut berperan dalam berbagai aksi demonstrasi. Maklum, maraknya sejumlah demo di berbagai tempat memang tak lepas dari peranan organisasi ini -- bersama sejumlah LSM lainnya. Suatu saat organisasi ini hanya sebagai penggembira. Namun, dalam kasus unjuk rasa lainnya, Yayasan Pijar memegang peran utama. "Demonstrasi adalah cara kami untuk menyampaikan pandangan. Demonstrasi adalah terobosan dari mampatnya saluran aspirasi kami," kata Rachland S. Nashidik, yang kini menjabat Ketua Pelaksana Harian Yayasan Pijar, yang berkantor di bilangan Jakarta Timur. Sebut saja sejumlah unjuk rasa sepanjang tahun lalu: dari demo kasus tanah (seperti tanah Rancamaya), demo penuntutan pertanggungjawaban Menteri Perhubungan gara-gara tabrakan kereta api di Citayam, demo anti SDSB, hingga soal tuntutan sidang istimewa MPR. Sampai-sampai, ada seorang pengamat secara berkelakar menyebut para aktivis dari yayasan ini sebagai "biro demo". Dana untuk melakukan demo diperoleh dari kocek anggota dan peserta unjuk rasa itu sendiri alias berdikari. Misalnya, untuk membuat poster, biayanya hanya Rp 1.500 per buah -- itu sudah termasuk biaya kertas dan spidol -- sedangkan pembuatan sebuah spanduk menghabiskan sekitar Rp 10 ribu. Karena itu, Rachland juga membantah kalau segala ulah organisasi ini ditunggangi oleh "sekelompok orang yang punya kepentingan politik". Mereka, kabarnya, disebut-sebut dekat dengan para "pembangkang", misalnya kelompok Petisi 50 atau tokoh pendekar hak-hak asasi manusia seperti Adnan Buyung Nasution. "Memangnya mereka kerbau, sampai perlu ditunggangi segala," kelakar Adnan menjawab tudingan itu. Salah satu unjuk rasa yang diselenggarakan oleh para aktivis Yayasan Pijar adalah demo menuntut mundurnya Menteri Perhubungan Haryanto Dhanutirto yang dianggap bertanggung jawab atas ketidakberesan pengoperasian angkutan kereta api. Itu tercermin dari peristiwa tabrakan dua kereta rel listrik awal November lalu di Citayam, Depok. Tercatat, 20 orang tewas dan 100 lainnya luka-luka. Rupanya, salah seorang korban yang tewas adalah pengurus Yayasan Pijar. Namanya: M. Hasbi bin Achmad Lallo, 32 tahun. Pada hari nahas itu, Hasbi berencana menemui Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Adnan Buyung Nasution, yang sedang berseminar di Universitas Pakuan, Bogor. Dari situ, kabarnya, Hasbi dan teman-temannya di Bogor akan menggelar unjuk rasa ke kantor polisi di Cibinong. Mereka menentang penangkapan sejumlah aktivis yang dituduh mengompori massa petani Rancamaya di Bogor yang terancam digusur. Ketika jenazah Hasbi akan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, iring-iringan pelayat yang jumlahnya puluhan mobil itu menyempatkan mampir ke kantor Departemen Perhubungan di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Mereka menggugat pertanggungjawaban Menteri Perhubungan. "Sewaktu hidup saja Hasbi suka demonstrasi, apalagi sesudah meninggal," ujar seorang temannya. Dua hari kemudian, unjuk rasa menuntut mundur Menteri Haryanto kembali digelar -- tentu saja Hasbi sudah dimakamkan. Sampai sekarang, tuntutan mereka itu belum terpenuhi. Tak lama kemudian, yayasan itu kembali terkena "musibah". Ketua Pengurus Harian Yayasan Pijar Nuku Soleiman tertangkap tangan mengedarkan stiker yang menurut aparat keamanan bernada "menghina kepala negara". Ketika itu Nuku bersama ratusan temannya mengadakan demo anti SDSB di DPR Senayan. Kini ia siap diadili. Jaringan komunikasi organisasi Yayasan Pijar ini memang dikenal cukup luas. Mereka mengadakan kontak dengan sejumlah LSM dan organisasi kemahasiswaan di berbagai tempat -- sebut saja, misalnya, LBH Ampera di Bogor -- atau dengan kegiatan mahasiswa di berbagai kota di Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang. Bahkan, salah seorang aktivis LBH Ampera, Dedi Ekabrata, 30 tahun, yang kini mendekam di penjara Paledang Bogor gara-gara membela kepentingan petani di Cijayanti, Bogor, juga dikenal sangat akrab dengan sejumlah pengurus Yayasan Pijar -- di samping dengan sejumlah aktivis hak-hak asasi manusia lainnya. Luasnya jaringan kontak ini tampaknya sesuai dengan nama Pijar yang merupakan kependekan dari Pusat Informasi dan Jaringan Aksi Reformasi. Yayasan ini berdiri 3 September 1989. Pendirinya sekitar 20 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Di antaranya boleh dibilang para aktivis, dan tercatat pernah keluar-masuk tahanan. Sebut saja, misalnya, Bambang Beathors Soeryadi, yang pernah menjalani hukuman penjara 4,5 tahun di Cipinang atas dakwaan menyebarkan kebencian terhadap pemerintah, atau Bonar Tigor Naipospos, yang kini masih menjalani hukuman penjara 8,5 tahun di Wirogunan, Yogyakarta, dengan tuduhan sama (lihat Demo Sama, Hukuman yang Berbeda). Tujuan yayasan ini, seperti yang diutarakan oleh Rachland, adalah memperjuangkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Jumlah pengurusnya 25 orang. Dan struktur organisasinya terdiri dari beberapa divisi, di antaranya ada yang mengurus masalah administrasi, ada yang memonitor masalah sosial politik yang melakukan kajian-kajian rutin dengan mengadakan diskusi-diskusi, dan ada divisi kaderisasi yang memberikan bekal kepedulian terhadap masalah sosial. Di samping itu, ada buletin intern berkala Kabar dari Pijar dan Neraca Pembangunan, yang diedarkan di kalangan kampus dan LSM. Anggota yayasan ini tak jelas berapa jumlahnya. Maklum, ada yang hanya tercatat sebagai simpatisan, ada yang sekadar musiman, ada juga yang partisan. Sebut saja Anto, mahasiswa Jakarta, yang mengaku, "Pokoknya, hampir di setiap demo (yang dibuat Yayasan Pijar), saya ikut, tapi saya belum pernah sampai ketangkap," katanya. Tak semua yang ikut kegiatan yayasan ini adalah yang punya hobi demo. Rosita, 22 tahun, mahasiswa Universitas Nasional, Jakarta, misalnya, mengaku pernah mengikuti beberapa diskusi yang diadakan oleh organisasi ini, tapi tak pernah ikut aksi turun ke jalan. "Saya tidak mau menggunakan cara demonstrasi. Saya punya jalan sendiri," katanya. Seperti kata seorang pengamat sosial politik, romantika "perjuangan anti kemapanan" di kalangan anak muda memang terasa lebih mengental. Tapi itu tak akan berlangsung lama, seiring dengan berakhirnya "masa muda" mereka. Meskipun begitu, katanya lagi, perjuangan mereka akan tetap mempunyai makna dan dampak sejauh hal itu memang merupakan aspirasi orang banyak. "Sejarah yang akan menjawabnya nanti," ujarnya.Ahmed K. Soeriawidjaja, Rihad Wiranto, dan Andi R. Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini