Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya masalah pokoknya itu perebutan kekuasaan antara berbagai kekuatan politik di mana ABRI dengan baju dwifungsi telah berperan sebagai pemimpin yang perkasa, yang oleh arus reformasi saat ini dikehendaki tidak sebesar dulu. Dikehendaki juga tumbuh dan berkembang masyarakat madani dengan baik atau memperoleh posisi terhormat. Hanya, format yang pas, tepat, dan mantap belum tergambar setelah pemerintah Orde Baru menjelang 4 bulan dianggap tutup buku.
Suasananya kemudian usreg terus yang lalu menghadirkan keresahan bahkan tindakan anarki yang sering tak terkendali, atau dengan kata lain kerawanan keamanan merebak di mana-mana.
Dari kenyataan itu dapat diprediksi, kalau format politik tidak segera terwujud konkret dan stabilitas tidak segera tergelar, situasi dan kondisi RI akan semakin terpuruk. Kita yang dewasa ini hidup hanya dengan bantuan asing--yang belum jelas nanti bagaimana cara membayarnya--toh tetap melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, lalu kapan start membangun lagi?
Dan format politik itu intinya ada pada tarik-menarik eksistensi dwifungsi ABRI dan kekuatan politik yang bernuansa masyarakat madani. Sementara dulu digembar-gemborkan tidak ada dikotomi dwifungsi ABRI dan masyarakat madani, sekarang jelas dikotomi itu memang ada dan harus dihilangkan.
Sebenarnya, kalau kita mau jujur, demokrasi dan militer itu adalah minyak dan air, hitam dan putih. Dan kalau kita mau baik, tidak ada warna abu-abu. Sebab, selamanya grey area adalah sumber instabilitas, sumber pelanggaran hak asasi manusia, sumber keresahan terselubung seperti yang terjadi pada zaman Orba yang lalu. Lantas, dengan memahami garis berpikir yang gamblang seperti itu, kearifan, keinginan dari bangsa Indonesia itu apa?
Kalau kita menginginkan demokrasi, militer harus kembali pada fungsi dan perannya. Para jenderal yang menerjuni politik harus menanggalkan segala atribut kemiliterannya, seperti Jenderal Eisenhower atau Jenderal De Gaul. Kalau militer yang ingin berkuasa, ya, kiblatnya harus seperti negara-negara di Amerika Latin, atau terdekat di ASEAN--model Myanmar itu.
Ada orang--atau banyak orang--berpikir, dari model Orba ke demokrasi yang betul itu perlu masa transisi, sehingga pemerintahan Presiden Habibie sekarang dianggap sekaligus periode transisional. Model seperti itu adalah gambaran politik yang bersifat grey area, dan pasti tidak mendatangkan suasana tata tentram karta raharja. Sebab, berbagai rekayasa politik lalu terjadi di mana-mana, yang berbenturan dengan pola pikir demokrasi dan melahirkan tindakan anarki.
Solusinya bagaimana? Sebenarnya mudah kalau kita semua berpikir jernih dan tertuju pada kejayaan bangsa. Suasananya harus kembali pada suasana Sumpah Pemuda 1928, suasana ketika ABRI dianggap belum ada, masyarakat madani secara penuh, lalu bicara mengatur bangsa dan negara seperti yang diinginkan bersama secara benar-benar demokratis. Kalau dulu dengan mendengar biola W.R. Supratman lalu nilai kesatuan dan persatuan secara kental terbentuk, apakah sekarang tidak bisa?
Pertama, titik pangkalnya adalah UUD, di mana UUD 1945 jelas masih valid dengan perubahan-perubahan pada batang tubuh, yang selama ini merupakan titik lemah utamanya dalam perwujudan demokrasi dan eliminasi atas pelestarian kekuasaan. Yang kedua, tetapkan tentara/militer harus prajurit profesional dengan tugas pokok pertahanan negara. Sedangkan urusan keamanan tugas pokok polisi. Tentara dan polisi tidak boleh dicampur aduk. Fungsi dan peran strategisnya harus dibedakan.
Ketiga, tetapkan mekanisme dan kelembagaan kenegaraan serta pemerintahan dengan dasar-dasar manajerial modern, fungsi dibagi habis dalam keorganisasian yang hemat struktur, kaya fungsi.
Keempat, tetapkan blue print yang memuat strategi perjuangan pembangunan dalam GBHN yang jelas map of road atau prioritas dan selektivitasnya, sehingga dinamika pembangunan terukur dengan akuntabilitas yang tinggi.
Kelima, terpilihnya pemimpin nasional beserta perangkat kepemimpinan pembantu yang merupakan himpunan putra-putri terbaik bangsa, pemimpin yang benar-benar merefleksikan dan memancarkan seluruh kriteria pemimpin yang paling ideal. Pemimpin nasional adalah kunci. Empat proses yang susah payah ditegakkan akan menjadi mentah kalau proses kelima ini tidak tepat. Sebaliknya, jika ada kelemahan dalam empat proses tersebut, kelemahan itu akan dapat ditutup kalau proses kelima ini benar-benar tepat.
Persoalannya sekarang ini: apakah kelima butir itu telah mewarnai nuansa politis yang berkembang? Rasanya belum. Sebab, nuansa demokratisnya pun belum terasa, apalagi pola pikir jernihnya. Berpikir, bersikap, dan bertindak sebagai demokrat sejati dalam alam yang diwarnai suasana Orba memang sangat sulit, khususnya di lingkungan ABRI. Suasana perwakilan yang diwarnai mayoritas tunggal yang banyak ABRI-nya pasti sulit bernuansa demokratis. Dengan begitu, yang namanya diktator mayoritas yang intinya ke-ABRI-an jelas tetap berlangsung. Kalau suasananya masih seperti itu, upaya mewujudkan reformasi atau perubahan menuju kemajuan yang ideal dibayangi pesimisme.
Karena semua orang menyatakan kita tidak boleh menyerah, lalu timbul juga optimisme. Terutama jika seluruh bangsa, khususnya yang berkedudukan sebagai pemimpin, mampu berserah diri kepada Illahi Rabi, Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, hanya Tuhan--melalui pemimpin yang mempunyai tanggung jawab akan masa depan Indonesia--yang mampu melestarikan upaya mencapai kejayaan bangsa. Percayalah bahwa demokrasi yang bermakna Vox Populi Vox Dei itu benar adanya dan bukan vox ABRI yang tertuang dalam dwifungsi ABRI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo