Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau kita bertanya kepada insan hakim Indonesia, apakah dalam melaksanaan tugasnya mereka masih merasa ada campur tangan dari pihak lembaga peradilan, tentu saja jawabannya adalah "benar". Bahkan, kadang-kadang intervensi tersebut kasatmata.
Secara yuridis dan politis, perihal campur tangan ini sudah tercantum dalam Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 19 Tahun 1964. Dalam salah satu pasal ketentuan tersebut dinyatakan bahwa demi kepentingan revolusi, keselamatan negara dan bangsa, atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, presiden dapat turun tangan atau campur tangan dalam soal-soal peradilan.
Sebelumnya, dalam Penpres No. 16 Tahun 1963 tentang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), independensi hakim (walau hakim militer) juga sudah digerogoti. Itu terlihat dari adanya ketentuan dalam Pasal 6, yang menyatakan bahwa putusan dari mahkamah, sebelum diumumkan dan dilaksanakan, harus lebih dulu diajukan kepada menteri atau panglima angkatan yang menyerahkan perkara untuk memperoleh persetujuan pelaksanaan.
Memang sangat indah bahwa Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 menentukan: kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Bahkan, dalam penjelasan pasal tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasan pemerintah. Dengan demikian, kedudukan hakim harus dijamin dalam undang-undang.
Untuk menyamakan persepsi terhadap kekuasaan kehakiman yang mandiri, negara di kawasan Asia Pasifik kemudian melakukan sejumlah pertemuan teratur antarketua mahkamah agung.
Dalam konferensi para ketua mahkamah agung pada 1978 di Jakarta, antara lain dibicarakan soal safeguards of the judiciary, yakni adanya jaminan kekuasaan kehakiman yang mandiri.
Demikian pula pada 15 Agustus 1995, di Beijing, dalam Konferensi Ketua Mahkamah Agung VI untuk kawasan Asia Pasifik--bersamaan dengan Konferensi LAWASIA XIV--ketua mahkamah agung yang hadir, termasuk Ketua Mahkamah Agung Indonesia, menyepakati suatu pernyataan mengenai prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang mandiri (the independence of the judiciary) yang harus dihormati oleh setiap negara anggota yang melaksanakan the rule of law.
Hasil konferensi yang dikenal dengan sebutan Beijing Statement on The Independence of the Judiciary itu kemudian diterima secara aklamasi oleh para ketua mahkamah agung yang hadir dalam konferensi ke-7 di Manila pada 1997.
Tidak mandirinya hakim di Indonesia pada saat ini tidak lain merupakan refleksi dari pemberlakuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang merupakan reformasi dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1965.
Dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 itulah mulai ada dualisme pembinaan terhadap hakim. Secara organisatoris, administratif, dan finansial, hakim berada di bawah kekuasaan departemen yang bersangkutan. Dengan kata lain, hakim peradilan umum dan tata usaha negara berada di bawah Departemen Kehakiman, hakim peradilan agama di bawah Departemen Agama, dan hakim peradilan militer di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Kemandirian hakim di Indonesia memang sering dipertanyakan, terutama dalam menangani perkara yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah. Banyak ketidakpuasan muncul dan para hakim harus menerima rasa tidak puas itu sebagai risiko jabatan.
Risiko itu pula yang harus dialami seorang hakim di Sumatra ketika diusir seorang kepala daerah yang tidak berkenan dengan putusan yang dijatuhkannya. Banyak orang tak mengetahui bagaimana seorang hakim dalam kasus meninggalnya wartawan Udin di Yogyakarta dimarahi oleh seorang kepala daerah layaknya pembina Korpri memarahi salah seorang anggotanya.
Lalu, seorang ketua pengadilan tata usaha negara diteror. Rumahnya dilempari daging busuk karena keberanian profesionalnya dalam menilai keputusan seorang ketua Bakorstanasda. Juga, tiga perwira tinggi ABRI menemui majelis hakim tinggi yang menangani proses banding kasus pembredelan Majalah TEMPO untuk mencoba "menyatukan persepsi", mengamankan keputusan Menteri Penerangan tentang pembredelan majalah itu.
Itulah secuil konfigurasi yang menggambarkan mandiri atau tidaknya hakim di Indonesia. Era reformasi ini harus dijadikan momentum untuk memperjuangkan terwujudnya sistem peradilan dengan kemandirian hakimnya, untuk membuat hakim di Indonesia bebas dari pengaruh kekuasaan yang kuat dalam bidang keuangan dan materi.
Kemauan politik untuk mewujudkan kemandirian hakim harus dicetuskan dan ditindaklanjuti dengan nyata. Itulah pekerjaan rumah kita semua yang masih mencintai republik ini.
Benjamin Mangkoedilaga
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo