Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dibandingkan dengan masa revolusi dan tahun 1950-an yang padat peristiwa atau Demokrasi Terpimpin yang sibuk menentang dunia, cerita tentang Orde Baru bisa membosankan karena pemerintahan ini seakan-akan tanpa teka-teki. Semuanya sudah jelas dan pasti karena akhirnya pemerintah akan selalu tampak "benar". Bukankah bentuk sejarah yang dikisahkan itu ditentukan oleh akhir cerita? Kehadiran "sebab" baru ada setelah "akibat" kelihatan. Repotnya, dalam masa Orde Baru itu semuanya berakhir dengan "kebenaran tunggal" yang diberikan sistem kekuasaan dari tritunggal Soeharto-ABRI-Golkar. Maka, tinggallah kejadian sebagai sesuatu yang pernah terjadi saja tetapi terlupakan dalam catatan sejarah dan ingatan sosial.
Namun, kemungkinan akan kebosanan itu saya rasakan sebelum suara yang selama ini "diheningkan" berbicara dan calon sumber sejarah yang selama ini tersembunyi menampakkan diri. Kini, setelah lengser keprabon dan seruan "reformasi" telah dikumandangkan, apakah "kepastian sejarah" dari Orde Baru yang tidak dicairkan? "Tragedi Mei" ternyata bukan saja saat ketika tutup "kotak Pandora" terbuka dan menyebarkan duka cerita yang sangat mengenaskan, tetapi juga menjadikan segala "kepastian sejarah", yang selama ini dipelihara dengan baik, sebagai hal yang harus dicurigai. Otentisitas dari isi Supersemar digugat, bahkan kemungkinan Soeharto terlibat dalam usaha kup terhadap Presiden Soekarno dengan gencar dimasalahkan. Berbagai kejadian yang dulu diperlakukan sebagai gangguan dari jalan sejarah yang "otentik" kini bukan saja telah menuntut kehadirannya dalam rekaman sejarah, tetapi juga menggugat keabsahannya. Kejadian itu mesti dilihat sebagai bagian dari proses pembentukan realitas baru.
Meskipun demikian, yang menjadi masalah pokok ialah gugatan terhadap keabsahan moral dari sebuah rezim. Maka, kita pun mulai mendengar sekian banyak kisah tampil ke permukaan dan menuntut keadilan. Timor Timur, Irianjaya, Aceh, Tanjungpriok, Lampung, dan entah di mana lagi tragedi kemanusiaan terjadi. Kedungombo, Jenggawah, dan penganiayaan akan hak pemilikan tanah di mana lagi yang dilakukan. Betapa jauhnya amnesia melanda masyarakat ktia.
Alangkah naifnya saya selama ini. Betapa kakunya saya berpegang pada diktum "tanpa sumber yang sahih tak ada sejarah", meskipun peristiwanya terjadi begini atau begitu. Kisah naratif Orde Baru tidak membosankan tapi mengenaskan. Sekarang, setelah semua--belum semua--menyeruak, timbul juga pertanyaan mengapa saya bisa senaif itu. Mengapa dulu semua kejadian dan peristiwa terasa jelas saja? Rupanya, kesemuanya terasa jelas dan pasti karena sesungguhnya rasionalitas saya telah berada dalam kungkungan sebuah "negara yang serakah", yang tak puas hanya dengan kepatuhan saya sebagai warga negara, tetapi juga ingin menguasai kesadaran saya. Sistem kekuasaan secara bertahap, tapi pasti, telah berhasil membentuk sebuah paradigma yang hegemonik. Melalui paradigma inilah segala hal harus dilihat, dipahami, dan dijelaskan. Kebenaran dari jawaban bahwa 2 + 2 adalah 4 atau "bisa diatur" atau "terserah bapak" bukan terutama terletak pada nilai intrinsiknya, tetapi karena itulah jawaban yang dipaksakan oleh sistem rasionalitas yang dikembangkan oleh paradigma yang hegemonik itu. Tukarlah perumpamaan 2 + 2 ini dengan pernyataan situasi empirik, maka jawaban yang harus dianggap benar pun telah tersedia. Bukankah dengan mudah saja pandangan yang tak sesuai dengan rasionalitas yang dipupuk itu langsung dikatakan "asbun, tidak etis, mbalelo" atau dibungkam dengan berbagai cara?
Penguasaan akan sistem rasionalitas dan kesadaran bisa mempertahankan kekuasaan dengan cukup lama dan memberi kesempatan untuk berbuat apa saja. Jika saja masa itu hanyalah sebuah teks yang terpisah dari realitas kehidupan kita, Orde Baru bisa dilihat sebagai sebuah pentas dari berbagai corak slapstick comedy dan farce yang terjadi dalam sebuah kisah yang tragis.
Penguasaan wacana, yang ditopang oleh berbagai iming-iming patronage dan ancaman terkaman kekuasaan memang bisa melenakan. Maka, ketika terbangun, kita pun terbata-bata mencari arah. Apakah yang didapatkan selain dari sejemput semboyan dan segerobak makian? Manakah batas euforia dan reformasi? Semua hal sedang mengalir dengan cepat, tetapi saya hanya bisa berharap mudah-mudahan sinisme Voltaire tidak lagi menjangkiti bangsa kita. "Satu-satunya pelajaran sejarah," katanya, "ialah orang tak pernah belajar dari sejarah".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo