Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Etika Kecerdasan Buatan Berpusat pada Manusia

Etika kecerdasan buatan yang disusun Kementerian Komunikasi dan Informatika haruslah berpusat pada pelindungan manusia.

7 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang menyusun kebijakan tentang etika kecerdasan buatan.

  • Pemerintah dapat belajar dari dua pedoman AI yang disusun Komisi Eropa dan UNESCO.

  • Etika kecerdasan buatan harus berpusat pada pelindungan dan keselamatan manusia.

Jusuf Irianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Guru Besar di Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada teknologi mutakhir yang digunakan semasif kecerdasan buatan (AI). Penggunaan AI meningkat pesat dan membuka peluang keuntungan bagi umat manusia. Tak sekadar untuk bisnis melalui otomatisasi, AI juga mempermudah urusan pendidikan, kesehatan, dan bidang lainnya.

Namun perubahan revolusioner AI memicu masalah etika. Keprihatinan muncul akibat bias AI yang mengancam hak asasi manusia (HAM). AI yang digunakan untuk bisnis, misalnya, berisiko mengancam hilangnya pekerjaan bagi sebagian besar buruh. Karena itu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika menyusun kebijakan berupa Surat Edaran Etika AI yang akan dirilis pada Desember 2023. Surat ini berfungsi sebagai pedoman etika berbasis enam prinsip, yaitu inklusivitas, kemanusiaan, keamanan, demokrasi, transparansi, kredibilitas, dan akuntabilitas.

Komisi Eropa

Masyarakat memerlukan regulasi dalam mengatasi masalah etika. Dengan demikian, pedoman etika ini diharapkan mampu membangun kepercayaan terhadap AI yang berorientasi pada manusia. Untuk menyusun pedoman etika, pemerintah dapat belajar dari Komisi Eropa, pelaksana Uni Eropa yang berperan dalam mengusulkan dan menerapkan regulasi serta bertindak sebagai "garda kesepakatan" semua negara anggota Uni Eropa. Pada 2018, Komisi Eropa merilis Pedoman Etika AI yang Dapat Dipercaya. Pedoman tersebut merupakan dokumen yang dihasilkan oleh Kelompok Pakar Tingkat Tinggi tentang AI (AI HLEG). Kelompok ini bersifat independen dan dibentuk Komisi Eropa pada Juni 2018 sebagai bagian dari strategi Eropa dalam memanfaatkan AI.

AI HLEG merancang pedoman etika untuk pertama kali pada Desember 2018. Setelah diskusi dan berdebat disertai berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan serta perwakilan negara anggota, pedoman etika ini terus diperbaiki dan kemudian diterbitkan pada April 2019.

Pedoman itu terdiri atas tujuh syarat agar sistem AI layak. Ketujuh syarat itu adalah agensi dan pengawasan manusia; ketahanan dan keamanan teknis; privasi dan tata kelola data; transparansi; keberagaman, non-diskriminasi dan keadilan; kesejahteraan masyarakat dan lingkungan; serta akuntabilitas.

Untuk menjalankan persyaratan itu, pedoman etika menyertakan daftar penilaian yang memandu penerapan praktis setiap persyaratan. Daftar penilaian diuji coba dulu dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan guna memperbaikinya melalui forum praktik terbaik penerapan AI.

Dalam pedoman etika penggunaan AI berpusat pada manusia, AI dipandang sebagai alat untuk melayani kepentingan manusia guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan pedoman yang tepercaya, AI diharapkan akan memberi kontribusi dalam menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik.

Negara anggota Uni Eropa didorong menciptakan situasi saling percaya demi keberhasilan pengembangan dan penggunaan AI. Caranya adalah menerapkan tujuh syarat utama itu sebagai substansi dari pedoman etika yang berpusat pada manusia.

Komisi Eropa juga menggagas agar pedoman etika AI berpusat pada manusia dibawa hingga ke tingkat global. Gagasan ini bertujuan untuk membangun konsensus internasional mengenai pedoman etika AI. Dengan konsensus global, berbagai bias AI yang menjadi kekhawatiran bersama dapat direduksi.

UNESCO

Di samping merujuk pada Komisi Eropa, pemerintah dapat belajar dari UNESCO untuk memperkuat pedoman etika AI. Pada 2021, lembaga di bawah PBB ini menghasilkan standar global etika AI yang tertuang dalam "Rekomendasi Etika AI" yang diadopsi oleh 193 negara sebagai anggota. Serupa dengan Komisi Eropa, pedoman etika AI disusun UNESCO berbasis nilai-nilai pelindungan terhadap hak asasi dan martabat manusia. Pedoman itu juga menjunjung nilai transparansi dan keadilan, keberagaman dan inklusivitas, serta lingkungan yang berkembang secara berkelanjutan.

Pedoman etika UNESCO mencakup 10 prinsip inti yang menjabarkan pendekatan berpusat pada manusia. Pertama, prinsip proporsionalitas dan tak membahayakan, bahwa penggunaan AI harus sesuai dengan kebutuhan dan mencegah kerugian yang ada kemungkinan muncul akibat penggunaannya. Kedua, prinsip keselamatan dan keamanan, bahwa risiko membahayakan dan mengancam manusia akibat rentan terhadap serangan siber harus dapat diantisipasi pemerintah. Masyarakat sudah sewajarnya dilindungi dari berbagai potensi yang mengancam keselamatan dan keamanan.

Ketiga, prinsip pelindungan data privasi, yang mempromosikan nilai privasi dan pelindungan data. Keempat, tata kelola dan kolaborasi pemangku kepentingan serta adaptabilitas. Sesuai dengan prinsip ini, hukum internasional dan kedaulatan nasional harus dihormati perihal penggunaan data.

Kelima, prinsip tanggung jawab dan akuntabilitas, bahwa AI harus dapat diaudit serta dilacak melalui mekanisme pengawasan, penilaian dampak, dan lolos uji. Langkah ini diperlukan untuk menghindari benturan dengan hak asasi manusia.

Keenam, prinsip transparansi dan eksplanasi, bahwa penerapan AI membutuhkan transparansi serta kemampuan eksplanatif sesuai dengan konteks untuk menetralkan ketegangan dengan prinsip lain, seperti privasi, keselamatan, dan keamanan.

Ketujuh, peran manusia, bahwa negara anggota UNESCO harus memastikan bahwa AI tak menggantikan manusia. Kedelapan, keberlanjutan sebagai dasar penilaian dampak AI terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Kesembilan, prinsip kesadaran dan literasi, bahwa masyarakat harus memahami AI melalui pendidikan terbuka dan dapat diakses. Adapun prinsip kesepuluh adalah keadilan dan non-diskriminasi, pendekatan ini bertujuan untuk memastikan manfaat AI dapat dinikmati oleh semua orang.

Pemerintah perlu menimbang pedoman AI dari Komisi Eropa dan UNESCO ini untuk diakomodasi dalam pedoman etika sekaligus menambah bobot regulasi. Hal ini selaras dengan posisi Indonesia yang mengikuti arus pandangan global bahwa setiap penggunaan AI haruslah berpusat pada manusia dan dilakukan secara bertanggung jawab.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Jusuf Irianto

Jusuf Irianto

Guru Besar Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus